![]() Pada Selasa (20/5/2025), dalam rangka memperingati usia reformasi yang memasuki tahun ke-27, Yayasan ‘98 Peduli menyelenggarakan diskusi yang bertajuk “Pendidikan Kerakyatan dalam Rangka Pengentasan Kemiskinan”. Lewat diskusi ini, diharapkan semangat reformasi dapat dibangkitkan lagi dan dipelihara, khususnya semangat untuk mewujudkan cita-cita reformasi untuk memperbaiki persoalan di sektor publik, tepatnya di sektor pendidikan. Reformasi merupakan salah satu titik balik yang menandai masa perubahan skala besar dalam aspek politik, ekonomi serta sosial di Indonesia. Dalam sejarahnya, reformasi dilatarbelakangi berbagai masalah di era Orde Baru yang multidimensional, tak terkecuali perihal krisis ekonomi, otoritarianisme, dan berbagai persoalan lainnya yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak masyarakat sipil. Mengenai hal ini, reformasi membawa beberapa cita-cita yang berkaitan dengan upaya mewujudkan negara Indonesia yang lebih adil, demokratis dan makmur. Cita-cita reformasi dalam hal ini meliputi: 1) Demokratisasi; 2) Penegakan Hukum dan HAM; 3) Pemberantasan KKN; 4) Desentralisasi dan Otonomi Daerah; dan 5) Reformasi Sektor Publik, termasuk Pendidikan. Kini, era reformasi telah berlangsung selama lebih dari dua dekade dan upaya-upaya untuk mewujudkan cita-cita yang menyertainya masih terus dilakukan.
Kegiatan tersebut diselenggarakan di Gedung Banteng Muda, Jakarta Selatan. Pertama, diskusi dibuka dengan sambutan yang disampaikan oleh Mitha Layuk selaku Ketua Panitia dari rangkaian diskusi. Dalam sambutannya, beliau menyampaikan beberapa poin penting terkait mengapa semangat reformasi harus terus dibangkitkan dan dipelihara. Salah satunya yaitu melalui diskusi-diskusi strategis yang membahas isu-isu krusial terkait cita-cita reformasi, dalam hal ini meliputi isu pendidikan. Selain itu, ia juga menggarisbawahi pentingnya peran media dalam upaya pendokumentasian sejarah sebagai usaha untuk terus merawat semangat reformasi. Karenanya, dalam pembukaan rangkaian diskusi, Yayasan ‘98 Peduli memberikan penghargaan pada dua tokoh yang memiliki peran penting dalam usaha-usaha pencatatan sejarah reformasi, yaitu Almarhum Tino Saroengallo selaku pembuat film dokumenter Tragedi Mei 1998 dan Firman Hidayatullah selakun fotografer yang mendokumentasikan demonstrasi untuk mewujudkan reformasi. "Dokumentasi visual seperti film dan foto memiliki daya hidup yang kuat untuk menyampaikan sejarah kepada generasi muda dengan cara yang lebih membumi dan menggugah kesadaran," ungkapnya terkait esensi dari pemberian penghargaan tersebut. Yayasan ‘98 Peduli meyakini bahwa jika memori kolektif tidak dipelihara, maka makna dari perjuangan masa lalu akan pudar dan generasi muda akan kehilangan arah dalam meneruskan perjuangan yang ada. Oleh karena itu, penghargaan tersebut bukan lah sekadar bentuk apresiasi semata, melainkan juga seruan kepada masyarakat untuk terus menghidupkan semangat reformasi melalui upaya pendidikan, pendokumentasian, dan aksi sosial yang berkesinambungan. Selanjutnya, untuk membawa wawasan yang lebih luas dan perspektif yang baru, diskusi diselenggarakan dengan menghadirkan tiga orang narasumber yang fokus dalam membahas topik-topik seputar pendidikan di Indonesia. Narasumber tersebut meliputi H. Abidin Fikri, S.H., M.H. selaku Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Prof. Muradi, M.Si., M.Sc., Ph.D. selaku akademisi dari Universitas Padjajaran, dan Ai Maryati Solihah, M.Si. selaku Ketua Komisi Perempuan dan Anak Indonesia (KPAI). Pada awal diskusi, Ai Maryati Solihah menyampaikan beberapa poin kunci terkait persoalan pemenuhan hak anak di Indonesia dan keterkaitannya dengan reformasi. Pertama, ia memulai pemaparannya dengan menyoroti salah satu topik krusial tentang salah satu masalah yang melatarbelakangi reformasi, yakni kenaikan harga bahan-bahan pokok yang disuarakan oleh para perempuan, khususnya oleh kalangan ibu yang memperjuangkan hak-hak anak. Poin ini menjadi penting untuk mengingatkan kembali bahwa persoalan pemenuhan hak anak yang berkaitan langsung dengan persoalan pendidikan merupakan aspek yang sangat krusial dalam cita-cita reformasi yang harus terus disorot. Selanjutnya, Ketua KPAI tersebut memulai pemaparan yang membahas tentang topik utama dari diskusi, yakni konsep dan implementasi dari Program Sekolah Rakyat sebagai upaya pengentasan kemiskinan. Mengenai hal ini, Sekolah Rakyat adalah program unggulan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang akan diluncurkan pada Juli 2025. Program ini bertujuan untuk memberikan akses pendidikan berkualitas secara gratis kepada anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem, sebagai upaya memutus rantai kemiskinan antargenerasi. Kemudian, mengenai inovasi program pendidikan untuk anak dalam mengentaskan kemiskinan, Ai Maryati Solihah menggarisbawahi pentingnya dasar yang jelas untuk memastikan agar program tersebut dapat menjadi program yang berjalan secara efektif dan adil. Ketua KPAI ini