Terhitung telah dua dekade lamanya sejak pemerintah menerbitkan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Meskipun begitu, Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunannya menemukan fakta bahwa hingga saat ini kasus KDRT masih merajarela. Persoalan inilah yang kemudian berusaha Forum Pengada Layanan (FPL) bedah melalui kegiatan diskusi Bahas Perempuan Volume ke-2. Kegiatan yang mengangkat tema “Perempuan dalam Lingkaran KDRT: Perspektif Psikologi” ini diselenggarakan secara daring pada Rabu (12/6/2024) lalu. Kegiatan yang dimoderatori oleh Nathania Theora Warokka (FPL) ini menghadirkan Vitria Lazzarini Latief (Psikolog Klinis) sebagai narasumber. Vitria atau yang akrab disapa Lia merupakan psikolog yang berpengalaman mendampingi pemulihan perempuan penyintas kasus-kasus kekerasan, seperti KDRT.
Ketertarikan Lia pada isu sosial kemusiaan dimulai sejak masa kuliah. Pada beberapa kesempatan, ia terlibat memberikan pendampingan pada beberapa daerah konflik, seperti Ambon misalnya. Di penghujung masa studinya, Lia bergabung dengan Yayasan Pulih guna menyalurkan minat serta mengasah keterampilannya untuk mendampingi kasus-kasus serupa. Pada diskusi ini, Lia memberikan pandangannya terkait maraknya KDRT berdasarkan pengalamannya selama hampir 14 tahun memberikan penanganan psikologis terhadap korban dan penyintas kasus kekerasan. Diskusi diawali dengan mengulas definisi KDRT. KDRT merupakan perlakuan yang menimbulkan penderitaan fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran terhadap seseorang dalam lingkup rumah tangga. Perlakuan yang dimaksud bisa mencakup ancaman, paksaan, atau pembatasan kebebasan yang melanggar hukum. Tindak kekerasan ini umumnya menimpa anggota keluarga perempuan, anak-anak, hingga pekerja rumah tangga yang menetap dalam rumah tangga tersebut. Meskipun tidak terbatas pada perempuan, perempuan berada dalam posisi yang lebih rentan terhadap KDRT. Kerentanan ini disebabkan oleh norma gender tradisional yang masih berlaku di masyarakat. Norma gender tradisional membingkai peran dan relasi gender dengan struktur hierarkis yang sarat diskriminasi dan kekerasan. Pada norma gender tradisional, identitas perempuan lekat dipandang sebagai sosok yang submisif, tidak logis, dan sudah pada dasarnya bersifat pasif. Norma ini kemudian membatasi dan mendikte perempuan dalam bersikap dan bertindak. Begitu pula ketika kita berbicara tentang perempuan dalam hubungan pernikahan atau rumah tangga. Perempuan dibebankan peran untuk mengelola pekerjaan rumah tangga dan taat kepada laki-laki atau suami yang berperan sebagai kepala keluarga. Norma gender tradisional secara tidak adil telah menekan perempuan untuk memenuhi standar-standar tertentu yang mengabaikan identitas dan hak perempuan sebagai manusia utuh dan subjek penuh. Hal ini berimplikasi pada pandangan masyarakat yang akhirnya melazimkan penggunaan kekerasan terhadap perempuan. Tak jarang Lia temukan pihak yang terlibat, keluarga, masyarakat, bahkan aparat penegak hukum memandang sepele kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga sebab hal tersebut dianggap normal oleh khalayak luas. Bukanlah suatu hal yang salah apalagi baru bagi seorang suami untuk bersikap kasar dan keras terhadap istri dan anggota keluarganya yang lain. Selain itu, miskonsepsi tentang apa yang privat dan apa yang publik mengenai hubungan rumah tangga juga menjadi tantangan tersendiri dalam mengadvokasi kasus KDRT. Normalisasi kekerasan, khususnya dalam rumah tangga, menghalangi pelaku untuk dapat mempertanggungjawabkan tindakannya dan menutup akses penyintas untuk mendapatkan pemulihan. Selain faktor bagaimana masyarakat memandang kasus kekerasan, relasi antara korban dan pelaku juga turut meningkatkan kompleksitas kasus KDRT. KDRT sebagai kekerasan yang terjadi pada ranah personal merupakan tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang dikenal baik dan dekat oleh penyintas. Lia mengutip, terdapat riset yang mengatakan bahwa diperlukan setidaknya tujuh kali upaya bagi perempuan untuk benar-benar lepas dari siklus hubungan yang beracun dan sarat kekerasan. Kesulitan yang korban hadapi tidak hanya terletak pada upaya untuk mengadukan perkara pada aparat, tetapi juga untuk mempertahankan kewarasan fisik dan mentalnya. Tidak jarang ditemukan fenomena dimana korban pada akhirnya mencabut laporan karena tekanan mental, baik dari sekitar maupun dari diri korban sendiri, yang mendistorsi kepercayaan diri dan self-respect yang dimiliki. Pada banyak kasus, korban memilih untuk mempertahankan hubungan rumah tangganya dengan pelaku karena beberapa alasan. Pertama, pandangan negatif masyarakat terhadap perempuan yang bercerai, janda, atau ibu tunggal (single mother). Tak dapat dipungkiri fakta bahwa perceraian dapat mempengaruhi status dan posisi korban dalam lingkup sosialnya. Kedua, keraguan yang dimiliki perempuan untuk mendapatkan independensinya kembali. Lia menyampaikan bahwa perempuan penyintas KDRT bisa jadi memilih untuk bertahan sebab memiliki ketergantungan terhadap pasangannya, baik secara finansial, emosional, maupun psikologis. Faktor-faktor tersebut menjadi pertimbangan yang membuat penyintas mengurungkan diri untuk keluar dari hubungan rumah tangganya dan mencari pertolongan. Sebagai pendamping, Lia menekankan bahwa baik pihak terdekat, seperti keluarga dan teman, serta pendamping perempuan penyintas kekerasan dan khususnya KDRT perlu betul-betul menanamkan pemahaman bahwa KDRT merupakan kasus yang kompleks dan tidak mudah dilalui oleh korban dan orang-orang terdekatnya. Kita perlu menjadi peduli sekaligus berhati-hati sehingga langkah yang kita ambil senantiasa berpihak pada korban tanpa membahayakan atau mengekspos korban terhadap risiko kekerasan. Apabila kita berperan sebagai teman, keluarga atau pendamping, Lia menyampaikan bahwa pertama-tama penting bagi kita untuk dapat menghadirkan lingkungan yang aman bagi perempuan penyintas kekerasan. Keberadaan ruang aman tidak hanya menjamin keamanan perempuan, tetapi juga memberikan dukungan dan bantuan yang seharusnya perempuan dapatkan. Selain menjadi ruang aman bagi korban, kita juga dapat membantu penyintas supaya terhubung dengan komunitas layanan atau tenaga profesional yang penyintas butuhkan. Kedepannya, Lia berharap peningkatan kesadaran yang terjadi di masyarakat dapat membantu korban-korban di luar sana dalam mengakses layanan dan menerima dukungan guna terlepas dari lingkar kekerasan. Hadirnya forum-forum layanan dan komunitas berbasis solidaritas perempuan akan sangat berguna dalam mengentaskan tindak kekerasan dan membantu perempuan-perempuan penyintas kekerasan untuk mendapatkan bantuan dan pemulihan. (Nurma Yulia Lailatusyarifah) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |