![]() Pada Sabtu (8/03/2025) lalu, dalam rangka memperingati International Women’s Day, acara bincang-bincang bertajuk "Psikolog Kantor: Mendukung Perempuan Pekerja: Bangkit, Berdaya, Berkontribusi" diselenggarakan secara bauran melalui Zoom Meeting dan secara luring di Kampus BINUS FX Sudirman. Acara ini menghadirkan sejumlah pembicara, diantaranya Poppy R. Dihardjo (Ibu tunggal, pegiat isu perempuan, dan mahasiswa hukum di Jentera Law School), Erna W. Wardani (konsultan hukum ketenagakerjaan Indonesia), Amanda N. Cahaya (psikolog organisasi), serta Nugroho J. Setiadi (akademisi di bidang manajemen SDM), dengan Joe Susilo sebagai moderator. Talkshow ini menjadi ruang penting untuk mendiskusikan tantangan yang dihadapi perempuan pekerja serta strategi untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih inklusif dan adil bagi perempuan. Acara ini juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang hak-hak pekerja perempuan, mengidentifikasi bentuk-bentuk ketidakadilan dan kekerasan di lingkungan kerja, serta merumuskan solusi kolektif untuk mendukung perempuan dalam dunia kerja. Dengan berbagai tantangan yang masih dihadapi perempuan, seperti bias gender, kesenjangan upah, pelecehan di tempat kerja, serta tekanan sosial yang membatasi partisipasi mereka dalam kepemimpinan, talkshow ini berusaha menghadirkan perspektif keadilan gender dalam upaya membangun lingkungan kerja yang lebih setara dan berperspektif perempuan. Salah satu poin penting yang disampaikan dalam diskusi adalah hak-hak perempuan pekerja yang masih sering diabaikan oleh perusahaan. Erna W. Wardani menekankan bahwa hak cuti menstruasi (Pasal 81 dan Pasal 93 ayat 1 dan 2 huruf b UU Ketenagakerjaan), cuti hamil dan melahirkan (Pasal 82 UU Ketenagakerjaan dan UU KIA), hingga cuti menyusui di waktu kerja (Pasal 83 UU Ketenagakerjaan) dan masih banyak lagi hak-hak penting dalam UU Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), yang bukanlah sekadar kebijakan yang dapat diabaikan, melainkan hak mutlak yang telah diakui oleh konstitusi. Sayangnya, masih banyak perusahaan yang tidak mengimplementasikan hak-hak tersebut dengan baik, bahkan menstigmatisasi perempuan yang mengambil cuti karena kebutuhan biologis mereka. Erna menyoroti bahwa perusahaan harus lebih transparan dalam menyediakan informasi terkait hak-hak pekerja perempuan, misalnya dengan memastikan kebijakan mereka dapat diakses secara terbuka melalui situs web atau dokumen resmi yang tersedia bagi semua karyawan. Sementara itu, Poppy R. Dihardjo mengulas bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender di lingkungan kerja, mulai dari pelecehan verbal, non-verbal, kekerasan seksual, hingga intimidasi emosional dan sosial. Poppy mengkritik bagaimana relasi kuasa di tempat kerja sering membuat perempuan kesulitan untuk melapor atau mencari keadilan, karena banyak HRD yang lebih fokus melindungi citra perusahaan dari pada membela hak korban. Dalam temuannya, 70-81% perempuan pekerja pernah mengalami atau menyaksikan kekerasan di tempat kerja, dengan 54% kasus melibatkan atasan atau senior sebagai pelaku. Kekerasan ini terus terjadi karena budaya organisasi yang masih menormalisasi perilaku seksis dan tidak memiliki mekanisme perlindungan yang berpihak pada korban.
