Dok. Jurnal Perempuan Dalam rangka memperingati Dies Natalis ke-9 Program Studi Kajian Gender Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia, diselenggarakan sebuah seri diskusi akademik dengan tajuk utama “Kreativitas dan Aktivisme dalam Riset Gender-Interseksional”. Kegiatan ini bertujuan untuk membuka ruang dialog kritis dan reflektif mengenai perkembangan riset-riset gender yang bersifat interseksional, kreatif, dan berpihak pada pengalaman perempuan dari berbagai latar. Seri diskusi ini terbagi ke dalam beberapa sesi, dan pada Kamis (3/7/2025) sesi ketiga dilangsungkan secara daring melalui Zoom Meeting dengan judul khusus “Digital Citizenship & Girls’ Gender Empowerment”. Narasumber utama dalam diskusi kali ini adalah Dr. Annisa Beta, akademisi dari School of Culture and Communication, University of Melbourne, Australia. Diskusi ini diselenggarakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai bagaimana pemberdayaan perempuan muda dibentuk, siapa yang menentukan indikator keberhasilannya, dan bagaimana ruang digital dapat dimanfaatkan atau malah dimanfaatkan kembali oleh kekuasaan. Sebagai pembuka, Annisa mengangkat persoalan bahwa wacana pemberdayaan perempuan sering kali terjebak dalam logika pembangunan global yang didikte oleh kepentingan institusi besar dan donor dari negara maju. Dalam banyak kasus, pemberdayaan dijadikan alat untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi seperti pengentasan kemiskinan, efisiensi kerja, atau pertumbuhan ekonomi. Hal ini menyebabkan bentuk pemberdayaan yang tidak berbasis ekonomi atau yang bersifat informal menjadi tidak dianggap penting, karena dianggap tidak terukur, tidak universal, dan tidak bisa direplikasi secara massal. Contoh praktik pemberdayaan semacam ini mencakup kelompok kredit mikro, pelatihan kewirausahaan, hingga kebijakan kuota politik, yang sebenarnya cenderung menekankan angka partisipasi ketimbang kualitas transformasi sosial. Kesetaraan gender pun diperlakukan bukan sebagai prinsip keadilan, melainkan sebagai strategi efisiensi. Melalui kritik tajam ini, Annisa menyatakan bahwa indikator pemberdayaan telah disempitkan oleh logika pembangunan yang elitis dan teknokratis. Sebagai alternatif dari pemberdayaan yang dikendalikan dari atas, Annisa mengajak peserta untuk melihat potensi ruang digital sebagai arena perjuangan perempuan yang lebih kontekstual, kolektif, dan politis. Dunia maya menawarkan bentuk kewarganegaraan digital (digital citizenship) yang tidak hanya bersifat formal atau institusional, tetapi juga memungkinkan munculnya publik alternatif yang dibentuk berdasarkan pengalaman hidup marginal. Dalam pandangan perempuan muda Indonesia yang menjadi fokus studi Annisa, kewarganegaraan digital bukanlah sekadar aktivitas online, tetapi adalah bentuk partisipasi politik yang terus berubah, menolak model Barat, dan sangat terikat pada konteks lokal. Beberapa contoh platform digital yang disebutkan dalam diskusi ini adalah magdalene.co, konde.co, serta akun-akun seperti @indonesiafeminis dan komunitas @lingkarstudifeminis_ di Instagram. Platform-platform ini menjadi ruang penting bagi perempuan muda untuk berbagi narasi, membangun solidaritas, dan menyampaikan isu-isu yang selama ini sulit dibicarakan di ruang publik, seperti seksualitas, kekerasan berbasis gender, dan diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, media digital dapat menjadi media pembebasan, tempat untuk menyuarakan pengalaman yang selama ini dianggap tabu, dan menghubungkan perempuan dari berbagai latar untuk membentuk gerakan yang inklusif. Namun, dalam sesi yang berlangsung selama hampir dua jam tersebut, Annisa juga menekankan bahwa ruang digital bukanlah tempat yang netral atau bebas dari relasi kuasa. Platform digital menyimpan potensi untuk menjadi bumerang karena sifatnya yang penuh bias, etika daring yang belum mapan, serta infrastruktur digital yang cenderung eksploitatif. Perempuan, khususnya yang memiliki identitas gender dan seksualitas non-normatif atau yang tinggal di lingkungan konservatif, masih mengalami berbagai bentuk kekerasan digital seperti peretasan, doxing, pelecehan melalui pesan pribadi, hingga pencemaran nama baik. Situasi ini memperlihatkan bahwa walaupun teknologi memberi peluang, ia juga menghadirkan ancaman baru yang nyata. Salah satu temuan penting dari penelitian Annisa bersama perempuan muda Indonesia adalah bahwa pemberdayaan bukanlah sesuatu yang dapat diringkas menjadi angka atau dicapai dalam satu intervensi kebijakan semata. Sebaliknya, pemberdayaan merupakan sebuah proses yang berkelanjutan, berakar pada pengalaman hidup, dan membutuhkan solidaritas yang nyata. Ia harus dipandu oleh prinsip keadilan dan kepedulian, bukan sekadar efisiensi atau capaian proyek. Dalam konteks ini, dunia digital menjadi ruang produktif untuk memperkuat kesadaran, memperluas akses pengetahuan, serta mengembangkan diskusi-diskusi feminis yang bersifat radikal dan transformatif. Di akhir diskusi, Annisa juga menggarisbawahi pentingnya mendukung bentuk-bentuk pemberdayaan yang dipimpin oleh perempuan muda itu sendiri, bukan oleh elite atau aktor luar yang tidak memiliki pengalaman hidup sebagai perempuan. Ia menekankan bahwa banyak kebijakan gender mainstreaming yang ada saat ini masih dibentuk oleh aktor laki-laki atau oleh institusi yang tidak memiliki kepekaan terhadap pengalaman perempuan. Akibatnya, program-program tersebut sering kali tidak women-friendly dan gagal menyentuh kebutuhan nyata perempuan di lapangan. Sesi diskusi ini tidak hanya menawarkan perspektif baru tentang bagaimana memahami pemberdayaan dalam dunia digital, tetapi juga menyadarkan peserta akan pentingnya mendengarkan suara perempuan muda sebagai agen perubahan yang memiliki kapasitas untuk mendefinisikan ulang makna partisipasi, keadilan, dan kewarganegaraan. Dalam konteks Indonesia yang sangat majemuk dan beragam secara sosial, kultural, dan politik, pendekatan yang bersifat partisipatoris, kontekstual, dan inklusif menjadi kunci dalam merancang strategi pemberdayaan yang tidak menindas dan tidak menyisihkan.
Sebagai penutup, kegiatan diskusi seri ketiga ini menjadi pengingat bahwa pemberdayaan gender bukan sekadar angka-angka pencapaian atau alat ukur donor, melainkan sebuah proses yang kompleks dan berakar pada pengalaman nyata perempuan. Dunia digital bisa menjadi ladang subur untuk tumbuhnya kesadaran kolektif dan perlawanan simbolik, asalkan penggunaannya dikawal dengan kesadaran kritis dan didukung oleh kebijakan yang berpihak. Melalui paparan Annisa Beta, para peserta diingatkan untuk terus membangun ruang-ruang baru yang adil gender, inklusif, dan memberi tempat bagi kerentanan untuk dirayakan sebagai kekuatan. (Inun Fariha Nuhba) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
October 2025
Categories |

RSS Feed