![]() Masyarakat adat merupakan salah satu kelompok yang hingga kini masih termaginalkan karena berbagai macam faktor. Kendati telah diakui keberadaannya dalam pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,” masyarakat adat masih mengalami berbagai bentuk penindasan, termasuk penindasan yang berkaitan dengan hak atas tanah, budaya, dan sumber daya alam. Untuk itu, pada Selasa (22/4/2025), Kaoem Telapak bekerja sama dengan BEM Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) untuk menyelenggarakan diskusi publik yang bertajuk: “RUU Masyarakat Adat: Urgensi Pengesahan dan Peran Akademisi dalam Advokasi Kebijakan”. Diskusi publik tersebut dilaksanakan di Balai Sidang FH UI dengan mengundang beberapa narasumber, seperti Dr. R. Ismala Dewi, S.H., M.H. yang membahas RUU Masyarakat Adat dari perspektif hukum, Dr. Luh Gede Saraswati Putri, S.S., M.Hum., yang membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat dalam perspektif filsafat budaya, Erwin Dwi Kristianto dari HUMA dan Tim Substansi RUU MA yang membahas lima aspek kunci RUU Masyarakat Adat, dan Denny Bhatara dari Kaoem Telapak yang membahas teknologi digital untuk memantau konflik dan kriminalisasi masyarakat adat di Indonesia. Dari berbagai perspektif yang dibawa oleh narasumber, tujuan utama dari diskusi publik ini adalah untuk melibatkan berbagai pihak, termasuk akademisi, mahasiswa dan organisasi masyarakat sipil (OMS) untuk menguatkan substansi dalam upaya mendorong advokasi berbasis akademik dan aksi nyata di lapangan untuk mempercepat pengesahan RUU Masyarakat Adat.
Acara dibuka oleh Ratih Lestarini sebagai Guru Besar Bidang Sosiologi Hukum FH UI. Dalam sambutannya, beliau menyoroti terus bertambahnya konflik yang melibatkan masyarakat adat. Ratih menekankan pentingnya menjaga keseimbangan hukum negara dan hukum adat dalam rangka menjaga harmoni antara masyarakat adat dan negara. “Pengesahan RUU Masyarakat Adat menjadi penting sebagai payung besar untuk mengatur keruwetan interaksi hukum adat dan hukum negara di ruang sosial. Hukum harus bisa menyeimbangkan kepentingan para pihak dan seharusnya memberikan perlindungan hak adat sekaligus juga memberikan kepastian hukum bagi investasi,” tuturnya. Selain itu, terdapat banyak poin penting yang diangkat oleh para narasumber dalam diskusi publik tersebut. Salah satu yang penting untuk disorot adalah pemaparan oleh Ismala Dewi selaku Dosen Bidang Studi Hukum dan Masyarakat FH UI yang membahas tentang bagaimana penindasan terhadap masyarakat adat jika dilihat melalui persepktif hukum. Mengenai hal tersebut, beliau mengangkat konsep pluralitas hukum yang mengakui keberadaan berbagai sistem hukum yang ada di suatu wilayah. Dalam konteks ini, negara tidak hanya mengakui hukum formal yang disusun oleh lembaga negara, melainkan juga mengakui dan menghormati sistem-sistem hukum lain yang berkembang di masyarakat, termasuk hukum adat. Di Indonesia, prinsip pluralitas hukum menjagi relevan bersamaan dengan kehadiran multikulturalisme dengan banyaknya jumlah kelompok etnis dan adat yang memiliki sistem hukum masing-masing. Kendati demikian, dalam realitasnya, hukum negara masih mendominasi dan sering kali mengabaikan hukum-hukum adat. Padahal, hukum dalam masyarakat adat bukan merupakan aturan-aturan hidup semata, melainkan juga merupakan nilai-nilai spiritual yang berkaitan erat dengan identitas budaya yang dimiliki oleh masyarakat adat tersebut. Pengabaian dan tidak diakuinya hukum adat dalam hal ini merupakan suatu bentuk penindasan terhadap masyarakat adat yang seharusnya dihormati hak-haknya, termasuk hak atas nilai-nilai budaya dan spiritual. Selain itu, dominasi hukum negara dan pengabaian hukum adat dalam hal ini juga menyebabkan berbagai penindasan lainnya terhadap masyaraka adat. Salah satu yang disorot oleh Ismala Dewi adalah penindasan terkait hak masyarakat adat atas sumber daya air. Dalam hal ini, prinsip pengelolaan sumber daya air harus mengedepankan nilai keseimbangan dan juga keberlanjutan. Poin penting yang diangkat dalam diskusi ini juga dibahas oleh Luh Gede Saraswati Putri selaku budayawan sekaligus dosen filsafat dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI. Beliau mengangkat perspektif filsafat rekognisi dan pemikiran Charles Taylor, seorang filsuf asal Kanada yang membahas identitas sebagai sesuatu yang tidak terbentuk secara tertutup atau individualistik, melainkan dibangun melalui interaksi sosial yang bersifat kolektif. Mengenai hal tersebut, rekognisi atau pengakuan atas identitas merupakan kebutuhan manusia yang fundamental. Karenanya, negara harus berkomitmen untuk menjaga multikulturalitas yang termanifestasikan dalam eksistensi masyarakat adat dengan mengakui dan menghormati hak-hak mereka. Selain itu, Saras juga membahas penindasan yang dialami oleh masyarakat melalui kacamata interseksionalitas. Dalam hal ini, ia menelusuri bagaimana ekofenomenologi memandang perempuan sebagai kelompok garis depan yang turut ikut serta dalam memelihara alam dalam kehidupan mayarakat adat. “Pengesahan RUU Masyarakat Adat menjadi krusial karena masyarakat adat adalah penjaga dan pelestari lingkungan hidup, dengan kearifan lokal yang mampu merawat alam secara berkelanjutan. Komunitas adat memiliki nilai-nilai budaya yang lestari sebagai identitas bangsa,” ucapnya. Tekait hal ini, Erwin Dwi Kristianto, selaku Tim Substansi dari Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, menyampaikan bahwa arah pengaturan RUU Masyarakat Adat harus mewujudkan penghormatan, pengakuan, dan perlindungan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya serta menghentikan regulasi terhadap masyarakat adat yang karakternya masih bersyarat, berlapis, parsial, atau sektoral. Terkait hal ini, mewujudkan tujuan tersebut merupakan kewajiban dari berbagai pihak, tak terkecuali masyarakat sipil. Untuk itu, Denny Bhatara sebagai Senior Campaigner dari Kaoem Telapak memperkenalkan Ground-Truth.id (GTID), sebuah platform pemantauan kehutanan berbasis digital yang dirancang untuk mendokumentasikan berbagai bentuk pelanggaran terhadap hak masyarakat adat dan lingkungan hidup. Hingga hari ini, masyarakat adat masih memperjuangkan hak-haknya melalui advokasi kebijakan berupa payung hukum yang diakui oleh negara. Payung hukum ini yang dituliskan dalam RUU MA yang diusulkan sejak tahun 2004 oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Koalisi Kawal RUU MA. Akan tetapi, setelah lebih dari 20 tahun, proses pembahasannya tidak kunjung selesai tanpa ada kepastian yang berarti. Saat ini, RUU MA masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas DPR RI 2025 dan masuk kedalam Prolegnas DPR 2025-2029. Melalui diskusi ini, diharapkan ada penguatan substansi sehingga pembahasan RUU MA dapat masuk ke tingkat II (Paripurna) hingga disahkan sebagai undang-undang. (Ningdyah Lestari) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
May 2025
Categories |