KCIF 2024: Upaya Peningkatan Sinergi Aktivisme Global Dimulai dengan Diskusi Multiperspektif2/7/2024
Pada Senin (24/6/2024), 2nd Annual Kartini Conference on Indonesian Feminisms (KCIF 2024) resmi dibuka. Menyusul sukses besar dari penyelenggaraan pertamanya pada tahun 2023, kegiatan ini kembali dilaksanakan. KCIF 2024 diadakan secara online dan terbuka untuk umum pada 24-30 Juni 2024 lalu. KCIF 2024 dilaksanakan oleh A Consortium for Plural and Inclusive Indonesian Feminisms yang terdiri dari dua lembaga, yaitu Let’s Talk about SEX n SEXUALITIES (LETSS Talk) dan Konde.co. Konferensi tahunan ini menjadi ruang penting untuk bertukar pikiran mengenai berbagai isu feminisme di Indonesia. Melalui KCIF, para peserta dapat berbagi hasil riset, pengalaman advokasi, dan refleksi personal dalam suasana yang inklusif dan kolaboratif. Dalam pembukaan gelaran ini, Farid Muttaqin selaku Ketua Konferensi KCIF 2024, menyatakan bahwa tema KCIF 2024 “Menguatkan Sinergi Kajian dan Aktivisme Feminisme Indonesia di Tengah Politik Oligarki Nasional dan Fasisme Global” dipilih dengan mempertimbangkan situasi sosial-politik saat ini. Baik di tingkat lokal, nasional, maupun global, kondisi sosial-politik sering kali tidak mendukung, bahkan bertentangan dengan agenda-agenda feminisme.
Di sisi lain, ‘politik feminisme’ kontemporer menyebabkan gerakan feminisme menjadi semakin beragam, tetapi juga memunculkan kontestasi dan konflik internal yang didasarkan pada ideologi, sejarah, dan kepentingan politik. Akibatnya, dalam menghadapi tragedi kemanusiaan paling tragis seperti yang terjadi di Palestina, gerakan feminisme belum mampu menunjukkan visi dan misi yang solid untuk melawan kolonialisme, rasisme, dan genosida. Krisis kemanusiaan di Palestina, Ukraina, Rohingya, Uighur, dan Afghanistan, yang banyak menelan korban dari kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, minoritas gender dan seksual, serta kelompok sosial-ekonomi bawah, semakin menegaskan bahwa agenda feminisme untuk keadilan dan hak asasi manusia masih jauh dari kata selesai. “Kita menyaksikan dan mengalami menguatnya oligarki nasional dan fasisme global yang menjadi ancaman kontemporer bagi kemanusiaan, keadilan, dan kebebasan. Perkembangan politik tersebut tidak mengarah pada tercapainya atau menguatnya tujuan yang diinginkan gerakan feminisme, seperti keadilan gender, kebebasan mengekspresikan identitas gender dan mengartikulasikan seksualitas, dan memperjuangkan ide-ide feminisme,” kata Farid Muttaqin. Namun, konservatisme agama dan budaya, ekstremisme politik, serta depolitisasi dalam politik digital, telah menjadi sumber-sumber baru yang kontraproduktif terhadap agenda feminisme. Di arena politik global, kelompok-kelompok ekstrem Sayap Kanan (Right-Wing) dan Kanan Jauh (Far-Right) menggunakan gerakan anti-Woke untuk melakukan propaganda anti-transgender dan bahkan anti-gender. Agenda-agenda “tradisional” feminisme, seperti hak asasi manusia, keadilan gender, inklusivitas terhadap keragaman gender, keragaman seksual, queer, keadilan reproduksi, dan keadilan iklim, sering kali tidak dapat menunjukkan resistansinya, sehingga tidak menjadi agenda populer atau hanya dianggap sebagai subjek yang ‘nyaman’ untuk disuarakan tanpa khawatir akan perundungan. Pada Pemilu 2024 lalu, isu-isu seperti hak asasi manusia, keadilan gender, keadilan reproduksi, keadilan iklim, dan agenda feminis lainnya sama sekali tidak menjadi faktor krusial dan determinan dalam memengaruhi proses Pemilu untuk membangun ulang negara-bangsa yang lebih menghormati hak asasi dan memiliki kemauan politik yang kuat terhadap agenda-agenda feminisme. Sebaliknya, hak asasi manusia dan agenda-agenda feminisme justru menjadi faktor yang terpinggirkan bahkan menyusutkan elektabilitas calon. “Kami berkeinginan untuk mengajak kita semua berkontribusi dalam membangun dunia yang lebih waras, dengan