menjelaskan bahwa inovasi program pendidikan yang dilakukan harus berdasarkan pada empat prinsip dasar perlindungan anak yang mengacu pada Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child/CRC) yang disahkan oleh PBB pada tahun 1989 dan telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990. Prinsip-prinsip tersebut meliputi: 1) Hak untuk Hidup, Tumbuh dan Berkembang (Right to Life, Survival and Development); 2) Non-Diskriminasi (Non-Discrimination); 3) Kepentingan Terbaik bagi Anak (Best Interests of the Child); dan 4) Partisipasi Anak (Respect for the Views of the Child). Sementara itu, meski dimaksudkan untuk meningkatkan kesetaraan ekonomi, beliau melihat bahwa Sekolah Rakyat yang dibentuk untuk pemenuhan pendidikan masyarakat miskin berpotensi menimbulkan kesenjangan baru yang akhirnya justru memelihara diskriminasi. Artinya, pendidikan seharusnya dilihat sebagai hak yang dimiliki oleh anak tanpa syarat dan harus dipenuhi secara lebih inklusif. Untuk itu, upaya pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan yang berkaitan dengan pendidikan anak harus dibentuk secara hati-hati dan tetap memerhatikan jaminan-jaminan sosial di aspek lainnya yang berkelindan dengan aspek pendidikan, seperti kesehatan anak dan perlindungan anak dari tindak-tindak kekerasan. Selanjutnya, Abidin Fikri selaku bagian dari lembaga legislatif juga menyampaikan beberapa poin tentang arah kebijakan pemerintah terkait pendidikan dan pengentasan kemiskinan. Pertama, secara hukum, pasal 34 UUD 1945 menjadi dasar konstitusional bagi negara untuk menjalankan program-program sosial dan pendidikan seperti Sekolah Rakyat. Program ini merupakan bentuk nyata dari kewajiban negara untuk melindungi kelompok rentan, mewujudkan keadilan sosial, serta menjamin akses terhadap pendidikan sebagai hak dasar warga negara. Abidin menyampaikan bahwa pemerintah memandang pendidikan sebagai kunci strategis dalam mengentaskan kemiskinan karena melalui pendidikan yang berkualitas, anak-anak dari keluarga miskin memiliki peluang untuk meningkatkan mobilitas sosial dan ekonomi mereka di masa depan. Sekolah Rakyat, dalam konteks ini, dirancang sebagai jembatan bagi masyarakat miskin agar dapat keluar dari siklus kemiskinan struktural yang diwariskan secara turun-temurun. Akan tetapi, di sisi lain, ia juga tidak memungkiri bahwa ada pendapat yang menyatakan bahwa Sekolah Rakyat berpotensi menciptakan segregasi sosial dan kesenjangan baru dalam sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu, beliau menekankan bahwa implementasi program ini harus dirancang secara tepat dan memperhatikan standar mutu yang setara dengan sekolah umum lainnya agar tidak menimbulkan ketimpangan baru. Terakhir, Muradi menyampaikan beberapa poin tentang pendidikan kerakyatan dalam konteks sosial dan politik di Indonesia. Pertama, beliau menilai bahwa Sekolah Rakyat yang kini sedang digagas belum didasari dengan nomenklatur yang tepat. Penamaan dan kerangka kerja program perlu disusun dengan nomenklatur yang jelas, lengkap, dan sesuai dengan sistem perencanaan pembangunan nasional. Tanpa nomenklatur yang kuat, program ini berisiko tumpang tindih dengan kebijakan pendidikan lainnya atau bahkan sulit untuk masuk dalam skema penganggaran dan evaluasi kinerja pemerintah. Selain itu, Muradi juga menekankan bahwa perbaikan sektor pendidikan tidak selalu harus dimulai dengan inovasi program baru. Justru, menurutnya, pemerintah dapat mengoptimalkan program strategis yang sudah ada namun belum berjalan secara maksimal, seperti revitalisasi pendidikan dasar atau peningkatan kualitas guru. Dengan memperkuat program-program tersebut melalui evaluasi menyeluruh dan penyempurnaan pelaksanaannya, hasil yang lebih konkret dan berkelanjutan bisa dicapai tanpa perlu membangun sistem baru. Sebagai penutup, diskusi “Pendidikan Kerakyatan dalam Rangka Pengentasan Kemiskinan” yang diselenggarakan oleh Yayasan ‘98 Peduli menjadi momentum penting untuk merefleksikan kembali semangat reformasi dalam konteks pendidikan sebagai sektor strategis yang menyentuh langsung kehidupan rakyat. Program Sekolah Rakyat hadir sebagai respons terhadap ketimpangan akses pendidikan dan upaya memutus rantai kemiskinan antargenerasi. Namun, sebagaimana disorot oleh para narasumber, keberhasilan program ini sangat bergantung pada kejelasan nomenklatur, landasan hukum yang kuat, serta pelaksanaan yang inklusif dan tidak diskriminatif. Selain itu, semangat reformasi juga mengingatkan bahwa perbaikan pendidikan tidak semata-mata soal inovasi baru, tetapi juga soal keberanian untuk memperkuat dan menyempurnakan program-program yang telah ada. Oleh karena itu, di tengah tantangan dan potensi yang menyertainya, pendidikan kerakyatan harus terus dijaga agar tetap berpihak pada rakyat, terutama kelompok paling rentan, sebagai bagian dari perjuangan panjang mewujudkan keadilan sosial sebagaimana dicita-citakan oleh reformasi. (Ningdyah Lestari) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
May 2025
Categories |