![]() Pada Jumat (21/03/2025) telah diselenggarakan diskusi publik bertajuk "RUU KUHAP: Memperkuat Sistem Peradilan Pidana Terpadu" secara daring melalui kanal Live YouTube ICJRID (Institute for Criminal Justice Reform). Diskusi ini menghadirkan pakar hukum, akademisi, dan aktivis hak asasi manusia untuk membahas urgensi revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam memastikan keadilan yang lebih transparan, akuntabel, serta berperspektif hak asasi manusia (HAM) dan gender. Hadir sebagai narasumber Dr. Luhut M.P. Pangaribuan, S.H., LL.M. (Ketua Umum DPN PERADI dan Dosen Hukum Acara Pidana, Universitas Indonesia), Siti Aminah Tardi (Komisioner Komnas Perempuan), Dr. A.H. Semendawai, S.H., LL.M. (Wakil Ketua Komnas HAM), serta Prof. Dr. Margarito Kamis, S.H., M.Hum. (Dosen Fakultas Hukum, Universitas Khairun). Diskusi ini dihadiri oleh berbagai kalangan, termasuk mahasiswa hukum, advokat, aktivis perempuan, serta perwakilan dari lembaga bantuan hukum. Dalam pemaparannya, Margarito Kamis menekankan pentingnya reformasi dalam sistem peradilan pidana yang masih sering mengalami penyalahgunaan wewenang, ketidaktransparanan, dan minimnya akuntabilitas. Menurutnya, revisi KUHAP perlu dilakukan dengan menyesuaikan perkembangan hukum modern dan praktik terbaik internasional. “Saat ini, aparat penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan masih memiliki kewenangan yang sangat besar dalam menentukan status hukum seseorang, tanpa mekanisme pengawasan yang ketat. Ini dapat menimbulkan penyimpangan, seperti kriminalisasi terhadap kelompok rentan, termasuk aktivis dan perempuan korban kekerasan,” ujar Margarito. Margarito juga menyoroti perlunya penguatan peran advokat dalam mendampingi tersangka sejak tahap awal penyelidikan hingga persidangan. Rekaman pemeriksaan wajib dihadirkan sebagai bukti untuk mencegah praktik penyiksaan atau pemaksaan pengakuan dalam proses hukum. Sementara itu, Luhut Pangaribuan menekankan bahwa KUHAP yang berlaku saat ini masih mengandung banyak kelemahan dalam menjamin prinsip due process of law. Ia menyoroti bahwa revisi KUHAP harus memperjelas batasan wewenang aparat penegak hukum, memastikan perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan korban, serta mengurangi peluang kriminalisasi terhadap kelompok rentan. “Seharusnya, sistem peradilan pidana tidak hanya fokus pada penghukuman, tetapi juga pada keadilan restoratif yang mempertimbangkan hak-hak korban serta aspek rehabilitasi bagi pelaku,” tegas Luhut. Siti Aminah Tardi dari Komnas Perempuan menyoroti bagaimana sistem peradilan pidana terpadu masih belum cukup dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan. Ia memperkenalkan konsep Sistem Peradilan Pidana Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPPKKTP), yang menekankan integrasi berbagai pihak berwenang dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan serta memastikan akses terhadap layanan yang layak bagi korban. Menurutnya, setiap tahap dalam sistem peradilan pidana, mulai dari penyelidikan, penuntutan, peradilan, hingga pemasyarakatan, harus mempertimbangkan aspek gender agar keadilan bagi perempuan dapat terwujud. Salah satu usulan yang ia sampaikan adalah perlunya mekanisme khusus dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk penyediaan ruang pemeriksaan yang aman, pelatihan bagi aparat penegak hukum agar lebih sensitif terhadap kasus kekerasan berbasis gender, serta penggunaan alat bukti yang lebih komprehensif, seperti visum psikologis. Dengan sistem ini, diharapkan kasus kekerasan terhadap perempuan dapat ditangani secara lebih terintegrasi dan berpihak pada korban. A.H. Semendawai dari Komnas HAM menyoroti bahwa revisi KUHAP merupakan bagian dari agenda reformasi hukum yang lebih luas. Ia menegaskan bahwa Indonesia telah meratifikasi berbagai instrumen HAM internasional yang mengharuskan negara untuk memastikan pelindungan HAM dalam sistem peradilan pidana. Namun, revisi KUHAP menghadapi berbagai tantangan, seperti kepentingan politik yang dapat menghambat proses legislasi, keterbatasan sumber daya manusia dan anggaran, serta resistensi dari aparat penegak hukum yang belum siap dengan perubahan. Oleh karena itu, Semendawai menekankan pentingnya partisipasi publik dalam proses pembentukan undang-undang agar substansi perubahan tetap selaras dengan prinsip-prinsip HAM.
Ia juga menyoroti bagaimana sistem peradilan pidana di Indonesia masih memberikan ruang bagi impunitas, terutama dalam kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang melibatkan aktor negara. Oleh karena itu, revisi KUHAP perlu mengakomodasi mekanisme akuntabilitas yang lebih kuat agar tidak ada pihak yang kebal hukum, termasuk aparat keamanan dan militer. Revisi KUHAP merupakan bagian dari agenda reformasi hukum yang krusial untuk memperkuat perlindungan HAM di Indonesia. Proses penyusunannya harus transparan dan melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna, dengan memastikan substansinya sejalan dengan prinsip-prinsip HAM. Tantangan utama dalam revisi ini mencakup kepentingan politik, keterbatasan sumber daya, serta resistensi aparat penegak hukum. Oleh karena itu, diperlukan komitmen bersama dari seluruh pemangku kepentingan untuk mewujudkan KUHAP yang lebih adil dan berperspektif HAM. Keberhasilan revisi ini akan meningkatkan kepercayaan publik serta menjamin keadilan bagi semua. (Putu Gadis Arvia Puspa) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
April 2025
Categories |