Mata Harumi: Sastra sebagai Media Penyambung Rasa Suara Perempuan, Luka, dan Perlawanan dalam Cerita18/2/2025
![]() Pada, Jumat (14/2/2025) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menggelar peluncuran kumpulan cerpen Mata Harumi bertajuk "Cerpen Media Penyambung Rasa". Acara yang berlangsung secara hybrid di kantor Komnas Perempuan dan disiarkan langsung melalui YouTube ini menghadirkan berbagai tokoh, termasuk Putu Oka Sukanta selaku penulis Mata Harumi, Andy Yentriyani (Ketua Komnas Perempuan), Saras Dewi (akademisi), Luviana (jurnalis), Fathul Rizkoh (perwakilan kelompok muda), dan Yuni Asriyanti (perempuan pembela HAM). Acara ini juga dihadiri oleh penyintas kekerasan HAM 1965, organisasi masyarakat sipil, media feminis, dan akademisi. Peluncuran Mata Harumi bertujuan untuk membuka ruang refleksi mengenai pengalaman perempuan yang terperangkap dalam diskriminasi dan kekerasan, baik di masa lalu maupun dalam konteks kekerasan berbasis gender yang masih terjadi saat ini. Sastra, dalam hal ini, diposisikan sebagai media memorialisasi agar peristiwa kekerasan terhadap perempuan tidak dilupakan dan menjadi pengingat atas pekerjaan rumah yang masih harus diselesaikan demi keadilan gender. Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, dalam sambutannya menegaskan bahwa Komnas Perempuan terus berupaya menciptakan ruang-ruang baru bagi perempuan untuk menyuarakan pengalaman mereka. Ia menekankan bahwa karya sastra seperti Mata Harumi memiliki peran penting dalam mengangkat realitas kekerasan terhadap perempuan, baik dalam konteks sejarah maupun situasi terkini. Sastra, bukan sekadar bentuk ekspresi artistik, tetapi juga sarana advokasi dan penguatan ingatan kolektif agar kekerasan tidak terulang. Putu Oka Sukanta, sebagai penulis kumpulan cerpen Mata Harumi, menjelaskan bahwa cerpen-cerpen dalam buku ini bukan sekadar rekaman sejarah, tetapi hasil pengolahan realitas sosial melalui imajinasi. Menurutnya, cerita pendek dapat menjadi jembatan batin antara penulis dan pembaca, memungkinkan pembaca mengalami emosi dan perspektif yang mungkin tidak pernah mereka alami langsung. Dalam beberapa cerpen, ia menyoroti bagaimana patriarki mengontrol tubuh perempuan, mengilustrasikan peran perempuan dalam ruang publik dan domestik, serta bagaimana mereka melakukan perlawanan meski harus menghadapi risiko besar. Akademisi Saras Dewi menyoroti bagaimana sastra membuka ruang bagi imajinasi untuk memahami pengalaman manusia. Dosen Filsafat di Universitas Indonesia ini menegaskan bahwa pendidikan seharusnya tidak hanya berbasis hafalan, tetapi juga penghayatan. Dalam konteks tragedi 1965, memahami luka individu berarti memahami luka kemanusiaan yang lebih luas. Cerpen dalam Mata Harumi tidak hanya menyingkap ketidakadilan terhadap perempuan, tetapi juga menunjukkan bagaimana mereka melakukan perlawanan di tengah sistem yang menindas. Representasi ini menjadi sangat penting, karena tidak hanya mengungkap realitas yang kerap terabaikan, tetapi juga menggugah kesadaran pembaca untuk memahami dan merespons persoalan gender yang masih terjadi hingga saat ini.
Luviana, jurnalis dari Konde.co, menyoroti interseksionalitas dalam cerpen-cerpen karya Putu Oka. Ia mengungkap bahwa mayoritas tokoh dalam cerpen ini berasal dari kelas bawah dan kelompok marginal, memperlihatkan bagaimana ketidakadilan gender beririsan dengan ketidakadilan ekonomi dan sosial. Salah satu contoh nyata adalah kisah pekerja seks perempuan yang sadar akan posisinya dan menghadapi risiko pekerjaan mereka tanpa perlindungan hukum yang memadai. Sebagai perwakilan generasi muda, Fathul Rizkoh menyoroti relevansi cerpen Mata Harumi dengan kondisi saat ini, terutama terkait tren anak muda yang semakin kritis terhadap institusi pernikahan. Cerpen seperti Apakah Masih Perlu Suami? menggambarkan beban ganda perempuan dalam rumah tangga, yang masih menjadi perdebatan dalam masyarakat modern. Ia juga menyoroti kisah Made Jepun, yang menggambarkan stigma terhadap penyintas pemerkosaan dan bagaimana trauma kerap diabaikan oleh masyarakat yang lebih mengutamakan norma kesucian perempuan. Dalam sesi diskusi, peserta menyoroti bagaimana adat istiadat sering menjadi alat justifikasi untuk diskriminasi terhadap perempuan. Putu Oka menanggapi dengan menegaskan bahwa sastra bukan sekadar representasi, tetapi refleksi dari kehidupan. Ia mencontohkan bagaimana cerpen-cerpen lain seperti Kumpulan Cerpen Menulis Tubuh dari Jurnal Perempuan, karya Tarian Bumi ciptaan Oka Rusmini, serta Perempuan Berkalung Sorban juga telah menggugat norma budaya dan agama yang menindas perempuan. Sebagai penutup, Komnas Perempuan berharap bahwa Mata Harumi dapat menjadi pengingat dan pemantik diskusi lebih luas mengenai keadilan gender. Sastra diharapkan tidak hanya menjadi refleksi sejarah, tetapi juga menjadi alat perjuangan yang mampu menyentuh berbagai kalangan. Sebagaimana ditegaskan oleh Saras Dewi, karya sastra memiliki kekuatan untuk menggoyahkan pemahaman yang mapan, mengajak pembaca merenungkan kembali konstruksi sosial yang selama ini diterima begitu saja. Peluncuran Mata Harumi bukan sekadar perayaan literasi, tetapi juga bentuk perlawanan terhadap lupa. Dengan menyuarakan pengalaman perempuan melalui sastra, diharapkan upaya menuju keadilan gender semakin mendapatkan tempat dalam kesadaran kolektif masyarakat. (Putu Gadis Arvia Puspa) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
March 2025
Categories |