![]() Pada Kamis (13/3/2025) dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional, WALHI Nasional menggelar diskusi publik bertajuk "Urgensi UU Keadilan Iklim dan UU Masyarakat Adat Sebagai Payung Hukum Perlindungan Hak-hak Perempuan Atas Wilayah dan Sumber-sumber Penghidupan". Acara ini berlangsung secara hybrid di Aula Belakang Kantor WALHI Eksekutif Nasional, Jakarta, serta melalui Zoom Meeting. Diskusi menghadirkan berbagai narasumber, termasuk Maria M. M Kebar (Perempuan Mpur Kebar, Papua Barat Daya), Asmania (Perempuan Pejuang Pulau Pari), Fatum Ade (Perhimpunan Jiwa Sehat), Mia Siscawati (Dosen Kajian Gender, Universitas Indonesia), Moriska Pasally (WALHI Nasional), Veni Siregar (Kaoem Telapak/Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat), serta Saffanah Rezky Azzahrah Andrian (ICEL/ARUKI), dengan Luluk Uliyah sebagai moderator. Acara ini menyoroti dampak krisis iklim dan agraria terhadap perempuan adat serta mendesak pengesahan regulasi yang melindungi hak-hak mereka. Maria M. M Kebar menggambarkan kondisi perempuan adat di Lembah Kebar, Papua Barat Daya, yang semakin kehilangan akses terhadap sumber daya alam seperti hutan akibat ekspansi perusahaan sawit. "Bagi kami, tanah dan hutan adalah mama. Hutan memberi kami makanan dan kehidupan," ujarnya. Namun, keberadaan perusahaan yang menggusur hutan dan mengabaikan hukum adat telah menyebabkan hilangnya sumber pangan tradisional seperti sagu dan obat-obatan herbal, serta memperparah bencana ekologis seperti banjir yang terjadi sejak 2015 dan berulang pada akhir 2024. Perempuan adat mengalami keterbatasan dalam mempertahankan hak mereka, karena negara lebih berpihak pada kepentingan korporasi dibanding mengakui dan menghormati hukum adat. Asmania, atau yang biasa disapa Teh Aas, seorang pejuang lingkungan dari Pulau Pari, turut menyoroti bagaimana perempuan nelayan mengalami dampak serupa. "Kami kehilangan ruang hidup. Reklamasi besar besaran, ketika suami melaut, angin tidak dapat diprediksi, panen berkurang, rumput laut tidak mau hidup, dan ekonomi runtuh," katanya. Reklamasi dan pencemaran laut menyebabkan berkurangnya hasil tangkapan ikan, matinya tanaman mangrove, serta meningkatnya suhu air. "Merusak laut sama dengan merusak perempuan," tegasnya, merujuk pada peran perempuan sebagai penjaga lingkungan dan penghidupan keluarga. Dari perspektif feminisme ekologi, kondisi ini menunjukkan bagaimana eksploitasi lingkungan dan sistem patriarki berjalan beriringan, mengakibatkan beban berlapis bagi perempuan. Teori feminisme ekologi (Ecofeminism) yang dikembangkan oleh Vandana Shiva dan Maria Mies menyoroti bagaimana perusakan lingkungan tidak bisa dilepaskan dari eksploitasi terhadap perempuan, yang sering menjadi pihak paling terdampak tapi paling diabaikan dalam kebijakan publik. Fatum Ade dari Perhimpunan Jiwa Sehat menyoroti bagaimana perempuan penyandang disabilitas menghadapi diskriminasi berlapis dalam konteks krisis iklim dan kebijakan publik. "Kami sering dianggap tidak berguna dan disingkirkan dari partisipasi sosial," ujarnya. Stigma terhadap perempuan dengan disabilitas psikososial dan fisik masih kuat, tercermin dalam kebijakan yang tidak menyediakan akses pendidikan dan pekerjaan yang inklusif. "Ketika terjadi bencana ekologis atau krisis lingkungan, perempuan disabilitas menjadi kelompok yang paling tidak diperhitungkan," tambahnya.
Dari perspektif interseksionalitas (Crenshaw, 1989), permasalahan yang dihadapi perempuan penyandang disabilitas bukan hanya berbasis gender, tetapi juga berbasis kondisi sosial, ekonomi, dan kesehatan mereka. Ketidakmampuan negara untuk menyediakan infrastruktur yang ramah disabilitas, akses kesehatan mental yang memadai, serta kebijakan inklusif memperparah marginalisasi mereka. Mia Siscawati dari Universitas Indonesia menekankan pentingnya pendekatan keadilan gender dalam kebijakan lingkungan dan agraria. "Perempuan adat bukan kelompok homogen. Ada perempuan kepala keluarga, janda, penyandang disabilitas, semuanya mengalami bentuk ketidakadilan yang berbeda," jelasnya. Mia mengingatkan bahwa pelanggaran hak perempuan adat merupakan pelanggaran hak asasi manusia, yang bertentangan dengan Konvensi CEDAW seperti pada Pasal 14 tentang hak perempuan pedesaan. Selain itu, Mia mengkritik bagaimana negara dan korporasi terus memandang alam sebagai komoditas, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap perempuan yang selama ini bergantung pada ekosistem tersebut. Perspektif feminisme materialis (Mies, 1986) menjelaskan bahwa kapitalisme dan patriarki berkonspirasi dalam mengeksploitasi tenaga kerja perempuan dan sumber daya alam, menciptakan ketimpangan struktural yang semakin memperlemah posisi perempuan adat dan nelayan. "RUU Masyarakat Adat harus segera disahkan untuk memastikan perlindungan hak-hak perempuan adat," ujar Veni Siregar dari Kaoem Telapak, yang sekaligus menegaskan bahwa pengakuan masyarakat adat dalam sistem hukum Indonesia masih lemah. Hingga kini, belum ada regulasi eksplisit yang mengakui peran dan hak perempuan adat dalam mempertahankan tanah serta sumber kehidupan mereka. Diskusi ini menggarisbawahi bahwa perempuan tidak hanya menjadi korban krisis iklim dan agraria, tetapi juga agen perubahan yang terus memperjuangkan keadilan. Keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan lingkungan dan hak adat menjadi krusial untuk menciptakan solusi yang adil dan berkelanjutan. Sebagai tindak lanjut, WALHI dan organisasi lainnya menyerukan kepada pemerintah untuk segera mengesahkan UU Keadilan Iklim dan UU Masyarakat Adat guna memastikan perlindungan hak-hak perempuan atas tanah, lingkungan, dan sumber daya penghidupan mereka. (Putu Gadis Arvia Puspa) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
April 2025
Categories |