Dari perspektif feminisme, hal ini menunjukkan bagaimana struktur patriarki dalam dunia kerja beroperasi dengan cara yang sistematis untuk mempertahankan dominasi laki-laki, baik dalam akses terhadap posisi kepemimpinan maupun dalam kontrol atas tubuh dan hak-hak perempuan. Feminisme interseksionalitas juga dapat menjelaskan bagaimana perempuan dari latar belakang berbeda, misalnya perempuan dengan disabilitas, perempuan dari komunitas minoritas, perempuan dari posisi kuasa lebih rendah, atau perempuan dengan pekerjaan rentan menghadapi hambatan yang lebih besar dalam mendapatkan keadilan di tempat kerja. Diskusi ini juga menyoroti bagaimana perempuan sering tidak berani menegosiasikan gaji mereka. Poppy menekankan bahwa ketimpangan gaji bukan hanya akibat diskriminasi eksplisit, tetapi juga karena perempuan dibesarkan dalam budaya yang tidak mendorong mereka untuk berani menuntut hak mereka. Relasi kuasa di tempat kerja, feodalisme, senioritas, dan budaya seksisme membuat banyak perempuan takut untuk bersuara, terutama jika mereka khawatir akan kehilangan pekerjaan atau menghadapi konsekuensi sosial. Nugroho J. Setiadi, sebagai akademisi di bidang bisnis, menyoroti pentingnya keberagaman gender dalam dunia kerja. Ia mengungkap bahwa keberagaman gender bukan hanya soal etika, tetapi juga berkontribusi terhadap peningkatan produktivitas dan inovasi dalam perusahaan. Namun, perempuan masih menghadapi tantangan besar, termasuk stereotip gender, kesenjangan upah, dan terbatasnya akses ke posisi kepemimpinan. Untuk itu, ia menekankan bahwa perusahaan perlu menerapkan kebijakan ramah gender, memastikan fleksibilitas kerja, memberikan penghargaan yang adil, serta menyediakan fasilitas seperti layanan childcare dan cuti melahirkan yang adil. Dalam sesi tanya jawab, seorang peserta menanyakan tentang dilema perempuan dalam menyeimbangkan antara peran sebagai ibu rumah tangga dan pekerja, terutama ketika mengalami mutasi pekerjaan. Jawaban yang diberikan para narasumber menyoroti paradoks yang dihadapi perempuan. Perempuan dipaksa untuk memilih antara menjadi ibu yang baik atau menjadi pekerja yang sukses, seolah-olah kedua peran ini tidak bisa berjalan bersamaan. Padahal, fleksibilitas kerja yang mendukung perempuan sangat penting untuk memastikan mereka dapat tetap berkontribusi dalam karier tanpa mengorbankan kesejahteraan keluarga. Perspektif feminis dalam hal ini menyoroti bahwa struktur kerja saat ini masih mengutamakan standar yang bias laki-laki, di mana fleksibilitas dan kebutuhan perempuan sering diabaikan. Perempuan yang mengalami mutasi atau promosi seharusnya memiliki hak untuk menegosiasikan kebutuhan mereka dengan perusahaan, termasuk mempertimbangkan dampak keputusan tersebut terhadap anak dan keluarga mereka. Sayangnya, budaya patriarki masih mempersulit perempuan untuk menuntut hak-hak ini, karena perempuan sering dianggap "berhutang" pada sistem yang memberikan mereka kesempatan kerja. Isu lain yang muncul dalam diskusi adalah bagaimana perempuan bisa memperjuangkan hak-hak mereka di era digital, terutama bagi perempuan single parent atau mereka yang bekerja dengan gaji di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Solusi yang ditawarkan adalah pekerja perempuan harus memahami hak dan berusaha menegosiasikan hak-hak mereka sebagai pekerja, serta memanfaatkan platform digital untuk menuntut transparansi dalam kontrak kerja dan kebijakan perusahaan. Selain itu, diskusi juga membahas kekerasan seksual yang dilakukan oleh figur otoritas seperti guru atau atasan di kantor. Data yang dipaparkan menunjukkan bahwa guru agama dan guru olahraga termasuk kelompok dengan tingkat kasus kekerasan seksual tertinggi, sebuah fakta yang memperlihatkan bagaimana relasi kuasa di lembaga pendidikan juga bisa menjadi alat untuk menindas perempuan. Di sinilah pentingnya edukasi tentang Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan UU Perlindungan Anak, yang dapat digunakan sebagai dasar hukum dalam melawan kekerasan berbasis gender. Talkshow ini tidak hanya menjadi ruang berbagi pengalaman dan informasi, tetapi juga menjadi ajang refleksi tentang bagaimana dunia kerja masih menyulitkan perempuan untuk berkembang secara maksimal. Feminisme menyoroti bahwa perjuangan perempuan di tempat kerja bukan hanya tentang mendapatkan pekerjaan, tetapi juga tentang menciptakan sistem yang lebih adil dan bebas dari eksploitasi. Sebagai penutup, Amanda menekankan pentingnya kesehatan mental bagi perempuan pekerja. Ia menjelaskan bahwa tekanan di tempat kerja, ekspektasi sosial, dan trauma akibat kekerasan dapat memicu stres, kecemasan, dan burnout, yang pada akhirnya berdampak pada performa kerja dan kesejahteraan pribadi. Mengatasi trigger yang mengganggu kesehatan mental bukan hanya tanggung jawab individu, tetapi juga tanggung jawab kolektif perusahaan dan masyarakat dalam menciptakan lingkungan kerja yang lebih suportif. Melalui diskusi ini, semakin jelas bahwa perjuangan perempuan dalam dunia kerja masih jauh dari selesai. Mulai dari hak cuti, kekerasan di tempat kerja, hingga stereotip gender yang membatasi akses perempuan ke kepemimpinan dan keadilan, masih banyak tantangan yang perlu diatasi. Talkshow ini menjadi pengingat bahwa mendukung perempuan bekerja bukan hanya soal memberikan mereka pekerjaan, tetapi juga soal menghapus hambatan struktural yang menghalangi mereka untuk berkembang secara setara dan bermartabat. (Putu Gadis Arvia Puspa) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
April 2025
Categories |