![]() Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) bekerja dengan Commision on Legal Pluralism menyelenggarakan Konferensi Internasional Pluralisme Hukum bertema “The Transformtaive Power of Legal Pluralism? Planetary Challanges in a Diverse and Multipolar World”, pada 13-15 Januari 2025 di FH UI, Depok. Konferensi ini merupakan kelanjutan dari Kursus Internasional tentang Pluarlisme Hukum yang diadakan pada 8-11 Januari 2025 di Wisma Makara, UI. Konferensi ini bertujuan untuk mengeksplorasi dimensi pluralisme hukum dalam menghadapi tantangan global, seperti perubahan iklim, ketegangan geopolitik, dan konflik kekerasan. Peserta yang hadir terdiri dari 150 akademisi, dan profesional dari 25 negara, termasuk para aktivis, peneliti, dan pembuat kebijakan yang memiliki fokus pada studi sosio-legal dan pluralisme hukum. Konferensi diawali dengan sesi pembukaan yang berjudul “Law, Democracy, Human Rights and Ecological Justice in Contemporary Indonesia”, yang berlangsung pada 13 Januari 2025, pukul 09.00-11.00 WIB di Balai Sidang FH UI. Sesi ini dimoderatori oleh Prof. Sulistiyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum dari FH UI yang memiliki reputasi internasional di bidang pluralisme hukum. Pada sesi ini, moderator membantu mengupas berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia dalam ranah hukum, demokrasi, dan keadilan lingkungan dengan bersama narasumber terkemuka di bidangnya yaitu Prof. Todung Mulya Lubis, Usman Hamid, Suraya Afif, Ph.D., dan Prof. M.R. Andi Gunawan Wibisono.
Prof. Todung Mulya Lubis, pengacara dan aktivis hak asasi manusia, membahas tentang penegakan prinsip demokrasi akibat penyalahgunaan wewenang yang kerap terjadi di berbagai lembaga negara. Ia memaparkan bahwa Indonesia sebagai negara demokrasi yang cacat, karena akhir-akhir ini kita sedang mengalami apa yang disebut sebagai kemunduran demokrasi. Hal tersebut terlihat pada situasi saat ini dengan adanya korupsi yang tersistemik, endemik, dan meluas. Terdapat beberapa hal yang menggambarkan demokrasi di Indonesia terus mundur, seperti situasi pemilu 2024 yang diyakini sebagai pemilu terburuk dalam sejarah reformasi Indonesia karena banyaknya politik uang dan campur tangan pemerintah dalam mendikte hasil pemilu. Kemudian, kembalinya Orde Baru, walaupun ini belum di sahkan oleh hukum, tapi presiden mengundang mereka secara terbuka, dan tidak ada yang bisa menghentikannya. Masyarakat sipil adalah satu-satunya kekuatan yang dapat mengkritik, yang dapat mengontrol, yang dapat menghentikan tindakan sewenang-wenang pemerintah, tetapi mereka juga semakin di korupsi. Seperti banyak sekali, masyarakat sipil yang di undang oleh pemerintah untuk menjadi bagian dari mereka. Hal tersebut dapat mempertaruhkan kebebasan kita, dan integritas kita. Lebih lanjut, Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, menyoroti dampak alienasi dari kesadaran sejarah hukum arah bangsa dan masa depan demokrasi di Indonesia. Ia menegaskan bahwa kemunduran demokrasi ditandai oleh tiga faktor utama: Menyusutnya ruang sipil untuk melakukan protes dan kritik; pelemahan oposisi politik melalui penggunaan hukum sebagai alat represi, serta berkurangnya integritas pemilu akibat penyalahgunaan konstitusi. Menurutnya, situasi ini di dorong oleh enam faktor, yaitu desentralisasi dan ekspansi kekuasaan eksekutif, lemahnya kualitas partai politik, dominasi media oleh kelompok oligarki, politisasi dan korupsi dalam penegakan hukum, kebangkitan kekuasaan militer di sektor bisnis terutama industri ekstraktif, serta meningkatnya polarisasi dalam masyarakat. Usman juga mengaitkan masalah ini dengan sejarah pemikiran hukum Indonesia yang dipengaruhi oleh tradisi positivisme dan romantisme. Positivisme menekankan ketaatan terhadap hukum, yang dibuat otoritas sah, sedangkan romantisme menekankan legitimasi hukum berdasarkan kesesuaiannya dengan budaya lokal. Dominasi romantisme ini membuat hukum di Indonesia cenderung berorientasi pada nilai-nilai tradisi, sehingga sering mengabaikan norma-norma universal. Hal tersebut tergambarkan pada kondisi Indonesia yang telah banyak meratifikasi perjanjian di konvensi internasional tentang HAM, tetapi negara enggan untuk mengimplementasikan HAM secara penuh di dalam negeri. Kemudian, Suraya Afif, Ph.D., Antropolog dan Aktivis Lingkungan, mengulas tentang konflik agraria yang berkepanjangan, dampaknya terhadap keadilan ekologis, dan perusakan lingkungan. Ia menjelaskan bahwa sengketa