Dok. Jurnal Perempuan Webinar “Peringatan Hari SDGs, Hari Kontrasepsi Internasional & Hari Aborsi Aman”, diselenggarakan oleh Lembaga Partisipasi Perempuan (LP2) yang bekerja sama dengan Indonesia Feminis (30/9/2024). Webinar ini mendiskusikan tentang sejarah kontrasepsi untuk pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan, dan peran kontrasepsi dan aborsi aman dalam pencapaian SDGs. Webinar ini mengundang Budi Wahyuni yang merupakan Ketua Dewan Pakar LP2 yang aktif menangani isu hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) sekaligus penggiat hak HAM sejak 42 tahun yang lalu, serta Leny Jakaria yang merupakan Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) yang juga merupakan pekerja sosial. Jalannya webinar ini dipandu oleh Evie Permata Sari selaku MC, dan Dea Safira selaku Moderator. Adrianna Venny yang merupakan Board LP2 memberikan sambutan untuk membuka membuka webinar ini. Ia menyatakan bahwa, tujuan SDGs masih belum bisa tercapai sampai tahun 2030 karena adanya pandemi Covid-19, konflik di berbagai negara, perubahan iklim, dan ketidakadilan gender yang pada saat ini menyebabkan backlash atas segala gerakan feminisme, sehingga terjadi kemunduran dalam pemenuhan HKSR. “Peringatan Hari SDGs, Hari Kontrasepsi Internasional, dan Hari Aborsi Aman, seharusnya dapat menjadi ranah diskusi agar kita selalu berkomitmen dalam memperjuangkan HKSR,” tuturnya.
Budi Wahyuni bercerita, permasalahan yang mencetuskan terbentuknya PKBI pada tahun 1957 adalah banyaknya perempuan yang meninggal karena melahirkan. Saat itu, PKBI hadir untuk menawarkan kontrasepsi yang sesuai dengan kondisi masing-masing perempuan, sehingga para perempuan dapat bebas memilihnya dan tidak lagi meninggal secara sia-sia. Selain itu, PKBI juga berperan dalam memberikan nasihat perkawinan, karena tingginya angka perceraian karena kemandulan. PKBI hari ini telah menjadi unit pelaksana Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN). Akibatnya, PKBI tidak lagi leluasa dalam mengedukasi penggunaan alat kontrasepsi. Alat kontrasepsi yang lebih sering dipromosikan pemerintah hanyalah alat kontrasepsi jangka panjang, seperti keluarga berencana (KB) implan, suntik, dan spiral yang diperuntukkan bagi perempuan. Tidak dipromosikannya kondom laki-laki menyebabkan rendahnya partisipasi laki-laki dalam program (KB, dan munculnya stigma seks bebas bagi pengguna kondom. Seluruh jenis kontrasepsi, termasuk yang dipromosikan oleh pemerintah, memiliki dampak yang beragam pada setiap orang. Kegagalan kontrasepsi dapat menyebabkan turunnya tingkat fertilitas, terganggunya sistem tubuh, dan kehamilan yang tidak diinginkan. Budi mempertanyakan, “Jika kegagalan ini terjadi, yang akan disalahkan orangnya atau produknya?” Sampai saat ini, kontrasepsi hanya diperuntukkan bagi pasutri, padahal seharusnya untuk semua usia. Pemenuhan HKSR masih jarang melingkupi kebutuhan seksualitas lansia, dan situasi-situasi genting seperti pemerkosaan pada perempuan. Pemenuhan HKSR seharusnya juga menaruh perhatian pada perempuan yang meninggal karena kanker servik. Mirisnya, masih banyak orang yang minim empati terhadap kematian perempuan karena kanker serviks, dan justru menghakimi dan mengasumsikan perilaku seksual perempuan tersebut. Saat ini pun Vaksin HPV hanya cocok digunakan oleh perempuan mulai dari usia kelas 5 SD, belum bisa dikonsumsi untuk perempuan yang lebih muda. Budi menyatakan bahwa, kontrasepsi yang sehat adalah yang bisa mencegah kehamilan sekaligus menekan jumlah perempuan yang meninggal karena melahirkan. Jika harus dilakukan aborsi, seorang perempuan berhak untuk mendapatkan tindakan aborsi yang sehat dan aman. Sehat secara fisik, psikis dan sosial. Aman tidak mengancam kesehatan, sekaligus tidak mengkriminalisasi. Pemenuhan HKSR sangat membutuhkan regulasi yang memadai bagi perempuan muda, anak, dan perempuan korban kekerasan seksual. Kesehatan reproduksi dan seksualitas merupakan kedua hal yang tidak bisa dipisahkan dan merupakan hak bagi semua orang. Mengakui hak kesehatan seksual juga berarti mengakui adanya kelompok LGBT dengan kebutuhan seksual yang berbeda. Layanan HKSR juga harus dipadukan karena perilaku seks yang tidak sehat telah menjadikan organ reproduksi rusak. Dalam sesi diskusi, Budi memberikan poin-poin tambahan. Perempuan lansia mengalami pengurangan jumlah lubrikasi, sehingga ketika melakukan hubungan seksual, mereka akan kesakitan dan organ reproduksinya sangat rentan untuk teriritasi. Iritasi yang sampai mengalami pendarahan akan sangat meningkatkan risiko tertular virus HIV. Dalam banyak kasus, kondom tidak efektif sebagai alat