Selasa (10/9/2024), Yayasan Jurnal Perempuan bekerja sama dengan Fakultas Hukum (FH) Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya menggelar acara Pendidikan Publik Jurnal Perempuan 117 yang bertajuk “Penghapusan Kekerasan Seksual dan Keadilan Gender”. Pendidikan Publik ini diselenggarakan secara hybrid, yakni luring di Gedung Yustinus Lt. 14, Kampus Unika Atma Jaya Semanggi, Jakarta dan secara daring melalui Zoom serta Live Streaming YouTube Video Jurnal Perempuan. Acara ini dihadiri oleh mahasiswa, akademisi, aktivis, dan masyarakat umum yang berdedikasi dan ahli terhadap isu gender, kekerasan seksual, hukum, masyarakat adat, dan hak asasi manusia (HAM). Yanti selaku Wakil Rektor Bidang Inovasi, Penelitian, Kerja Sama, dan Alumni, Unika Atma Jaya memberikan sambutan yang menekankan pentingnya kolaborasi antara institusi akademik dan lembaga masyarakat seperti Yayasan Jurnal Perempuan. Ia berharap bahwa diskusi ini bisa menjadi langkah awal untuk menghadirkan solusi dan peningkatan kesadaran terkait kekerasan seksual di lingkungan kampus. Abby Gina Boang Manalu selaku Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan dalam sambutannya juga menekankan bahwa Jurnal Perempuan 117 didedikasikan untuk menyoroti peningkatan kasus kekerasan berbasis gender khususnya kekerasan seksual sebagai salah satu isu mendesak, yang tercatat oleh Komnas Perempuan dan mengapresiasi adanya kebijakan seperti Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus (Permen PPKS). Namun, ia juga mengakui bahwa terdapat hambatan dalam implementasi kebijakan tersebut, termasuk penanganan yang belum memadai. Dalam sesi diskusi panel, Lidwina Inge Nurtjahyo selaku Dosen FH Universitas Indonesia menerangkan kekerasan seksual berbasis digital, khususnya terkait penyebaran konten intim tanpa persetujuan atau Non-Consensual Intimate Image (NCII). Inge menjelaskan bahwa sekarang kasus penyebaran konten intim tanpa persetujuan tidak terbatas pada orang yang saling mengenal. Pelaku bisa saja menyebarkan konten intim seseorang yang diambil dari ruang privat korban, meskipun mereka tidak saling mengenal. Tindakan ini merupakan bentuk kekerasan seksual, terutama jika pelaku bermaksud memanfaatkan konten tersebut untuk kebutuhan seksualnya. Inge juga menyoroti bahwa kerangka regulasi yang ada, seperti UU TPKS dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), masih belum sepenuhnya melindungi korban kekerasan seksual berbasis daring. Inge menekankan perlunya regulasi yang lebih kuat untuk mengatasi masalah tersebut sehingga tidak ada lagi korban kekerasan yang masih berpotensi untuk dikriminalisasi. Inge menekankan bahwa pendidikan seksual yang komprehensif memiliki peran krusial dalam mencegah kekerasan seksual, terutama di kalangan anak muda. Ia menekankan bahwa literasi seksual harus mulai diajarkan sejak dini agar remaja memahami konsep persetujuan (consent) dan batasan dalam hubungan personal. Pendidikan ini, menurut Inge, tidak hanya bisa mengurangi kasus kekerasan seksual tetapi juga menghilangkan stigma terhadap korban. Tracy Pasaribu, Program Officer Kemitraan berusaha membongkar kekerasan seksual di komunitas adat, berdasarkan penelitian yang dilakukannya di Sumba Timur dan Kepulauan Mentawai. Ia menjelaskan tantangan-tantangan yang dihadapi perempuan adat dalam mencari keadilan, terutama dalam konteks hierarki sosial dan adat. Tracy juga menekankan pentingnya pendekatan berbasis komunitas dalam menangani kekerasan seksual di masyarakat adat dan mengadvokasi ruang aman bagi perempuan adat. Muhammad Zamzam Fauzanafi dari Laboratorium Antropologi Universitas Gadjah Mada (LAURA UGM) menjelaskan terkait konsep “ruang aman” dalam konteks kekerasan seksual di masyarakat adat. Zamzam menekankan bahwa ruang aman bukan hanya tentang tempat fisik, tetapi juga mencakup relasi dan praktik sosial yang terjadi di dalamnya. Menurut Zamzam, ruang aman harus bebas dari rasa takut dan nyaman untuk korban kekerasan seksual agar mereka dapat berbicara secara terbuka tentang pengalaman mereka. Dalam riset yang dilakukan oleh LAURA UGM bersama Kemitraan, Zamzam menjelaskan bahwa masyarakat adat memiliki karakteristik yang berbeda dalam memahami kekerasan seksual. Tantangan yang dihadapi dalam menciptakan ruang aman di masyarakat adat termasuk hierarki sosial yang kuat dan norma-norma adat yang