Pada Kamis (28/11/2024), bertempat di Hotel GranDhika, Jakarta Selatan, telah dilaksanakan diskusi untuk memperingati Hari Perempuan Pembela HAM Internasional. Kegiatan ini juga disiarkan juga secara daring melalui Zoom Meeting dan Live Streaming Youtube Komnas Perempuan. Perempuan Pembela HAM (PPHAM) menjadi sorotan penting dalam upaya memperkuat solidaritas dan gerakan perempuan di kawasan Asia Tenggara. Acara ini dihadiri oleh berbagai pihak, termasuk perwakilan organisasi HAM internasional seperti Amnesty Thailand, Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR), kemudian juga dihadiri oleh Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) seperti Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mama Aleta Fund, KAPAL Perempuan, serta dihadiri pula oleh lembaga pemerintah seperti Kementerian Sosial, Komisi Kepolisian Nasional, dan masih banyak lagi. Mengangkat tema Meneguhkan Solidaritas dan Gerakan Perempuan di ASEAN, acara ini bertujuan untuk menciptakan ruang diskusi strategis bagi PPHAM, khususnya yang berjuang melawan kekerasan berbasis gender, mempertahankan hak atas tanah adat, hingga mendampingi perempuan korban kekerasan domestik. Sebagai penggerak utama, perempuan-perempuan ini menghadapi ancaman besar, mulai dari intimidasi hingga risiko pembunuhan. Acara diawali dengan sambutan oleh Laode M. Syarif (Direktur Eksekutif Kemitraan) dan Andi Yentriani (Ketua Komnas Perempuan), yang menekankan pentingnya perlindungan kolektif bagi PPHAM. Andreas Harsono selaku Moderator membuka panel-panel diskusi dengan memperkenalkan para pembicara dari berbagai negara Asia Tenggara, yaitu Theresia Iswarini (Komisioner Komnas Perempuan), Prof. Nymia Pimentel Simbulan (Philippines Alliance Human Rights Advocates), Piyanut Kotsan (Direktur Eksekutif Amnesty International Thailand), dan Shivani Verma (OHCHR Southeast Asia). Dalam sesi pertama, sejumlah PPHAM berbagi cerita inspiratif dan penuh tantangan melalui rekaman kompilasi video testimoni. Dimulai dari Salasari Daeng Ati, seorang petani dari Takalar, Sulawesi Selatan, yang berjuang melawan perampasan tanah oleh perusahaan untuk pabrik gula. Salasari menekankan perlunya dukungan hukum bagi PPHAM untuk melanjutkan perjuangan mereka dengan lebih berani dan penuh semangat. Dilanjutkan oleh Rahmatika Ismih dari Sulawesi Tengah, yang menghadapi kekerasan berbasis gender dalam melawan eksploitasi tambang nikel dan migas yang merusak lingkungannya. Ketiga, Lilik Indrawati, Ketua Sekolah Perempuan Gresik, yang mendampingi korban kekerasan berbasis gender dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Lilik sering mendapatkan ancaman akan dimasukkan ke penjara bahkan dihadang di jalan kemudian diancam dibunuh. Selanjutnya, ada pula Saraiyah, yang merupakan Ketua Sekolah Perempuan Lombok dan alumni training PPHAM KAPAL Perempuan. Saraiyah dan tim aktif mendampingi perempuan korban KDRT, perkawinan anak, pelecehan, bahkan kasus perempuan yang dikubur hidup-hidup. Saraiyah pernah dihadang untuk tidak ikut campur dalam berbagai kasus. Namun ia terus maju memperjuangkan hak perempuan. Terakhir, Aleta Baun dari Nusa Tenggara Timur (NTT), yang mengajak perempuan Indonesia dan Asia Tenggara untuk menjaga persatuan dan solidaritas dalam memperjuangkan isu lingkungan dan HAM. Di sisi lain, testimoni online disampaikan secara langsung oleh Ira Rahmawati, perwakilan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Ira menggambarkan situasi pelecehan seksual di dunia jurnalistik yang masih diwarnai budaya relasi kuasa yang tidak setara. Ira menyuarakan pengalaman jurnalis perempuan yang sering menjadi korban pelecehan seksual dalam dunia kerja. Sekitar 82,6% wartawan perempuan di Indonesia pernah mengalami pelecehan, tetapi banyak kasus ini tidak terungkap karena normalisasi budaya patriarki di komunitas pers. Selanjutnya testimoni dari Lami Fan perwakilan korban pengungsi di Kabupaten Maybrat, Papua. Lami Fan aktif melakukan advokasi bersama pengungsi Maybrat lainnya dalam memperjuangkan hak-hak mereka di tengah situasi konflik yang sudah berjalan kurang lebih selama 3 tahun. Lami Fan menjelaskan bahwa kehadiran militer membungkam suara masyarakat dalam menyuarakan ketidakadilan. Banyak kekerasan dialami perempuan, tapi sayangnya mereka tidak mampu untuk menceritakan masalahnya karena Maybrat dikuasai oleh militer. Lami Fan dan para PPHAM di Maybrat lainnya pernah mendapatkan intimidasi, dan rumah pribadi Lami Fan pun kini telah dijadikan pos militer. Pemerintah belum melakukan tindakan atau upaya serius dalam mendukung pemulihan maupun pemulangan bagi para korban masyarakat sipil. Pendekatan militeristik telah menyebabkan trauma dan pembungkaman hak-hak perempuan. Dari testimoni perempuan pembela HAM di Indonesia, diskusi ini membuka mata masyarakat bahwa berbagai tantangan seperti ancaman dan intimidasi yang dihadapi PPHAM sangatlah banyak. Namun untuk mengakui perjuangan mereka perlu usaha kolektif demi mendukung perlindungan yang lebih baik di setiap negara di Asia Tenggara maupun global, sehingga pemerintah bisa memberi dukungan dan kebijakan yang responsif gender bagi para PPHAM.
Selanjutnya sesi diskusi panel, Nymia menceritakan pengalamannya sebagai tahanan politik di Filipina dan perjuangannya dalam advokasi HAM sejak tahun 1986. Ia menjelaskan bahwa misinformasi di media sosial kini menjadi tantangan baru yang digunakan pemerintah otoriter untuk melemahkan demokrasi. Ia menegaskan perlunya kolektivitas regional untuk memperkuat perlindungan terhadap perempuan pembela HAM. Shivani Verma berbagi kisah mengenai diskriminasi berbasis gender yang dihadapinya sejak masa kuliah di India hingga pengalamannya sebagai pembela HAM di kawasan Asia Tenggara, termasuk kekecewaannya saat dilarang masuk Indonesia pada 2018 karena pekerjaannya di Papua Barat. Menurutnya, pengakuan terhadap perempuan pembela HAM harus diperluas, dengan perlindungan yang lebih baik dari ancaman kekerasan. Selanjutnya, Theresia memaparkan tantangan struktural dalam kebijakan gender di Indonesia. Ia menyoroti pentingnya perspektif feminisme dalam kebijakan publik, termasuk UU TPKS, yang masih memerlukan pengawasan masyarakat agar implementasinya tidak hanya menjadi formalitas. Paparan selanjutnya dari Piyanut Kotsan menggambarkan tantangan sosial dan hukum yang dihadapi perempuan di negaranya, termasuk fenomena rekrutmen pekerja berbasis keperawanan yang pernah mencuat pada 2020. Norma sosial yang diskriminatif dianggap masih menjadi hambatan besar dalam perjuangan perempuan di Thailand dan ASEAN. Faktor-faktor sosial juga dapat memperkuat diskriminasi, seperti norma sosial dan stigma yang menyudutkan perempuan, baik di dunia kerja maupun dalam kepemimpinan politik. Perempuan minoritas, LGBTQ, dan disabilitas kerap menghadapi risiko kekerasan yang lebih kompleks, yang memerlukan pendekatan berbasis interseksionalitas. Banyak kebijakan di negara ASEAN belum cukup tanggap terhadap kekerasan berbasis gender, jelas Nymia. Ia mendorong pemerintah untuk lebih serius mengintegrasikan pelindungan HAM dalam program nasional. Shivani menambahkan bahwa kerentanan perempuan disabilitas perlu mendapatkan perhatian lebih karena mereka sering mengalami kekerasan berlapis. Diskusi juga mencakup tantangan yang dihadapi perempuan dalam kepemimpinan politik. Kebijakan afirmasi dianggap penting untuk meningkatkan partisipasi perempuan di ruang publik. Namun, hingga kini, kebijakan tersebut masih menghadapi tantangan besar, baik dari segi budaya maupun dukungan kebijakan yang belum responsif gender. Diskusi ini memunculkan fakta bahwa kendala utama adalah norma sosial dan stigma gender yang masih kuat. Theresia menyebutkan bahwa kebijakan afirmasi harus terus diperjuangkan agar perempuan memiliki peluang lebih besar untuk berperan di kepemimpinan politik pengambil kebijakan. Kolaborasi lintas negara menjadi kunci strategi dalam perjuangan ini. Panelis menekankan pentingnya berbagi pengalaman dan memperkuat solidaritas antarnegara di kawasan ASEAN. Seperti yang disampaikan oleh Siti Maimunah dari Mama Aleta Fund, isu kekerasan terhadap perempuan perlu dikaitkan dengan kebijakan yang lebih inklusif dan berperspektif perempuan. Ia juga menyoroti pentingnya mengatasi jarak antargenerasi, agar sejarah perjuangan tidak terlupakan dan menjadi inspirasi bagi generasi muda. Perjuangan PPHAM bukanlah perjalanan yang mudah, tetapi kerja sama dan solidaritas yang diperkuat di tingkat regional hingga ASEAN menjadi kunci untuk menciptakan perubahan. Dengan berbagai testimoni dan ide strategis yang dihasilkan, diskusi ini menjadi landasan penting untuk mendorong pemerintah di negara-negara ASEAN agar lebih responsif terhadap isu perempuan dan HAM. Hari Perempuan Pembela HAM Internasional diharapkan tidak hanya menjadi momentum refleksi, tetapi juga titik lanjut gerakan kolektif yang lebih kuat dalam mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender di kawasan ASEAN. (Putu Gadis Arvia Puspa) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
January 2025
Categories |