Dok. Jurnal Perempuan Pada Selasa (15/7/2025), Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet) meluncurkan hasil riset “Aksesibilitas Layanan Situs Web Layanan Publik Indonesia untuk Disabilitas Netra”. Dalam proses riset ini SAFENet bekerjasama dengan Kedutaan Besar Inggris di Jakarta untuk mengadakan survei. Nenden Sekar Arum selaku Direktur Eksekutif SAFENet dalam pembukaannya menyampaikan bahwa pengadaan riset ini merupakan salah satu program dari SAFENet dalam menyedikan pemenuhan hak digital yang inklusif. Program ini mereka adakan setelah mereka menemukan dalam hasil refleksi dan pengalaman komunitas disabilitas netra bahwasannya lingkungan digital masih menjadi salah satu ruang yang tidak bisa menyediakan kesetaraan bagi teman-teman disabilitas netra. Pengalaman-pengalaman komunitas disabilitas netra dalam mengakses layanan-layanan publik secara digital masih belum memenuhi kebutuhan mereka. Semakin cepatnya perkembangan teknologi, perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya kerap tidak merangkul semua orang. Perubahan dalam teknologi ini hanya mengandalkan kecepatan, tanpa melihat bahwa adanya kelompok-kelompok yang tidak dilibatkan dalam kemajuan peradaban manusia. “Apakah kita bisa memastikan semua orang, terutama mereka yang sering diabaikan, ikut serta dalam perubahan teknologi yang cepat?” tanya Amanda McLoughlin, Konselor Kementerian bidang Pembangunan di Kedutaan Besar Inggris di Jakarta. Padahal, sifat inklusif dalam budaya transformasi digital merupakan salah satu hal yang perlu diikutsertakan juga. Tingkat pelibatan kelompok disabilitas yang minim ini menjadi inisiasi pengadaan riset ini dan dalam 4 bulan SAFENet bersama beberapa peneliti, teknolog, dan penyandang disabilitas melakukan survei perihal aksesibilitas situs layanan publik bagi penyandang tunanetra. Dalam hasil riset tersebut ditemukan bahwa ketersediaan layanan publik dengan layanan digital masih belum menerapkan sifat inklusivitas dalam penggunaannya. Ishak Salim, anggota Pusat Disabilitas Universitas Hassanudin, menjelaskan bahwa sebenarnya kelompok netra bukanlah kelompok yang harus beradaptasi dengan seluruh perubahan digital, melainkan bagian dari perubahan itu sendiri. Pemaknaan yang demikianlah yang seharusnya, ia jelaskan, harus mulai digunakan untuk memberikan kesetaraan bagi seluruh orang dalam memberikan hak digital yang setara. Pemaknaan ini jugalah yang menjadi landasan metodologi penelitian riset ini, mereka menggunakan social model disability yang juga merupakan sebuah gerakan sosial sekaligus gerakan akademik dalam menempatkan kelompok disabilitas sebagai bagian utama dalam beragam kegiatan.
Untuk mendukung penelitian ini tetap mengutamakan kelompok disabilitas, riset ini mengajak para mahasiswa disabilitas netra yang sudah sangat melek dengan teknologi. Mereka memberikan pengalaman-pengalamannya secara langsung atas layanan-layanan publik berbasis digital yang mereka gunakan dalam beragam sektor, mulai dari pendidikan, kesehatan, dan sektor lainnya. Pelibatan ini Ishak jelaskan untuk mendapatkan sisi human touch dalam riset mereka sehingga riset ini bukan hanya berdasarkan teori, melainkan dari sisi manusia yang harus mengalami dan merasakan seluruh fitur-fitur teknologi untuk mendukung kebutuhan kelompok netra. Muhammad Ramzy Muliawan dari SAFENet menjelaskan dalam penelitian ini dorongan percepatan penggunaan teknologi di Indonesia dilakuakn sesuai dengan visi “ASTA CITA” Presiden Prabowo Subianto yang tertuang juga dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029. Namun, percepatan digitalisasi layanan publik ini justru berjalan lambat untuk diakses oleh individu dengan low vision, totally blind, dan individu dengan hambatan lainnya. Mereka melaporkan bahwa kebijakan di Indonesia dan praktiknya tidak berjalan dengan baik di lapangan. Ramzy lebih lanjut memaparkan, sekiranya mereka menemukan tiga poin temuan. Pertama, situs-situs web pemerintah masih rendah dalam tingkat kepatuhan terhadap standar Web Content Accessibility Guidelines (WCAG). Kedua, kendala-kendala teknis dalam situs web pemerintah masih ditemukan, seperti navigasi yang tidak optimal, ketiadaan teks alternatif, serta minimnya dukungan pembaca layar. Ketiga, dalam penerapan kebijakan untuk menerapkan transformasi yang inklusif juga rendah karena faktor-faktor; seperti proses pengesahan lambat, jangka waktu kepatuhan situs yang panjang, ketidakjelasan