menekankan empati dan solidaritas. Politik elitisme berbasis oligarki dan fasisme menjadi ancaman bagi gerakan feminisme dalam memperjuangkan keadilan di segala aspek kehidupan. Ketika para oligarki, fasis, dan elit-feodal yang anti-feminisme bertindak rendah dengan berbagai aksi diskriminatif, opresif, ofensif, rasis, seksis, homofobik, transfobik, queerfobik, dan misoginis, kita berusaha untuk terus bertindak tinggi dengan menebarkan empati, toleransi, inklusivitas, solidaritas, dan anti-kekerasan,” tukas Farid Muttaqin. Pemimpin Redaksi dan Penanggung Jawab Konde.co, Luviana Ariyanti, menyatakan bahwa KCIF 2024 diadakan di tengah berbagai kontradiksi, baik di Indonesia maupun di dunia internasional. Di Indonesia, Pemilu 2024 diwarnai nepotisme, implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan aturan turunannya masih mandek, Rancangan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) belum juga disahkan meski sudah 20 tahun diperjuangkan, dan Koalisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengatur media penyiaran dan digital dengan cara yang memberangus kebebasan pers serta mendiskriminasi kelompok minoritas. Sementara itu, di dunia internasional, Israel terus merampas tanah Palestina. “Apakah kita akan kalah? Berhenti di tengah, atau menyerah? Tapi, bagaimana tidak putus asa, jika ketika sedang berjuang untuk stop perubahan iklim, tapi banyak manusia meninggal karena penguasa menjarah tanah-tanah. Kontradiksi-kontradiksi itu terus berlangsung saat ini,” kata Luviana Ariyanti. Pada KCIF 2024, berbagai hasil kajian, pengalaman advokasi dan pemberdayaan, serta refleksi personal mengenai feminisme akan dipresentasikan oleh akademisi, aktivis, jurnalis, peneliti, dan penyintas kekerasan berbasis gender. Para pembicara dan presenter akan membahas berbagai topik melalui 45 diskusi, termasuk penguatan sinergi antara akademisi dan aktivis feminisme, feminisme keseharian (everyday feminism) dan penguatan feminisme akar rumput, maskulinitas baru, migrasi perempuan dan perubahan relasi gender, pekerjaan perawatan (care work), etnisitas dan agama, serta feminisme dan media di era digital, termasuk kecerdasan buatan. Sebanyak sekitar 1.500 peserta diperkirakan akan mengikuti KCIF 2024, yang tidak hanya berasal dari Indonesia tetapi juga dari berbagai negara seperti Australia, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Bahrain, Belanda, Malaysia, Singapura, dan Korea Selatan, dan di belahan dunia lainnya. Diah Irawaty, Pendiri dan Koordinator LETSS Talk serta Koordinator Program KCIF 2024, menyatakan harapannya agar KCIF mampu menginspirasi konektivitas yang lebih kuat antara kajian, penelitian, advokasi, dan pemberdayaan sebagai agenda feminisme yang integratif di Indonesia. “Dengan beragam pengetahuan yang disirkulasikan dan hasil-hasil penelitian serta kajian feminisme yang dipresentasikan dalam KCIF, kami berharap dapat mendorong upaya-upaya advokasi dan pemberdayaan di masyarakat, termasuk di tingkat lokal. Sebaliknya, KCIF juga diharapkan mampu mendorong produksi pengetahuan yang berbasis advokasi dan pemberdayaan, seperti yang banyak dilakukan oleh organisasi-organisasi feminis di Indonesia,” ujar Diah Irawaty. Diah juga menegaskan bahwa LETSS Talk dan Konde.co memiliki ekspektasi agar KCIF menghadirkan agenda berpengetahuan feminisme yang tidak eksklusif, tetapi terbuka bagi semua elemen dan entitas feminisme di Indonesia. KCIF diharapkan akan selalu menekankan semangat voluntarisme, kolaboratif, kolektif, inklusif, dan interseksional, dengan kesadaran pada pluralitas, marginalitas, kerentanan, disabilitas, dan ketidakterlihatan. Melalui KCIF, gagasan, ide, dan agenda feminisme diharapkan semakin diterima dan populer, bukan lagi dianggap asing atau menakutkan, terutama di kalangan masyarakat umum. (Merlinda Santina Ximenes). Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |