Dok. Jurnal Perempuan Kajian Feminisme dan Filsafat (KAFFE) kembali menyelenggarakan diskusi yang penting untuk diperbincangkan pada hari ini, pembahasan mengenai “Kekuasaan dan Politik Feminis" dilaksanakan pada Jumat (19/9/2025) melalui Zoom Meeting. Diskusi ini diampu oleh Rocky Gerung yang merupakan seorang akademisi filsafat Indonesia dan dimoderatori oleh Asterlita Tirsa Raha dari staf redaksi Jurnal Perempuan. Diskusi ini memperbincangkan perihal bagaimana membayangkan demokrasi Indonesia yang berpihak pada kehidupan, bukan sekadar pada kekuasaan. Rocky Gerung membuka diskusi dengan pertanyaan reflektif, “Sebetulnya kekuasaan itu bisa dihadapkan kepada siapa?” Rocky menekankan bahwa struktur politik dan budaya Indonesia masih didominasi logika patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai pemilik wacana dan akses kekuasaan, sehingga demokrasi tidak akan efektif jika pengalaman separuh penduduk—khususnya perempuan—terus dipinggirkan. Bahkan Aristoteles menganggap bahwa kekuasaan, virtue (keagungan) adalah properti laki-laki. Rocky menyatakan, “Tanpa adanya kesetaraan gender, tidak ada demokrasi.” Diskusi banyak berpusat pada bahasan feminisme sebagai ethics of care dan mengembalikan ruang yang semestinya kepada perempuan. ”Virtue harus diselamatkan dari sifatnya yang patriarkis kepada sifatnya yang feminis,” tambah Rocky. Rocky menepis stereotip kelemahan biologis perempuan yang selama ini digunakan untuk menjustifikasi pengecualian perempuan dari ruang kekuasaan. Sebaliknya, Rocky menegaskan bahwa pengalaman ketubuhan perempuan, seperti kemampuan menahan rasa sakit dan ketelitian pengambilan keputusan, seharusnya dilihat sebagai modal etis dan politik. Rocky juga menyinggung mengenai fenomena ketika perempuan menuntut ruang, suara perempuan sering ditanggapi dengan curiga, seolah afirmasi adalah bentuk keistimewaan, bukan keadilan. Diskusi mengalir ke sejarah politik Indonesia. Diskusi mengingat bagaimana perempuan aktivis Gerwani pada masa lalu dibungkam dan distigma, yang menjadikan politik perempuan menjadi tabu. Rocky menilai trauma kolektif itu masih terasa hingga kini. “Pasca-1965, perempuan belajar bahwa terlalu vokal berarti berisiko. Maka politik jadi dunia yang dihindari,” ujarnya. Stigma itu menumbuhkan jarak antara pengalaman perempuan sehari-hari dan wajah politik yang tampak di publik. Walaupun sekarang perempuan banyak terlibat di ruang publik dan politik, perlu diingat bahwa keterlibatan perempuan di ruang publik bukan berarti bebas dari ‘jebakan’. Di banyak tempat, kehadiran perempuan justru direduksi menjadi simbol yang harus bercitra lembut dan bersih. Rocky mengingatkan, “Kita perlu hati-hati membedakan antara politik yang memakai citra perempuan dan politik yang betul-betul memperjuangkan pengalaman perempuan.” Representasi simbolik tanpa perubahan nilai, menurut Rocky hanya akan melanggengkan ethics of rights (etika yang menekankan hak dan aturan), padahal seharusnya diterapkan ethics of care, yaitu etika perawatan yang menempatkan empati, hubungan, dan keberlanjutan sebagai nilai utama. Diskusi juga mengaitkan krisis ekonomi dengan meningkatnya beban dan kekerasan terhadap perempuan. Ketika pendapatan rumah tangga tertekan, perempuan sering kali menanggung dampak sosial dan kesehatan paling berat, sementara kebijakan ekonomi cenderung mengabaikan perspektif perawatan dan kebutuhan perempuan. Rocky menekankan bahwa di Indonesia yang pertama kali mengalami kekerasan ketika jatuhnya ekonomi adalah perempuan. Rocky memberi contoh jika pendapatan rumah tangga berkurang dan istri harus membuatkan minuman untuk suami tanpa gula (karena harga gula naik—red), maka yang pertama disalahkan dan menerima kekerasan adalah istri. Dimensi lain yang dianggap penting juga pendidikan. Kajian gender di kampus sering kali dianggap pelengkap, bukan pusat refleksi. Padahal menurut Rocky, universitas adalah tempat menanamkan habits of the heart, yaitu kebiasaan batin yang membentuk cara berpikir dan berelasi. Tanpa perubahan epistemik di lembaga pendidikan, keadilan gender hanya akan menjadi jargon. Bersama beberapa peserta kelas, Rocky mendiskusikan cara menerjemahkan gagasan ethics of care ke dalam gerakan sosial hari ini. Ethics of care harus dimulai dari yang konkret, seperti dalam kampus, komunitas, bahkan rumah tangga. “Perawatan bukan pekerjaan perempuan. Ia adalah tanggung jawab politik. Negara yang adil adalah negara yang merawat,” tukasnya.
Rocky menutup diskusi dengan menjelaskan bahwa feminisme bukan sekadar disiplin intelektual, feminisme adalah cara berkehidupan yang berakar pada etika perawatan. Feminisme menolak reduksi pengetahuan menjadi sekadar data, sebab pengetahuan perempuan lahir dari pengalaman ketubuhan yang berhadapan langsung dengan realitas kekuasaan. Feminisme sejatinya memelihara kesadaran etis, membangun sisterhood yang saling merawat, dan selalu berpaut dengan kehidupan. Feminisme sejatinya hidup, bergerak dan mengubah. (Putri Nurfitriani) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
October 2025
Categories |

RSS Feed