![]() Habibie Center didukung oleh Canada Mission to ASEAN menggelar seminar bertajuk “TfGBV in the ASEAN Region and Pathways Towards Gender-Responsive Digital Cooperation in the Post-2025 Era” pada Selasa (18/2/2025). Seminar ini digelar dengan tujuan memahami langkah-langkah yang diambil Association of Southeast Asian Nations atau Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dan negara-negara anggotanya dalam menangani Technology-facilitated Gender Based Violence (TfGBV) atau kekerasan berbasis gender yang difasilitasi teknologi. Selain itu, seminar ini juga mengeksplorasi jalur kolaborasi antar pemangku kepentingan dalam memitigasi dan menangani TfGBV di Asia Tenggara. Seminar digelar di The Habibie Center, Jalan Kemang Selatan Nomor 98, Cilandak Timur, Jakarta Selatan dan disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube The Habibie Center. Seminar ini dibuka oleh sambutan dari H.E.Vicky Singmin selaku Duta Besar Kanada untuk ASEAN. Dalam sambutan tersebut, Singmin menyatakan bahwa perdamaian, keamanan, dan pembangunan yang berkelanjutan, serta kemajuan ekonomi tidak dapat dicapai tanpa partisipasi yang penuh dan bermakna dari perempuan. Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa perkembangan teknologi di satu sisi membawa peluang, tetapi di sisi yang lain juga membawa ancaman. “Misinformasi, disinformasi, penggunaan kecerdasan buatan, deepfake, cyberstalking, dan pelecehan, makin marak terjadi. Bukti menunjukan perempuan dan anak perempuan secara tidak proporsional menjadi sasaran dari kekerasan berbasis gender online,” ucapnya.
Singmin juga menyebutkan bahwa di wilayah Asia, 88 persen perempuan usia 18-74 tahun menjadi korban dari kekerasan gender berbasis online. Mulai dari pencemaran nama baik, pelecehan di dunia maya, ujaran kebencian, dan lain sebagainya. Hal tersebut, menurut Singmin, tidak hanya terjadi di Asia. Di Kanada, kekerasan gender berbasis gender online juga menjadi masalah serius. “Data dari Yayasan Perempuan Kanada, 1 dari 5 perempuan melaporkan mengalami pelecehan online,” jelasnya. Kemudian, seminar dilanjutkan oleh pemaparan dari Nenden Sekar Arum selaku Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) yang memaparkan tentang kekerasan gender berbasis online. Menurutnya, teknologi sangat dipengaruhi oleh struktur sosial yang ada. “Karena itu, kita tidak dapat bicara mengenai teknologi dalam ruang hampa,” jelas Nenden. Lebih lanjut, Nenden menjelaskan bahwa teknologi dikembangkan dengan bias gender. Hal ini juga dipengaruhi oleh kurangnya representasi dan pengakuan perempuan di bidang pengembangan teknologi. “Terjadi kesenjangan gender dalam dunia teknologi dan digital lantaran perempuan memiliki keterbatasan akses terhadap hal tersebut,” sambung Nenden. Selanjutnya, Yuyun Wahyuningrum selaku Direktur Eksekutif ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR) melanjutkan pembahasan terkait langkah-langkah yang diambil ASEAN dalam menangani TfGBV dan bagaimana hal tersebut memengaruhi politisi perempuan di Asia Tenggara. Yuyun menjelaskan bahwa TfGBV juga turut menyerang para pejuang hak asasi manusia dan jurnalis. “Kekuatan otoritarian dan konservatif telah menggunakan platform media sosial untuk menyebarkan narasi misoginis, hoax, dan ancaman seperti yang terjadi di Filipina,” ucapnya. Menurut Yuyun, TfGBV telah menjadi bentuk penindasan transnasional. Tak hanya itu, TfGBV juga telah menghalangi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik, serta melemahkan representasi gender dalam proses demokratis. Lebih lanjut, ASEAN masih kekurangan kerangka kerja yang kuat dalam mengatasi TfGBV. Selain itu, perusahaan teknologi juga belum mengambil tindakan yang cukup untuk melawan kekerasan berbasis gender online. Melanjutkan pemaparan dari Yuyun, Jaclyn Sim selaku Manajer Senior Cybersecurity Technical Training Blackberry Cybersecurity Center of Excellence pun turun memberikan pemaparan mengenai peran perusahaan teknologi dalam mempromosikan pendekatan yang responsif dan kolaboratif dalam menghadapi tantangan perkembangan teknologi. Jaclyn menjelaskan bahwa pelatihan dan pengetahuan mengenai keamanan digital menjadi salah satu aspek penting dalam menghadapi tantangan perkembangan teknologi, khususnya yang secara spesifik menyerang perempuan seperti TfGBV. Ia juga menyebutkan bahwa perempuan secara tidak proporsional menjadi sasaran dari serangan siber. “Kita harus bekerja sama untuk mengembangkan program pendidikan yang tidak hanya mengajarkan mengenai dasar-dasar keamanan digital, tetapi juga cara mengenali dan melaporkan ancaman berbasis gender di dunia digital,” ucap Jaclyn. Lebih lanjut, Jaclyn mengungkapkan bahwa dunia internasional kekurangan pekerja profesional dan keberagaman gender di bidang keamanan digital. “Hal ini menjadi tantangan global yang membutuhkan program serta solusi lokal dengan dukungan dan kolaborasi sektor swasta,” jelas Jaclyn. (Michelle Gabriela Momole) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
March 2025
Categories |