mekanisme pengaduan yang rumit, potensi konflik kepentingan yang kecil, dan fragmentasi koordinasi pemerintahan pusat dan daerah yang belum cukup mendukung. Dalam laporan tersebut, dijelaskan pula bahwa dalam 20 situs layanan publik milik pemerintahan masih belum menyediakan layanan guna memenuhi kebutuhan difabel netra. Sebanyak 20 situs layanan tersebut mirisnya adalah layanan publik yang paling sering dibutuhkan oleh para penyandang disabilitas netra. Situs-situs ini melingkupi sektor-sektor kesehatan, pendidikan, keuangan, administrasi keuangan, dan layanan ketenagakerjaan. Dalam peluncuran hasil riset ini, Komisioner Komnas Disabilitas, Fatimah Asri Mutmainah, turut hadir dan juga mengamini penjelasan Ramzy. Ia yang juga menyandang disabilitas fisik menyampaikan terdapat jarak dalam rangka perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas dengan regulasinya. “Kalau kita tarik akar masalahnya adalah tidak dilibatkannya penyandang disabilitas,” ujarnya. Bukan hanya pelibatan teman netra yang minim, riset ini juga menemukan bahwa mekanisme pengawasan dan penegakan kebijakan di Indonesia masih lemah sehingga mengorbankan teman-teman disabilitas. Selain itu, pengawasan ini juga semakin lemah karena tidak adanya sistem pengaduan khusus untuk isu aksesibilitas digital, akibatnya banyak situs yang tidak patuh terhadap aturan aksesibilitas tetap mempertahankan sistemnya yang tidak inklusif. Padahal, Indonesia sudah memiliki beberapa kebijakan yang mengatur tentang layanan aksesibilitas digital, mulai dari peraturan tingkat undang-undang, peraturan pemerintah, hingga peraturan daerah. Walau demikian, adanya peraturan ini belum menunjukkan bahwa kemudahan yang didapatkan oleh penyandang disabilitas dalam mengakses layanan publik berbasis digital. Para penyandang disabilitas dengan low vision (buta parsial) dan totally blind (buta total) masih memiliki kesulitan yang berbeda dalam hal mengakses layanan-layanan ini. Misalnya, bagi teman-teman disabilitas netra dengan kondisi buta total masih tidak bisa menemukan navigasi dan fitur interaksi yang sepenuhnya membantu. Di lain sisi, kemunculan iklan dalam situs web pemerintah justru masih muncul dan memperburuk pengalaman pengguna tunanetra dalam mengakses layanan publik. Di lain sisi, para penyandang kondisi buta parsial juga kesulitan dengan kondisi situs web yang memiliki tingkat keterbacaan teks yang rendah. Beberapa posisi menu fitur hingga kontras dalam situs web tidak mendukung kebutuhan para teman disabilitas netra sepenuhnya. Para teman disabilitas netra yang terlibat dalam riset ini malahan harus mengandalkan perangkat luar dari situs web seperti NVDA, VoiceOver, tangkapan layar bawaan perangkatnya, atau aplikasi pembaca dokumen lainnya agar bisa membaca dan mendapatkan informasi dari layanan-layanan publik ini. Masih banyaknya kendala dalam situs layanan publik pemerintah yang meningkatkan tantangan para teman netra melahirkan beberapa rekomendasi agar hak digital semua orang bisa terwujud, terutama dalam bagian kebijakan. Hasil riset ini menjadi rekomendasi utama dalam mengadakan pemetaan pengembangan kebijakan yang lebih inklusif bagi pemerintah. Pasalnya, Ramzy mengatakan, “Kami menganggap bahwa setelah melakukan temuan empiris, ini merupakan sesuatu yang perlu segera ditangani.” Ia menjelaskan bahwa seluruh aksesibilitas layanan haruslah ditegakkan karena hal tersebut merupakan mandat dari undang-undang penyandang disabilitas juga. Ia menegaskan penegakan yang lambat akan menjadi kemunduran bagi visi pemerintah yang menginginkan efisiensi lewat digitalisasi beragam layanan publik di pemerintahan. Dalam laporan riset tersebut dijelaskan, “Hambatan akses digital bagi penyandang disabilitas netra bukan berasal dari keterbatasan individu, melainkan manifestasi dari kegagalan sistem desain yang belum mengakomodasi keragaman kebutuhan pengguna.” Nenden mengharapkan bahwa hasil riset ini bukan hanya menjadi program sekali kerja saja, melainkan akan berlanjut dalam 5 tahun ke depan. Ia mengatakan jika program ini bisa menjadi upaya advokasi yang mendorong perkembangan teknologi yang lebih adil dan inklusif bagi seluruh pihak. “Semoga langkah kecil ini bisa menjadi aura dari gerakan yang lebih besar demi menciptakan ruang digital yang benar-benar bebas, aman, dan inklusi untuk semua,” tutupnya. (Ester Veny Novelia) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
October 2025
Categories |

RSS Feed