lahan antara masyarakat adat dengan negara di beberapa wilayah berakar pada prinsip-prinsip hukum agraria warisan Belanda, Domein Verklaring, yang menciptakan “political forest” dan memberikan negara kewenangan atas tanah yang tidak bersertifikat. Sejarahnya, aturan ini dimanfaatkan untuk membuka peluang investasi besar-besaran bagi orang Eropa. Setelah kemerdekaan, sebagian besar masyarakat Indonesia tidak memiliki sertifikat tanah, sehingga negara mengklaim lahan tersebut sebagai miliknya dan mengalokasikannya untuk korporasi tanpa melibatkan masyarakat. Kemudian, aturan tersebut kemudian diadaptasi dan dilaksanakan pada era Orde Baru hingga saat ini. Jika perusahaan besar yang memiliki koneksi politik dengan penguasa, maka mereka akan mendapatkan izin usaha dengan mudah, terutama di sektor perkebunan kelapa sawit, dalam waktu singkat dengan memanfaatkan celah birokrasi di Indonesia. Namun, situasi tersebut berbanding terbalik dengan masyarakat adat yang harus berjuang hingga belasan tahun untuk mendapatkan pengakuan wilayah hutan mereka. Parahnya lagi, pemberian izin penggunaan lahan hutan menjadi industri monokultur bagi perusahaan dapat berlangsung hingga 35 tahun dan dapat diperpanjang, membuat masyarakat adat kehilangan ketahanan pangan hingga hak atas tanah mereka, dan menjadi kelompok yang tak memiliki lahan. Kemudian, konflik agraria yang meluas telah meningkat secara signifikan. Ini menjadi salah satu kontribusi terhadap masalah kemiskinan yang masih terjadi di daerah perdesaan Indonesia. Terakhir, Prof. M.R. Andi Gunawan Wibisono, ahli hukum lingkungan dari FH UI, mengupas isu korupsi dalam pengelolaan sumber daya alam yang menyebabkan kerugian bagi masyarakat dan lingkungan. Ia menyoroti upaya kriminalisasi terhadap para pembela hak-hak lingkungan, termasuk para ahli yang mengungkapkan hasil kajiannya terhadap salah satu kasus korupsi timah di Indonesia. Kasus tersebut yang telah memberikan dampak kerusakan iklim yang sangat merugikan masyarakat dan negara. Pada situasi tersebut, Andi menegaskan bahwa Indonesia sebenarnya memiliki dasar hukum yang kuat, seperti UU No. 32 Tahun 2009 Pasal 90 yang memberi kewenangan kepada pemerintah untuk menuntut dan menghitung kerugian lingkungan, serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 7 Tahun 2014 ayat tentang penilaian kerusakan lingkungan. Kedua regulasi ini seharusnya menjadi dasar kuat bagi pemerintah dalam melakukan restorasi lingkungan akibat ulah perusahaan. Namun, kenyataannya, pemerintah melalui kementerian terkait gagal membedakan antara restorasi primer dan restorasi kompensasi. Kompensasi yang diberikan perusahaan terbatas pada kerugian material dan bertujuan untuk pemulihan saja. Prof. Andi menilai pandangan ini keliru karena pemerintah hanya terfokus mengumpulkan dana kompensasi tanpa memanfaatkannya untuk pemulihan lingkungan yang nyata. Ia mempertanyakan efektivitas tuntutan triliunan rupiah jika dana tersebut tidak digunakan untuk memperbaiki kerusakan lingkungan dan sumber daya yang rusak. Pengadilan seharusnya menetapkan perhitungan berdasarkan kebutuhan restorasi yang konkret agar pemulihan yang dilakukan tidak bersifat hipotesis, dan mungkin sedikit palsu. Lebih lanjut, Andi menekankan perlunya perubahan paradigma dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Ia menilai pemerintah masih terjebak pada anggapan bahwa negara adalah pemilik mutlak sumber daya, yang berakar dari prinsip penguasaan lahan. Pandangan ini perlu diubah agar pengelolaan lingkungan lebih berorientasi pada keberlanjutan dan pemulihan nyata, bukan semata-mata pada aspek finansial. Paradigma baru ini penting untuk memastikan bahwa kebijakan lingkungan benar-benar berpihak pada kelestarian alam dan kesejahteraan masyarakat. Setelah pelaksanaan opening plenary tersebut, konferensi selanjutnya menjalankan sesi panelis, dan terdiri dari 19 panel yang membahas berbagai topik penting dalam pluralisme hukum. Beberapa di antaranya mencakup aspek teoritis, dan konseptual pluralisme hukum dalam keadilan antarbudaya, hubungan manusia, dan alam dalam perspektif hukum, hukum adat dan otoritas tradisional, serta hukum keluarga agama dan HAM. Dengan menghadirkan narasumber internasional dan diskusi mendalam, acara ini diharapkan dapat memperluas dan memperdalam diskusi mengenai pluralisme hukum dalam konteks global yang semakin kompleks. (Ajeng Ratna Komala) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
February 2025
Categories |