KAFFE Mei 2025: Femisida, Kekerasan yang Sistemik, dan Kegagalan Negara dalam Melindungi Perempuan30/5/2025
![]() Pada Rabu (28/5/2025), Yayasan Jurnal Perempuan menyelenggarakan KAFFE (Kajian Feminis dan Filsafat) bertajuk “Femisida: Kekerasan Berbasis Gender dan Kegagalan Negara dalam Melindungi Perempuan”. Kelas kali ini membahas mengenai femisida dan beragam kompleksitas yang menyertainya, termasuk tentang tanggung jawab negara dalam mengatasinya, arah advokasi perubahan kebijakan, dan strategi penguatan kesadaran publik terhadap femisida yang kini masih menjadi permasalahan yang pelik. Dalam kajian yang dilaksanakan secara daring melalui Zoom tersebut, Yayasan Jurnal Perempuan menghadirkan Mamik Sri Supatmi, M.Si. selaku Dosen Program Studi Kriminologi dari Universitas Indonesia (UI) untuk memperkaya pembahasan yang ada. Dewasa ini, femisida kembali disorot sebagai salah satu bentuk kekerasan berbasis gender paling ekstrem yang hingga kini masih menjadi persoalan genting. Menurut definisi dari Komnas Perempuan, femisida dapat diartikan sebagai akibat eskalasi dari kekerasan berbasis gender berupa pembunuhan terhadap perempuan karena jenis kelamin/gendernya. Mengenai hal ini, femisida tidak bisa dilihat sebagai tindak kriminal yang berbasis pada tindakan individu semata, melainkan juga berkaitan erat dengan persoalan sistemik sosial-politik yang secara struktural menindas perempuan dan kelompok rentan lainnya. Dalam kajian yang dilaksanakan pada hari Rabu tersebut, Mamik mengangkat beberapa poin penting yang krusial untuk digarisbawahi dalam pembahasan mengenai femisida. Pertama, ia membahas fakta bahwa femisida merupakan isu yang semakin genting dan nyata di Indonesia. Merujuk pada berbagai data dan kasus yang dikumpulkan dari media massa dan laporan resmi, dosen tersebut menyoroti meningkatnya kekerasan berbasis gender yang berujung pada pembunuhan perempuan dalam berbagai konteks, seperti relasi intim, rumah tangga, hingga relasi di ranah publik. Kendati demikian, dalam banyak kasus tersebut, perempuan dibunuh oleh orang terdekatnya. Data terbaru dari UN Women dan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) mencatat bahwa sepanjang tahun 2023, sekitar 60 persen dari hampir 85 ribu korban femisida tingkat global dibunuh oleh pasangan atau anggota keluarganya. Dengan kata lain, rata-rata 140 perempuan dan anak perempuan tewas setiap harinya di tangan orang-orang terdekat mereka. Hal ini menunjukkan bahwa rumah dan relasi personal tidak selalu menjadi ruang aman bagi perempuan. Selanjutnya, ia juga menekankan bahwa femisida tidak menyerang perempuan secara universal tanpa perbedaan, melainkan harus dibaca dengan lensa interseksionalitas. Artinya, pengalaman femisida tidak dapat dilepaskan dari irisan identitas perempuan dengan aspek-aspek lainnya seperti kelas sosial, orientasi seksual, ekspresi gender, ras, disabilitas, dan status hukum. Mengenai persoalan tersebut, akademisi ini menyoroti bagaimana kelompok transpuan kerap kali menjadi korban femisida yang tak terlihat dalam statistik resmi. Kasus-kasus seperti pembunuhan transpuan dengan dalih “ketidaksesuaian norma” mencerminkan bahwa kekerasan ini tidak hanya berakar pada misogini, tapi juga pada transphobia yang dilegitimasi oleh norma-norma hetero-patriarkal. Dalam masyarakat yang masih menormalisasi cisgender dan heteroseksualitas sebagai satu-satunya identitas gender dan seksualitas yang diterima, eksistensi kelompok transgender kerap dianggap menyimpang, dan inilah yang membuat mereka rentan terhadap kekerasan, termasuk femisida. Secara lebih lanjut, terkait permasalahan femisida, Mamik kemudian menegaskan bahwa negara tidak dapat diposisikan sebagai pihak netral. Sebaliknya, negara kerap menjadi aktor, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam memungkinkan terjadinya femisida, baik melalui tindakan yang bersifat represif maupun melalui kelalaian strukturalnya. Dalam hal ini, negara dinilai gagal menyediakan perlindungan hukum yang menyeluruh, sistem peradilan yang sensitif gender, serta kebijakan publik yang berpihak pada korban. Dalam banyak kasus, kerangka hukum yang ada justru berpijak pada logika patriarkal, yakni yang menyudutkan korban, memperparah trauma penyintas, atau bahkan membebaskan pelaku dari jerat hukum. Dengan kata lain, negara turut melanggengkan norma-norma sosial yang diskriminatif dan abai terhadap keamanan perempuan, termasuk perempuan dari kelompok marginal, seperti perempuan miskin, transpuan, atau perempuan penyandang disabilitas. Atas hal tersebut, negara telah melakukan kekerasan institusional, yakni bentuk kekerasan yang lahir dari struktur, kebijakan, dan praktik negara yang tidak adil terhadap kelompok rentan.
Mengenai permasalahan tersebut, Mamik menekankan bahwa penanganan femisida tidak dapat bergantung semata pada pendekatan punitif semata, seperti kriminalisasi pelaku atau pemberian hukuman yang berat. Ia merujuk pada konteks-konteks persoalan femisida di Amerika Latin, dimana sebanyak 18 negara telah mengkriminalisasi femisida, tetapi angka kekerasan terhadap perempuan tetap tinggi. Fakta ini menunjukkan bahwa hukum pidana semata tidak mampu menyentuh akar persoalan femisida yang bersumber dari budaya patriarki, norma gender yang kaku, serta relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan. Dengan begitu, upaya menghapus femisida menuntut lebih dari sekadar reformasi hukum, melainkan juga membutuhkan transformasi sosial dan budaya yang mendalam. Hal ini mencakup pendidikan tentang keadilan gender, penguatan lembaga perlindungan bagi korban, penghapusan norma-norma sosial yang diskriminatif, serta pengakuan terhadap keberagaman identitas dan pengalaman perempuan, termasuk perempuan dari kelompok marginal. Diskusi dalam kelas KAFFE ini memperlihatkan bahwa femisida bukan sekadar kekerasan yang bersifat individual, melainkan bagian dari sistem kekuasaan yang menyasar tubuh dan eksistensi perempuan, khususnya mereka yang berada dalam posisi sosial yang termarginalkan. Negara, yang seharusnya menjadi pelindung, justru kerap menjadi pelaku kekerasan melalui kebijakan yang lalai, sistem hukum yang bias, serta pengabaian terhadap norma-norma sosial yang menindas. Lebih dari sekadar penghukuman pelaku, perjuangan melawan femisida membutuhkan perubahan yang lebih mengakar, yakni transformasi budaya-budaya yang menindas, penghapusan diskriminasi berbasis gender, serta usaha untuk membangun ruang aman bagi semua perempuan dan kelompok rentan lainnya. Dengan mengadopsi pendekatan interseksional dan kesadaran kolektif, perjuangan melawan femisida yang lebih mengakar dan harapan untuk dunia yang aman untuk perempuan bisa benar-benar diwujudkan. (Ningdyah Lestari) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
May 2025
Categories |