Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Indonesian Feminist Journal
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Podcast JP
    • Radio JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
    • Biodata Penerima Beasiswa 2025
Warta Feminis

KAFFE November 2024 Bahas Pemenuhan Hak Kelompok Marginal Lewat Lensa Interseksionalitas untuk Melihat Kerentanan Berlapis

25/11/2024

 
PictureDok. Jurnal Perempuan
     Pada Kamis (21/11/2024), telah diselenggarakan kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (KAFFE) oleh Jurnal Perempuan secara daring melalui Zoom. Pemateri KAFFE bulan ini adalah Dr. Abby Gina Boang Manalu, yang merupakan seorang dosen di jurusan Ilmu Filsafat Universitas Indonesia (UI) serta Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan. Tema yang diangkat pertemuan kali ini, “Memahami Interseksionalitas sebagai Pertimbangan Kerentanan Perempuan dan Kelompok Marginal”, menyorot bagaimana pentingnya memahami kerentanan menggunakan pendekatan interseksionalitas dalam upaya advokasi pemenuhan hak kelompok yang terpinggirkan.
​

     Kelas dimulai dengan pemutaran video YouTube yang menunjukkan Hana-Rāwhiti Maipi-Clarke, seorang anggota perlemen perempuan muda yang memperformatifkan tarian Haka di rapat parlemen Selandia Baru, tarian yang biasa digerakkan oleh laki-laki, ia bawakan sebagai bentuk protes terhadap undang-undang yang merugikan suku Maori. Dari video tersebut terlihat ada beberapa dimensi yang beririsan seperti, identitas budaya, hak politik, kolonialisme, dan gender. "Interseksionalitas kurang lebih mau bicara bahwa kita perlu punya lensa yang sangat luas dalam membaca suatu persoalan sosial," jelas Abby.
 
     Abby menanyakan kepada peserta mengenai identitas apa saja yang menghasilkan pengalaman-pengalaman. Beberapa peserta membagikan pengalamannya, seperti pengalaman diskriminasi yang seorang peserta dapatkan karena status pernikahannya, serta ada pula yang berbagi pengalaman terkait status jandanya yang menghasilkan stigma negatif atau komentar seksual di kesehariannya sebagai perempuan dan dosen. "Ini menunjukkan bahwa proses diskriminasi tidak hanya berlaku dalam satu sumbu saja, tetapi selalu berkait dengan aspek-aspek lainnya," tegas Abby. Interseksionalitas menunjukkan bahwa terdapat potongan-potongan identitas yang dimiliki seseorang dapat menghasilkan penindasan lainnya serta betapa situasi perempuan bisa berbeda satu terhadap yang lain.
 
     Mungkin saja selama ini gerakan aktivisme atau feminisme masih cenderung berfokus kepada isu besar saja. Yang seharusnya tidak luput adalah melihat interseksi atau interlocking dengan identitas lain yang menghasilkan jenis kerentanan yang berbeda pula. Contohnya isu menangani kekerasan seksual terhadap perempuan sebagai isu besar. Perlu disadari dan diakomodasi pula untuk kelompok identitas lain, seperti perempuan lesbian, biseksual, atau transgender yang mungkin sekali mengalami kerentanan berlapis.
Picture
Dok. Jurnal Perempuan
     Interseksionalitas adalah sebuah pemikiran, teori, juga metodologi, yang lahir dari refleksi perempuan kulit hitam. Perempuan Afro-Amerika, tidak hanya mengalami diskriminasi gender karena mereka perempuan, tetapi juga mengalami diskriminasi rasial karena warna kulitnya, atau bahkan karena berasal dari kelas tertentu seperti kelas pekerja. Semangat dari interseksionalitas menunjukkan bahwa lensa gender yang bersifat universal saja tidak cukup dalam melihat kondisi sosial, karena akan  mengakibatkan permasalahan kelompok rentan tidak muncul ke permukaan sehingga tidak pernah terselesaikan.
 
     Gender merupakan salah satu kategori sosial yang memengaruhi bagaimana orang lain memaknai yang lainnya, yang akan berdampak secara politis. Tidak hanya gender, ada pula kategori seperti umur, orientasi seksual, etnis, agama, physical ability, dan masih banyak lagi. Hal-hal tersebut yang seharusnya tidak luput dalam mencapai keadilan sosial.
 
