Kristi Poerwandari: Etika Kepedulian sebagai Strategi Feminis dalam Menavigasi Era Digital28/2/2025
![]() Bagaimana perempuan mengalami kerentanan dalam dunia digital? Bagaimana perempuan dianggap inferior dalam konsepsi moralitas kovensional? Bagaimana etika kepedulian menjadi suatu alternatif feminis dalam menanggapi krisis tersebut? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi pemantik kelas KAFFE Februari II 2025 bertajuk “Ethics of Care: Perempuan dan Kesehatan Mental di Era Digital” yang diampu oleh Prof. Dr. Elizabeth Kristi Poerwandari, M.Hum. (Pengajar di Fakultas Psikologi dan Prodi Kajian Gender, SKSG Universitas Indonesia). Diskusi ini telah dilangsungkan secara daring pada hari Rabu malam (26/2/2025). Pada hari ini, di mana realitas sehari-hari kian berkelindan dengan yang di dunia maya, bermacam-macam persoalan di dunia ini dimediasi oleh internet. Kendati internet membuka ruang luas untuk eksplorasi individu dalam mengembangkan jati diri serta eksistensinya, terbuka pula eksplorasi luas bagi individu dalam hal relasi dan seksualitas. Internet hari ini telah mempopulerkan dating app dan budaya hubungan-hubungan kasual yang singkat. Bersamaan dengan budaya tersebut, maraknya interaksi romantis-seksual yang superfisial dan berisiko juga menghadirkan berbagai bentuk baru kekerasan berbasis gender di dunia maya, seperti cyber bullying dan revenge porn atau non-consensual intimate image abuse (NCII), yang paralel dengan berbagai bentuk kekerasan berbasis gender lainnya di dunia nyata. Media sosial juga melihat meningkatnya femonena di mana perempuan selain menjadi korban juga menjadi pelaku dan agen-agen kekerasan. Apa yang terjadi? Bagaimana perempuan bisa menjaga kesehatan mentalnya di tengah pengalaman-pengalaman interaksi digital? Pada pembuka diskusi, Kristi menyampaikan bahwa perempuan secara psikologis adalah makhluk yang relasional. Sayangnya, di dunia internet saat ini, terjadi penurunan relasi interpersonal langsung yang memberikan implikasi kompleks bagi perempuan. Dalam konteks ini, Kristi berargumen bahwa etika kepedulian menjadi suatu solusi bagi perempuan dalam menjadi lebih bijak terhadap diri sendiri dan sesama–terkhusus ketika menyikapi interaksi di dunia maya. Namun, sebelum memasuki pembahasan mengenai etika kepedulian, penting bagi kita untuk melihat diskursus psikologi yang melatarbelakangi lahirnya pemikiran ini. Menurut Kristi, dalam membicarakan moralitas–terutama dalam perspektif gender–kita harus terlebih dahulu memeriksa konsepsi yang kita gunakan. Sebab, dalam hal pemikiran moralitas konvensional, perempuan seringkali dianggap memiliki pemahaman yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Anggapan ini lahir dari Teori Perkembangan Moral yang dikembangkan psikolog asal Amerika Serikat, Lawrence Kohlberg (1927-1987). Kohlberg menganggap moralitas sebagai suatu bahasan yang rasional, objektif, universal, dan berbasis aturan yang sama untuk semua orang tanpa keberpihakan. Ia juga mengembangkan model-model tahapan moral dalam perkembangan manusia yang dipengaruhi oleh bagaimana sang individu dididik oleh lingkungannya. Dalam konteks inilah, Kohlberg melihat bahwa perempuan sulit untuk mencapai moralitas tertinggi yang universal. Menurutnya, perempuan berpikir lebih emosinya, sehingga sulit untuk melepaskan diri dari pertimbangan-pertimbangan subjektif dan relasional. Oleh karena itu moralitas perempuan dianggap cenderung lebih rendah, tidak mampu berpikir secara objektif-universal. Pemikiran Kohlberg ini menjadi latar belakang lahirnya gagasan mengenai etika kepedulian sebagaimana dicetuskan oleh Carol Gilligan, sosok psikolog feminis yang kebetulan merupakan murid sekaligus asisten penelitian Kohlberg. Dalam bukunya A Different Voice, Gilligan mengajukan kritik terhadap teori perkembangan moral Kohlberg. Menurutnya, tahapan yang dicetuskan oleh Kohlberg terlalu lelaki-sentris, dan tidak bisa digeneralisasi ke dalam perkembangan perempuan. Kekeliruan Kohlberg, menurut Gilligan, adalah bahwa teori perkembangannya menggunakan norma laki-laki sebagai norma umum untuk mengukur perkembangan moral perempuan, sehingga moral perempuan dianggap kurang berkembang. Ini tentu problematis. Menurut Gilligan, untuk mengukur moralitas manusia, kita perlu memahami bagaimana konstruksi gender memengaruhi proses penalaran moral. Penelitian moral tidak bisa hanya didasarkan pada kasus hipotesis atau rekaan semata, tetapi harus berangkat dari situasi riil dan dilema-dilema moral yang terjadi di sekitar kita. Adanya penekanan pada keterpisahan (detachment) dan otonomi pada konstruksi gender laki-laki mengembangkan suatu penalaran moral “laki-laki” yang berfokus pada keadilan, netralitas, dan hak. Di sisi lain, konstruksi gender perempuan ditekankan pada hubungan dan keterkaitan dengan orang lain. Perempuan diarahkan pada penalaran moral yang menyoroti keinginan, kebutuhan, dan kepentingan dari individu serta kelompok di sekitarnya. Gilligan menemukan bahwa tahapan perkembangan moral awal perempuan dicirikan oleh 1) orientasi pada keberlangsungan hidup diri sendiri, 2) kebaikan melalui pengorbanan diri untuk orang lain, dan 3) moralitas non-kekerasan yang memberikan perhatian dan kepedulian bagi diri sendiri sekaligus bagi sesama. Dari sinilah etika kepedulian mendapatkan namanya, dan dianggap sebagai ideal dalam menyejajarkan moralitas individu dengan yang kolektif.
