![]() Pada Selasa (6/5/2024), Universitas Indonesia bersama dengan Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA) dan Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia untuk Membangun Masyarakat Sipil yang Kuat (SEPAHAM) berkolaborasi untuk menyelenggarakan diskusi terbatas dalam rangka membahas strategi penguatan masyarakat sipil di Indonesia. Diskusi terbatas tersebut merupakan kegiatan lanjutan dari agenda penandatanganan nota kerja sama antara Universitas Indonesia dengan YAPPIKA dan SEPAHAM untuk berkolaborasi dalam mengimplementasikan Program Building an Enabling Environment and Strong Civil Society in Indonesia (BASIS). Program BASIS merupakan salah satu upaya untuk membangun lingkungan pendukung dan masyarakat sipil yang kuat untuk tujuan pembangunan berkelanjutan yang diinisiasi oleh YAPPIKA yang berkolaborasi dengan SEPAHAM dengan dukungan dari Uni Eropa. Rangkaian kegiatan diskusi dan penandatangan nota kerja sama tersebut diselenggarakan di Ruang Oemar Seno Aji, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI). Pertama, diskusi dibuka dengan sambutan yang disampaikan oleh Fransisca Fitri selaku Direktur Eksekutif dari YAPPIKA. Ia menyampaikan beberapa poin kunci tentang pentingnya peran masyarakat sipil bagi kelanjutan demokrasi di Indonesia. Sehubungan dengan kolaborasi dengan UI, salah satu poin kunci yang disampaikan oleh Fransisca adalah mengenai tiga peran perguruan tinggi dalam menguatkan masyarakat sipil. Pertama, perguruan tinggi merupakan pusat pembelajaran bagi orang muda yang menjadi salah satu kelompok kunci dalam masyarakat sipil. Kedua, perguruan tinggi berperan untuk mendorong kolaborasi yang bersifat lintas bidang. Ketiga, perguruan tinggi memungkinkan terciptanya hasil pengetahuan yang relevan dan juga aplikatif dalam perjuangan masyarakat sipil. Ia juga menggarisbawahi bahwa tiga peran kunci dari perguruan tinggi dalam menguatkan masyarakat sipil ini akan menjadi fokus utama dalam implementasi program BASIS.
Selain itu, untuk memperkaya diskusi yang diselenggarakan, acara ini mengundang empat narasumber yang membahas beberapa topik seputar penguatan masyarakat sipil di Indonesia, termasuk strategi dan tantangan yang menyertainya. Narasumber tersebut meliputi Muhammad Ananto Setiawan selaku aktivis HAM dan juga koordinator nasional dari Program BASIS, Prof. Mirza Satria Buana, Ph.D. selaku Ketua Pusat Studi HAM Universitas Lambung Mangkurat, Dr. Suraya A. Afiff selaku pengajar antropologi di FISIP UI, dan Dr. Abby Gina Boang Manalu, M.Hum. selaku pengajar filsafat di FIB UI dan Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan. Pada awal diskusi, Muhammad Ananto Setiawan menyampaikan bahwa saat ini demokrasi di Indonesia masih bersifat terbatas (flawed democracy) sehingga banyak ruang gerak dan hak-hak dari masyarakat sipil yang dibatasi. Dalam hal ini, salah satu hak masyarakat sipil yang dibatasi adalah hak untuk berkumpul. Menurut data dari KontraS, terdapat 107 pelanggaran atas hak untuk berkumpul yang terjadi dari tahun 2021 hingga 2023. Selain itu, beliau juga menyampaikan bahwa di tahun 2025, pemerintahan yang baru semakin mengurangi kebebasan masyarakat sipil melalui berbagai cara, tak terkecuali melalui cara formal seperti pembentukan peraturan-peraturan tertentu. Oleh karena itu, diperlukan beberapa strategi penguatan masyarakat sipil yang meliputi empat poin utama: 1) Memperkuat infrastruktur pendukung lokal; 2) Transformasi digital; 3) Penelitian, pemantauan dan advokasi kolaboratif; 4) Implementasi kebijakan. Selanjutnya, Abby Gina Boang Manalu menyampaikan beberapa poin penting mengenai esensi perspektif yang interseksional dalam upaya-upaya penguatan masyarakat sipil. Beliau menyampaikan bahwa dalam upaya penguatan masyarakat sipil, studi HAM menjadi elemen yang penting. Akan tetapi, studi HAM arus utama yang saat ini berkembang masih membayangkan HAM sebagai aspek yang bersifat universal dan bisa melingkupi semua orang secara menyeluruh. Konsepsi atas HAM yang universal ini menyebabkan banyak pengalaman atas ketimpangan yang kompleks di masyarakat menjadi terabaikan. Melalui perspektif interseksionalisme yang berbasis etika kepedulian, studi HAM dapat mendengarkan berbagai pengalaman yang kompleks dan secara teliti mempertimbangkan ketimpangan yang terjadi secara berlapis. Dengan ini, upaya-upaya penguatan masyarakat sipil dapat dilaksanakan secara substantif, kontekstual, dan berkeadilan. Topik yang juga tidak boleh luput dari pembahasan mengenai penguatan masyarakat sipil yang berkelanjutan adalah topik tentang masyarakat adat, khususnya tentang lingkungan dan perspektif antropologi dalam melihat pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat. Dalam diskusi ini, topik tersebut menjadi fokus pembicaraan yang dilakukan oleh Suraya A. Afiff. Dosen ini menggarisbawahi pentingnya perspektif yang lebih inklusif dalam merumuskan strategi pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, teori modernisasi pertumbuhan ekonomi masih melakukan dikotomi atas pengetahuan yang modern (western knowledge) dan pengetahuan tradisional, kemudian mempertentangkannya. Beliau menyampaikan bahwa hal menyebabkan terabaikannya perspektif masyarakat adat dan dilanggengkannya pembangunan ekonomi yang menggusur kehidupan masyarakat adat. Karenanya, perspektif yang inklusif harus diperkuat dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkeadilan sehingga hak-hak masyarakat sipil, termasuk masyarakat adat, dapat terlindungi. Untuk itu, dalam kolaborasi dengan berbagai perguruan tinggi, termasuk UI, implementasi program BASIS akan berfokus pada tiga kegiatan utama:
Melalui implementasi ini, program BASIS dibentuk dalam rangka mewujudkan masyarakat sipil yang kuat dan terlindungi dengan mempertimbangan aspek-aspek yang telah digarisbawahi oleh para narasumber. (Ningdyah Lestari) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
May 2025
Categories |