     Patricia Hill Collins, sosiolog Afro-Amerika dalam pemikirannya tentang epistemologi perempuan Afro-Amerika mendorong penggunaan dialog untuk menjembatani kesenjangan epistemologis dan memungkinkan kelompok terpinggirkan menyuarakan pengalaman mereka. Begitu pula menurut Kimberle Crenshaw yang ingin menunjukkan bahwa hukum anti diskriminasi masih terlalu universal, sehingga kerentanan yang berpotongan tidak terlihat. Lewat pemikirannya, hukum anti diskriminatif, yang substantif dan transformatif haruslah melihatkan kerentanan-kerentanan yang berlapis agar mencegah dampak yang lebih besar.
 
     "Kecenderungan dari sebuah kebijakan adalah mencoba menjawab isu besar, tetapi mengabaikan situasi konkret yang dialami oleh kelompok (marginal–red)," tegas Abby.
 
     Kebijakan yang terjadi hari-hari ini masih bersifat formalis yang mengabaikan partikularitas dan kerentanan yang berbeda. Ide mengenai keadilan sosial masih utopis dan jauh dari harapan ketika hanya mau mengakomodasi identitas mayoritas dalam suatu masyarakat.
 
     Dalam sesi tanya jawab, seorang peserta bertanya mengenai bagaimana interseksionalitas memotret permasalahan sosial seperti pada perempuan disabilitas dalam situasi kebencanaan. Abby menjelaskan bahwa selama ini gerakan keadilan sosial sudah melakukan upaya dengan basis HAM. Namun, pendekatan berbasis HAM saja tidak cukup. Dalam konteks yang ditanyakan, merespons kebencanaan secara general saja tidak cukup tanpa mengenali isu yang lebih rentan. Dengan menyadari bahwa ada kelompok yang lebih rentan dalam situasi kebencanaan, misalnya perempuan dengan disabilitas, maka harus ditemukan permasalahan-permasalahan apa saja yang dialami kemudian membuat kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan kelompok perempuan disabilitas.
 
     Upaya kritik esensialisme oleh interseksionalitas harus direspons dengan kebijakan yang transformatif. Lensa interseksionalitas memperluas kapasitas kita untuk berempati dan lebih teliti dalam melihat suatu kondisi sosial. Memastikan terwujudnya keadilan bukan merespons dengan kebijakan yang sama rata. Keadilan justru menemu-kenali permasalahan-permasalahan yang ada. Upaya mewujudkan keadilan juga bukan berarti memperlakukan secara sama, tetapi justru mengakomodasi kebijakan yang berbeda untuk berbagai identitas yang saling berkelit-kelindan. (Gloria Sarah Saragih)

Comments are closed.
    Jurnal Perempuan
    ​
    terindeks di:
    Picture

    Archives

    June 2025
    May 2025
    April 2025
    March 2025
    February 2025
    January 2025
    December 2024
    November 2024
    October 2024
    September 2024
    August 2024
    July 2024
    June 2024
    May 2024
    April 2024
    March 2024
    February 2024
    January 2024
    December 2023
    November 2023
    October 2023
    September 2023
    August 2023
    July 2023
    June 2023
    May 2023
    April 2023
    March 2023
    February 2023
    January 2023
    December 2022
    November 2022
    October 2022
    September 2022
    August 2022
    July 2022
    June 2022
    May 2022
    April 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    November 2021
    October 2021
    September 2021
    August 2021
    July 2021
    June 2021
    April 2021
    March 2021
    February 2021
    January 2021
    December 2020
    October 2020
    August 2020
    July 2020
    June 2020
    April 2020
    March 2020
    February 2020
    January 2020
    December 2019
    November 2019
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    June 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    February 2019
    January 2019
    December 2018
    November 2018
    October 2018
    September 2018
    August 2018
    July 2018
    June 2018
    May 2018
    April 2018
    March 2018
    February 2018
    January 2018
    December 2017
    October 2017
    September 2017
    August 2017
    July 2017
    June 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    December 2016
    November 2016
    September 2016
    August 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015
    April 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    November 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    July 2014
    June 2014

    Categories

    All

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | [email protected]
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Indonesian Feminist Journal
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Podcast JP
    • Radio JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
    • Biodata Penerima Beasiswa 2025