![]() Pada Kamis (21/11/2024), telah diselenggarakan kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (KAFFE) oleh Jurnal Perempuan secara daring melalui Zoom. Pemateri KAFFE bulan ini adalah Dr. Abby Gina Boang Manalu, yang merupakan seorang dosen di jurusan Ilmu Filsafat Universitas Indonesia (UI) serta Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan. Tema yang diangkat pertemuan kali ini, “Memahami Interseksionalitas sebagai Pertimbangan Kerentanan Perempuan dan Kelompok Marginal”, menyorot bagaimana pentingnya memahami kerentanan menggunakan pendekatan interseksionalitas dalam upaya advokasi pemenuhan hak kelompok yang terpinggirkan. Kelas dimulai dengan pemutaran video YouTube yang menunjukkan Hana-Rāwhiti Maipi-Clarke, seorang anggota perlemen perempuan muda yang memperformatifkan tarian Haka di rapat parlemen Selandia Baru, tarian yang biasa digerakkan oleh laki-laki, ia bawakan sebagai bentuk protes terhadap undang-undang yang merugikan suku Maori. Dari video tersebut terlihat ada beberapa dimensi yang beririsan seperti, identitas budaya, hak politik, kolonialisme, dan gender. "Interseksionalitas kurang lebih mau bicara bahwa kita perlu punya lensa yang sangat luas dalam membaca suatu persoalan sosial," jelas Abby. Abby menanyakan kepada peserta mengenai identitas apa saja yang menghasilkan pengalaman-pengalaman. Beberapa peserta membagikan pengalamannya, seperti pengalaman diskriminasi yang seorang peserta dapatkan karena status pernikahannya, serta ada pula yang berbagi pengalaman terkait status jandanya yang menghasilkan stigma negatif atau komentar seksual di kesehariannya sebagai perempuan dan dosen. "Ini menunjukkan bahwa proses diskriminasi tidak hanya berlaku dalam satu sumbu saja, tetapi selalu berkait dengan aspek-aspek lainnya," tegas Abby. Interseksionalitas menunjukkan bahwa terdapat potongan-potongan identitas yang dimiliki seseorang dapat menghasilkan penindasan lainnya serta betapa situasi perempuan bisa berbeda satu terhadap yang lain. Mungkin saja selama ini gerakan aktivisme atau feminisme masih cenderung berfokus kepada isu besar saja. Yang seharusnya tidak luput adalah melihat interseksi atau interlocking dengan identitas lain yang menghasilkan jenis kerentanan yang berbeda pula. Contohnya isu menangani kekerasan seksual terhadap perempuan sebagai isu besar. Perlu disadari dan diakomodasi pula untuk kelompok identitas lain, seperti perempuan lesbian, biseksual, atau transgender yang mungkin sekali mengalami kerentanan berlapis. Interseksionalitas adalah sebuah pemikiran, teori, juga metodologi, yang lahir dari refleksi perempuan kulit hitam. Perempuan Afro-Amerika, tidak hanya mengalami diskriminasi gender karena mereka perempuan, tetapi juga mengalami diskriminasi rasial karena warna kulitnya, atau bahkan karena berasal dari kelas tertentu seperti kelas pekerja. Semangat dari interseksionalitas menunjukkan bahwa lensa gender yang bersifat universal saja tidak cukup dalam melihat kondisi sosial, karena akan mengakibatkan permasalahan kelompok rentan tidak muncul ke permukaan sehingga tidak pernah terselesaikan.
Gender merupakan salah satu kategori sosial yang memengaruhi bagaimana orang lain memaknai yang lainnya, yang akan berdampak secara politis. Tidak hanya gender, ada pula kategori seperti umur, orientasi seksual, etnis, agama, physical ability, dan masih banyak lagi. Hal-hal tersebut yang seharusnya tidak luput dalam mencapai keadilan sosial. Patricia Hill Collins, sosiolog Afro-Amerika dalam pemikirannya tentang epistemologi perempuan Afro-Amerika mendorong penggunaan dialog untuk menjembatani kesenjangan epistemologis dan memungkinkan kelompok terpinggirkan menyuarakan pengalaman mereka. Begitu pula menurut Kimberle Crenshaw yang ingin menunjukkan bahwa hukum anti diskriminasi masih terlalu universal, sehingga kerentanan yang berpotongan tidak terlihat. Lewat pemikirannya, hukum anti diskriminatif, yang substantif dan transformatif haruslah melihatkan kerentanan-kerentanan yang berlapis agar mencegah dampak yang lebih besar. "Kecenderungan dari sebuah kebijakan adalah mencoba menjawab isu besar, tetapi mengabaikan situasi konkret yang dialami oleh kelompok (marginal–red)," tegas Abby. Kebijakan yang terjadi hari-hari ini masih bersifat formalis yang mengabaikan partikularitas dan kerentanan yang berbeda. Ide mengenai keadilan sosial masih utopis dan jauh dari harapan ketika hanya mau mengakomodasi identitas mayoritas dalam suatu masyarakat. Dalam sesi tanya jawab, seorang peserta bertanya mengenai bagaimana interseksionalitas memotret permasalahan sosial seperti pada perempuan disabilitas dalam situasi kebencanaan. Abby menjelaskan bahwa selama ini gerakan keadilan sosial sudah melakukan upaya dengan basis HAM. Namun, pendekatan berbasis HAM saja tidak cukup. Dalam konteks yang ditanyakan, merespons kebencanaan secara general saja tidak cukup tanpa mengenali isu yang lebih rentan. Dengan menyadari bahwa ada kelompok yang lebih rentan dalam situasi kebencanaan, misalnya perempuan dengan disabilitas, maka harus ditemukan permasalahan-permasalahan apa saja yang dialami kemudian membuat kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan kelompok perempuan disabilitas. Upaya kritik esensialisme oleh interseksionalitas harus direspons dengan kebijakan yang transformatif. Lensa interseksionalitas memperluas kapasitas kita untuk berempati dan lebih teliti dalam melihat suatu kondisi sosial. Memastikan terwujudnya keadilan bukan merespons dengan kebijakan yang sama rata. Keadilan justru menemu-kenali permasalahan-permasalahan yang ada. Upaya mewujudkan keadilan juga bukan berarti memperlakukan secara sama, tetapi justru mengakomodasi kebijakan yang berbeda untuk berbagai identitas yang saling berkelit-kelindan. (Gloria Sarah Saragih) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
February 2025
Categories |