Lebih lanjut, mengutip Nel Noddings (1929-2022), Kristi menyebut bahwa etika kepedulian ini bukan saja suatu bahasa moral perempuan yang berbeda, tetapi juga lebih baik. Moralitas seharusnya terkait dengan relasi yang bermakna, pengalaman subjektif, keterlibatan, keikutsertaan, dan interaksi aktif. Gagasan universal yang abstrak tidak mencukupi. Kebutuhan konkrit individu harus selalu diperhitungkan. Universalitas moralitas lantas terletak pada kepedulian ini. Virginia Held (1929) juga menyebut bahwa selama ini, etika kepedulian diterapkan hanya dalam kehidupan privat keluarga. Pada akhirnya, perempuan dikekang dalam domestisitas, dan selama ini hanya perempuan yang mengerjakan kerja-kerja keperawatan. Padahal, etika kepedulian juga penting bagi semua orang, tidak hanya perempuan. Manusia bukan makhluk mandiri, dan manusia hidup dalam relasi keperawatan dengan antar sesamanya. Kepedulian dan keperawatan adalah prasyarat kehidupan. Lantas, etika kepedulian harus menjadi kerangka utama. Etika berbasis hak dan keadilan harus diberlakukan dalam kerangka utama etika kepedulian. Kendati etika kepedulian memang beranjak dari konteks relasi yang lebih personal, ia lantas menjadi relevan untuk menjawab berbagai isu-isu umum dalam bidang ekonomi, sosial, politik, hingga budaya. Kembali ke isu digital, perspektif Gilligan memungkinkan kita untuk melihat bahwa interaksi-interaksi dangkal di internet dapat mengacaukan kehidupan perempuan yang berbasis diri relasional. Perempuan mengalami kebingungan karena terjebak antara harus memenuhi kebutuhan keberlangsungan hidup dirinya sendiri sekaligus juga menjadi perempuan baik-baik yang diharapkan oleh masyarakat. Seringkali, perempuan akhirnya dikondisikan agar harus rela mengorbankan dirinya sendiri untuk orang lain. Kendati ini mungkin dilakukan dengan intensi baik, pada akhirnya ini melukai kesehatan mental perempuan dalam jangka panjang. Krisis ini diperparah di tengah-tengah era digital, di mana sangat mudah bagi siapapun untuk jatuh ke dalam relasi yang toksik dan penuh kekerasan. Masyarakat digital yang kompetitif, hanya berdasar visual, material, dan superfisial menyulitkan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan psikologis dasar dan kebutuhan berelasi. Kita juga dijadikan kurang bijak dan seimbang dalam menilai diri sendiri, menilai sesama, berpikir kritis, dan berefleksi panjang. Etika kepedulian lantas menghadirkan keseimbangan dalam bagaimana kita harus menyikapi kebutuhan diri dan sesama. Konsepsi moralitas yang melulu terpaku pada konsepsi keadilan, hak, dan kewajiban pada akhirnya hanya jatuh pada kesibukan dengan individualitas diri sendiri. Kesehatan mental dapat dicapai melalui kultivasi esensi etika kepedulian hingga tingkatan tertinggi: untuk menolak kekerasan, memedulikan diri sendiri agar kita juga bisa memedulikan orang lain, dan pada akhirnya merawat kehidupan kolektif. Dengan ini, etika kepedulian juga bisa menjadi suatu strategi alternatif bagi kita untuk mengawamkan nilai-nilai feminis dalam keseharian. (Faiz Abimanyu Wiguna) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
March 2025
Categories |