kontrasepsi, tetapi menjadi andalan untuk mencegah penularan HIV. Sulitnya mengedukasi kesehatan seksual dan reproduksi tidak hanya tentang izin dan legalitas, tetapi juga masyarakat yang dihalangi untuk sehat. Menurutnya, penggunaan alat kontrasepsi seharusnya diputuskan oleh perempuan pemilik tubuh, bukan pasangan ataupun tenaga kesehatan, sehingga perempuan harus memiliki sepenuhnya otonomi atas tubuhnya sendiri. Adanya narasi tentang kehamilan berisiko jika terjadi pada perempuan di atas 35 tahun dapat disebabkan oleh keterbatasan organ reproduksi perempuan yang dipengaruhi oleh asupan gizi. Jika layanan fasilitas dan tenaga kesehatan lebih mudah diakses, kehamilan yang berisiko ini seharusnya dapat diatasi. Menyikapi kajian aborsi dan agama, menurutnya tidak ada agama yang membiarkan perempuan untuk mati sia-sia, terutama karena kehamilan dan persalinan yang membahayakan tubuhnya. Kita perlu untuk selalu berorientasi pada apa yang sebenarnya dibutuhkan perempuan atas tubuhnya sendiri dan tidak memasukkan kepentingan lain yang bersifat patriarki. Leny Jakaria menyatakan bahwa, dahulu rata-rata jumlah anak yang dilahirkan perempuan sebanyak 6 anak dan sekarang turun menjadi 2 anak. Sejak berdiri di tahun 1957, pendiri PKBI sudah memiliki pandangan yang progresif tentang kematian ibu yang melahirkan. Hal ini dapat diatasi dengan layanan kesehatan ibu hamil yang baik. Data angka kematian ibu (AKI) dari tahun 1967 sampai 2023 memang menurun, tetapi sumber dari data-data ini berbeda dan definisi AKI juga sangat beragam. Penurunan AKI yang sesuai dengan target SDGs ternyata hanya terjadi pada provinsi DKI Jakarta dan DI Yogyakarta. Terlebih, tidak semua kasus kematian ibu tidak tercatat secara resmi dan malah dicatat sebagai kematian umum. Menurut Leny, pemenuhan HKSR di Indonesia dapat dilakukan dengan mengatasi permasalahan perkawinan anak, sunat perempuan, dan kehamilan tidak dikehendaki. Akan tetapi hal ini masih sulit untuk dilakukan karena faktor banyaknya kasus kekerasan berbasis gender, dan bencana alam yang dapat menunda penanganan kesehatan dan persalinan pada ibu. Jika dilihat dari konteks kesehatan reproduksi, perempuan menanggung banyak sekali beban, seperti fisik berupa kondisi tubuhnya selama hamil sampai setelah melahirkan, sosial berupa berbagai stigma pada dirinya sebagai perempuan, dan ekonomi berupa biaya saat hamil sampai melahirkan yang masih juga ia tanggung. Selain itu, sampai saat ini, alat kontrasepsi yang diperuntukkan bagi laki-laki hanya berjumlah 2 dari total 12 alat yang ada. Hal ini juga menambah beban kesehatan reproduksi pada perempuan. Dalam sesi diskusi, Leny menambahkan beberapa poin. Menurutnya, edukasi kesehatan reproduksi seharusnya diposisikan sebagai pendidikan yang dapat diakses sedini mungkin, bukannya justru digiring ke isu seksualitas. Leny juga berbagi cerita tentang pengalaman kesulitan yang ia alami saat hamil di usia 36 tahun yang dinilai sudah berisiko. Pada saat itu, Leny memang menginginkan anak kedua, tetapi ia sulit untuk hamil. Ketika sudah hamil, ia sering mengalami pendarahan, dan juga mengalami persalinan yang sulit. Berdasarkan pengalaman ini, Leny mengakui pendapat banyak orang yang mengatakan jika hamil di atas usia 35 tahun berisiko. Ia juga bercerita terdapat perempuan yang disterilkan oleh dokter setelah persalinan tanpa persetujuan suami, karena memang tubuhnya sudah tidak kuat lagi untuk hamil. Namun, begitu suaminya mengetahui hal itu, suaminya langsung menceraikan istrinya. Padahal, kontrasepsi seharusnya murni keputusan perempuan si pemilik tubuh, bukan orang lain. Hari Aborsi yang berada dalam urutan terakhir dari 2 hari lainnya menunjukkan bahwa, sebelum dilakukan aborsi, seharusnya didahulukan dengan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi beserta alat dan metode kontrasepsi yang lebih aman. Pemenuhan HKSR merupakan hak untuk semua orang yang harus dijamin negara. Otonomi dalam penggunaan kontrasepsi dan aborsi aman bukan hanya isu medis, tetapi juga merupakan persoalan keadilan sosial yang berkaitan dengan akses layanan kesehatan, dan penghapusan stigma. Tantangan seperti perkawinan anak, kekerasan berbasis gender, hingga minimnya partisipasi laki-laki dalam program KB menunjukkan pemenuhan HKSR masih harus diperjuangkan. Pemenuhan HKSR sejak dini, layanan kesehatan yang inklusif, serta regulasi yang melindungi perempuan dari kriminalisasi menjadi langkah krusial untuk memastikan bahwa setiap orang, tanpa terkecuali, dapat hidup sehat, aman, dan bermartabat. (Dira Chaerani) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
October 2025
Categories |

RSS Feed