sering kali tidak memberikan ruang bagi korban untuk berbicara. Ia juga menekankan pentingnya menghilangkan rasa takut dan membangun ruang di mana korban dapat merasa aman untuk berbagi pengalaman. Retno Daru Dewi G. S. Putri selaku tim Redaksi Jurnal Perempuan menyambung diskusi dengan membagikan pengalaman pribadinya sebagai penyintas kekerasan seksual. Daru menyoroti adanya relasi kuasa di antara pelaku dan korban, yang sering kali memperburuk situasi. Misalnya, mahasiswa yang menjadi korban merasa terjebak karena bergantung pada dosen untuk kelulusan kuliah dan masa depan kariernya. Selanjutnya, Daru juga mengkritisi implementasi kebijakan Permen PPKS. Meski Permen PPKS sudah ada, Daru menjelaskan bahwa implementasinya di kampus masih jauh dari ideal. Daru memaparkan tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaannya, termasuk resistensi dari beberapa pihak di lingkungan akademis, tidak adanya dukungan keuangan untuk mendukung Satgas PPKS di kampus, minimnya sosialisasi, hingga rendahnya respons institusi terhadap pelaporan kasus kekerasan seksual. Daru menyoroti bahwa meskipun sudah ada kebijakan seperti Permen PPKS dan UU TPKS, implementasinya membutuhkan dukungan yang lebih kuat, terutama dalam hal kemitraan, edukasi, dan reframing (membingkai ulang) masalah kekerasan seksual di lingkungan akademis. “Kita memerlukan kerja kolektif antara mahasiswa, dosen, dan pengambil kebijakan untuk memastikan kampus menjadi ruang aman dari kekerasan seksual,” ujar Daru. Asmin Fransiska selaku Dekan FH Unika Atma Jaya menjelaskan kekerasan seksual dalam hubungan personal, khususnya di kalangan mahasiswa dan remaja. Ia menyoroti bagaimana relasi kuasa dalam hubungan romantis sering kali membuat korban tidak menyadari bahwa mereka telah mengalami kekerasan seksual. Dalam hubungan pacaran, kekerasan seksual sering kali tidak terlihat jelas, karena adanya mitos bahwa hubungan romantis melibatkan persetujuan otomatis untuk semua tindakan seksual, padahal itu tidak benar. Asmin menekankan perlunya edukasi terkait persetujuan dan upaya membongkar budaya diam yang masih banyak terjadi. Budaya diam telah menjadi salah satu tantangan terbesar dalam menangani kekerasan seksual di kampus. Budaya ini membuat korban enggan melapor karena takut pada stigma sosial, sanksi dari kampus, hubungan pacaran dianggap sebagai urusan privat, atau karena merasa pelakunya memiliki kekuasaan yang lebih besar. Dia menjelaskan bahwa hierarki sosial dan patriarki sering kali menghambat upaya korban untuk mendapatkan keadilan, karena mereka merasa terintimidasi atau tidak percaya diri untuk berbicara. “Penting bagi kita untuk mendobrak budaya diam yang masih mengakar di masyarakat kita. Budaya ini justru menghambat korban untuk berbicara dan mendapatkan keadilan,” tegasnya. Acara ini ditutup dengan kesimpulan bahwa penghapusan kekerasan seksual bukanlah tugas satu pihak saja, tetapi tanggung jawab bersama yang harus melibatkan berbagai elemen masyarakat, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat sipil. “Kita harus bekerja sama untuk menciptakan masa depan yang lebih setara dan bebas dari kekerasan bagi semua orang, khususnya bagi perempuan dan kelompok rentan,” tutup Abby Fenomena gunung es kerap digunakan sebagai ilustrasi yang menggambarkan situasi darurat kekerasan seksual di Indonesia. Sebab, kasus yang tampak hanyalah permukaan yang jumlahnya sangat sedikit. Maka, pendidikan tentang seksualitas yang komprehensif dan penanaman pemahaman tentang persetujuan sejak dini, terutama di kalangan remaja dan mahasiswa menjadi sangat penting untuk disebarluaskan. Pendidikan Publik Jurnal Perempuan 117 menjadi momentum penting dalam memperkuat upaya advokasi, solidaritas, dan edukasi untuk penghapusan kekerasan seksual serta mencapai keadilan gender di Indonesia. Penting juga untuk segera dihadirkan sistem yang lebih tegas dan dukungan yang terlembaga untuk memastikan perlindungan korban dan hukuman bagi pelaku.
Setiap riset feminis memiliki tanggung jawab untuk menghasilkan transformasi sosial, terutama di lingkungan akademis. Abby berharap, pengetahuan yang dibahas dalam pertemuan ini tidak hanya menambah wawasan, tetapi juga mendorong perubahan nyata dalam menangani kekerasan seksual di berbagai ruang. (Putu Gadis Arvia Puspa) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |