Pada Selasa (5/11/2024), telah dilaksanakan kegiatan Seminar Nasional Srikandi Perempuan dalam Kancah Politik 2024-2029 dengan tema “Keterwakilan Perempuan Dalam Pimpinan Alat Kelengkapan DPR RI Periode 2024-2029” yang dilaksanakan melalui Zoom Meeting dan live streaming Youtube Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Acara ini bertujuan untuk menyoroti pentingnya representasi, tantangan, dan hambatan dalam kepemimpinan legislatif yang masih dihadapi oleh perempuan dalam ranah politik. Seminar ini dihadiri oleh beberapa narasumber, di antaranya Arifah Fauzi selaku Menteri PPPA, Eddy Soeparno selaku Wakil Ketua MPR RI, Nafa Indria Urbach selaku anggota Komisi IX DPR RI, Hindun Anisah selaku anggota Komisi IV DPR RI, Titi Anggraini selaku Dewan Pengarah Perludem dan Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, Anna Margret selaku Direktur Eksekutif Cakra Wikara Indonesia (CWI), dan Sonya Hellen Sinombor selaku Jurnalis Kompas sekaligus moderator dalam seminar ini.
Seminar ini menggarisbawahi beberapa isu penting dalam keterwakilan perempuan di politik. Perempuan sering kali menghadapi hambatan di dalam partai dan ruang kepemimpinan, dengan penempatan terbatas di posisi strategis yang setara dengan laki-laki. Meskipun telah ada kuota 30 persen untuk keterwakilan politik perempuan, pencapaian ini masih jauh dari target. Dari total anggota DPR RI periode 2024-2029, hanya ada 127 perempuan dibandingkan dengan 453 laki-laki. Lebih jauh, banyak komisi yang berkaitan langsung dengan isu perempuan tidak memiliki partisipasi perempuan yang cukup, menunjukkan perlunya perbaikan yang signifikan dalam hal keterwakilan. Isu tentang keterwakilan perempuan di DPR memunculkan pertanyaan penting: apakah kehadiran 127 perempuan di parlemen benar-benar membawa dan mendorong kontribusi substantif bagi perempuan dalam kepentingan pengambilan keputusan? Sonya menjelaskan bahwa di beberapa komisi yang erat kaitannya dengan isu perempuan, masih minim partisipasi perempuan. Hal ini mengindikasikan bahwa keterwakilan perempuan secara kuantitatif belum sepenuhnya memenuhi keterwakilan perempuan secara substantif. Terutama ketika perempuan ditempatkan di posisi yang kurang strategis atau memiliki keterlibatan terbatas dalam pembahasan kebijakan penting yang menyangkut hak-hak dan berdampak pada kehidupan perempuan. Eddy menyatakan bahwa hadirnya kebijakan politik perempuan melalui affirmative action sangat penting untuk memberikan kesempatan pada perempuan untuk berkontribusi melalui politik. Sosialisasi tentang peran dan jabatan yang diemban oleh perempuan dapat dilakukan dengan mensosialisasikan success story pengalaman srikandi-srikandi indonesia yang berhasil di politik. Selain itu dengan mengadvokasi isu isu penting di DPR atau di tempat tempat di mana mereka menjalankan fungsi-fungsi sosial mereka dapat memperkuat sorotan perempuan, sehingga orang sadar bahwa kesempatan yang diberikan pada perempuan amat sangat layak untuk dilakukan. Eddy juga menyebutkan bahwa MPR sangat mendorong kalangan masyarakat untuk berbagi ide dan gagasan serta memfasilitasi berbagai upaya untuk dapat meningkatkan upaya perlindungan dan mendorong peran perempuan dalam pelibatan Rancangan Undang-Undang (RUU) khususnya di posisi atau jabatan strategis. “Putting the right person in the right position,” ujar Eddy, sambil menambahkan, “Kalau memang jabatan itu bisa diisi oleh perempuan kenapa tidak?” Eddy kembali menegaskan tidak adanya niat untuk mendomestikasi perempuan. Selanjutnya, Hindun menjelaskan soal situasi pengalaman pertamanya menjabat di DPRD dan solidaritas di DPR untuk memperkuat suara. Perempuan masih menghadapi tantangan struktural yakni harus memperjuangkan posisi partisipasi dalam kuota 30 persen dan berharap di setiap komisi ada keterwakilan perempuannya. Contohnya, di Komisi VIII yang lingkup tugasnya di bidang Agama, Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, ketuanya adalah laki-laki. Padahal isu yang dikerjakan adalah isu perempuan. Negara perlu memperbanyak legislatif perempuan untuk mewujudkan kebijakan-kebijakan yang perspektifnya adil gender. Hindun merasakan sendiri saat rapat di balai, misalnya ketika kita membahas soal RUU PPRT Hindun butuh berkoalisi dengan legislator perempuan dan legislator laki-laki, Hindun perlu merancang bersama advokasi dan strategi bersama legislator lainnya untuk mewujudkan RUU tersebut. Maka dari itu penting untuk memastikan adanya analisis gender di setiap tahap perumusan kebijakan. Hindun juga menambahkan soal gender equality impact assessment. Dirinya berharap pemerintah dapat memastikan hal ini ada dalam setiap tahap perumusan kebijakan di semua komisi, tidak hanya KPPPA saja. Ini penting untuk memetakan risiko manfaat dari kebijakan yang dibuat sehingga dapat menguntungkan kelompok yang disasar. Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) menekankan pentingnya advokasi kebijakan responsif gender sebagai bagian dari strategi pembangunan nasional menuju Indonesia Emas 2045. Nafa menjelaskan perjalanan perjuangannya sejak 2019 untuk akhirnya terpilih menjadi anggota DPR dan strategi untuk dia bisa mencapai posisi DPR. Anggota legislatif itu turun langsung ke masyarakat dan mengobrol berjam-jam mendengarkan aspirasi mereka secara tulus, tanpa memaksa masyarakat untuk memilih nomor urutnya. Bagi Nafa, tindakan itu terkesan negatif. Berdasarkan pengamatan Nafa, representasi perempuan sebagai kepala desa atau lurah di Dapil Jateng VI yakni dapil asalnya masih bias. Perempuan masih mengalami ketimpangan dengan laki-laki. Pendidikan politik dan pendidikan kapasitas perempuan menjadi prioritas untuk mendorong partisipasi perempuan dalam kepentingan politik mulai dari pemerintah desa sampai pusat. Nafa menambahkan stigma negatif yang menempel di perempuan seperti perempuan tidak sanggup jadi pemimpin perlu dihilangkan karena di daerah-daerah ini masih marak terjadi. Hambatan lainnya seperti diskriminasi, stereotip gender, ongkos politik tinggi, dan juga kurangnya dukungan. “Perempuan jangan takut bersuara dan harus sadar untuk memperjuangkan hak mereka,” tukas Nafa. Titi merespons paparan Nafa dan Teddy dengan mengungkapkan bahwa pengisian alat kelengkapan dewan 2024/2025 kurang memperhatikan aspek konstitusional yang sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). MK menegaskan putusan UU No. 82 Tahun 2014 dan UU No. 89 Tahun 2014 yang menguji UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Di dalam putusan itu, MK harusnya mengutamakan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Disebutkan juga oleh Titi, dari 84 dapil, terdapat ada 16 dapil yang tidak ada calon perempuannya karena gagal pada ambang batas parlemen 4 persen. Kemudian, dari 8 fraksi yang ada di DPR, hanya PAN (Partai Amanat Nasional) yang keterwakilan perempuan dalam pimpinan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) berada di atas 30 persen. Ketika kita bicara soal keterwakilan perempuan, kita juga harus mau bergerak lebih dari sekedar partisipasi angka, pesan Anna. Namun, angka bukan tujuan. Angka adalah alat atau instrumen menuju tujuan. Tujuannya adalah adanya keterwakilan perempuan dalam proses pengambilan keputusan politik di dalam ruang-ruang tertutup baik di partai, di fraksi, di komis, dan seterusnya. Tantangannya adalah kita harus menyadari ada kelompok yang tertinggal secara historis dalam masyarakat, sehingga pembuat kebijakan politik harus membuat kebijakan yang berpihak pada kelompok tersebut. Kebijakan afirmasi pada kelompok tertinggal terjadi karena adanya kesadaran bahwa tidak mungkin kelompok rentan bertanding dengan kelompok elite dengan peraturan yang katanya nondiskriminatif. Perlu disadari bahwa diskriminasi bisa hidup subur dalam pikiran dan sistem patriarki yang ditemui sehari-hari. Ketika politisi laki-laki pergi rapat jam 10 malam, mereka akan dianggap sangat berdedikasi terhadap pekerjaannya. Sementara politisi perempuan akan dipertanyakan dan dipersalahkan karena dianggap lupa kodrat, tidak mengurus rumah, dan menghadapi semua pertanyaan yang tidak pernah dipertanyakan kepada politisi laki-laki. Demikian, kebijakan afirmatif adalah bentuk pengakuan bahwa meskipun laki-laki dan perempuan adalah sama-sama warga negara, tetapi ada hal-hal yang berbeda sehingga menyebabkan adanya ketertinggalan historis. Anna menambahkan, perempuan punya akses yang berbeda dengan laki-laki, entah itu dalam hal rekognisi, pemanfaatan teknologi, urusan kesempatan melakukan mobilitas secara bebas, dan lainnya. Hal-hal tadi berkaitan dengan stigma dan stereotip gender, yang meskipun tidak muncul dalam perundang-undangan, tapi menjadi penilaian serius yang menghambat langkah perempuan. Dalam hal ini, keterlibatan laki-laki juga menjadi sangat penting. Seminar ini menyoroti perlunya sinergi lintas sektor untuk meningkatkan peningkatan kuantitas keterwakilan dan kualitas partisipasi substantif perempuan dalam kepemimpinan parlemen dan politik Indonesia. Para pembicara menekankan pentingnya kebijakan yang responsif terhadap gender dan inklusi sosial sebagai langkah menuju Indonesia yang lebih inklusif, setara, dan adil. Inisiatif seperti ini diharapkan dapat membuka jalan bagi perempuan untuk berpartisipasi secara aktif dan setara dalam politik, mendukung agenda nasional menuju Indonesia Emas 2045. (Putu Gadis Arvia Puspa) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
January 2025
Categories |