![]() Mengapa pentingnya kita membangun keadilan gender di dalam Islam? Islam sering diinterpretasikan secara beragam, terutama terkait peran dan hak perempuan. Karena hal itu, ketidakadilan terhadap perempuan sejatinya bukan berasal dari Islam, tetapi dari tafsir agama yang bias patriarki. Dengan tafsir yang berperspektif gender, Islam dapat membebaskan perempuan dari penindasan. Narasi tersebut menjadi pemantik kelas KAFFE Maret 2025 bertajuk “Kedilan gender dalam perspektif Islam: Menafsirkan ulang peran dan hak perempuan”, yang diampu oleh Prof. Dr. Musdah Mulia, M.A. (Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta). Diskusi telah dilangsungkan secara daring pada Rabu (19/3/2025). Musdah mengawali diskusi dengan menenkankan bahwa Islam itu adalah Al-Qur’an, Kitab Suci yang dimulai dengan kata Iqra (Ik-ro). Iqra tidak hanya bermakna tentang membaca, tetapi tentang memperkuat literasi. Jadi diskusi yang dilakukan bersama KAFFE adalah bagian dari kerja-kerja memperkuat literasi, dan membangun peradaban yang lebih baik. Jika membaca seluruh ayat-ayat Al-Qur’an, hampir sebagaian besar isunya mengarah pada penegakan keadilan. Jadi agama itu datang untuk menegakkan keadilan, dan jika kita mempelajari fungsi agama, maka terdapat 3 fungsi diantaranya: 1) Fungsi liberasi, bagaimana agama itu datang untuk membebaskan manusia dari kebodohan, keterbelakangan, kedzoliman, dan ketidakadilan; 2) Humanisasi, bagaimana agama itu datang untuk lebih memanusiakan manusia dengan mengedepankan prinsip penghormatan terhadap manusia dan kemanusiaan; 3) Fungsi Transedental, supaya kita hidup bukan hanya mengejar hal-hal yang sifatnya material, tetapi juga keilahian. Untuk sampai kepada hal tersebut, kita harus mempebaiki sikap kita yaitu berakhlakul karimah yang mengedepankan hal yang menyenangkan dan membahagiakan sesama manusia. Penting bagi kita untuk mempelajari prinsip-prinsp keadilan gender di dalam Islam. Hal tersebut dapat dilakukan dengan melakukan penafsiran ulang, karena penafsiran arus utama di dalam masyarakat kita yang sangat bias dengan nilai-nilai patriarkal. Mengapa penafiran yang bias patriarki dapat terjadi? Karena ketika Rasulullah Nabi Muhammad SAW datang, ia hadir utuk memberikan perubahan yang sangat radikal bagi masyarakat Jahilliyah. Hadis-hadis yang beliau sampaikan menekankan pentingnya menghargai sesama, menjadikan ajarannya tampak sangat progresif di zamannya. Namun, setelah wafatnya Rasulullah, para pengikutnya melanjutkan upaya menafsirkan Al-Qur'an. Dalam menafsirkan isu-isu yang berkaitan dengan relasi gender, mereka tidak terlepas dari pengaruh budaya, tradisi, serta sistem hukum yang berlaku pada masa itu. Salah satu ayat Al-Qur’an yang di tafsirkan dengan tidak menggunakan perspektif keadialn gender yaitu tentang larangan Tabbaruj (berbuat tidak etis). Tafsir dalam satu ayat di dalam Al-Quran yang membawa implikasi yang besar sekali dalam kehidupan masyarakat hingga saat ini. Banyak mufassir yang kemudian hanya menerjemahkan bahwa “janganlah kamu (perempuan) keluar rumah”. Padahal di situ hanya dikatakan, jangan kamu keluar rumah kalau kamu tujuannya itu adalah berbuat onar. Lalu, hal tersebut memberikan implikasi yang luas sekali. Terutama narasi yang mekang perempuan untuk tetap di dalam rumah. Di dalam beberapa negara seperti Sudan, Afganistan, dan Yaman, yang memiliki aturan perempuan tidak boleh keluar rumah kecuali bersama mahram. Hal tersebut juga berimplikasi kepada perempuan yang tidak bisa mengakses pendidikan, dan pekerjaan di ruang publik. Jadi, mengapa perlu bagi kita untuk memlakukan penafsiran yang berkeadilan gender? Musdah menjelaskan bahwa karena kita harus mewujudkan akhlakul karimah. Jika kita membiarkan penafsiran-penasfsiran (bias patriarki) yang ada di dalam masyarakat, seperti suami boleh memukul istri atau anggota keluarganya, maka itu bukan bentuk dari berakhlak karimah. Akhlakul karimah merupakan tujuan akhir dari beragama. Selain itu, adanya upaya untuk mewujudkan tujuan agama yaitu menciptakan kedamaian, kemaslahatan, dan kebahagiaan bagi semua. Supaya penghargaan terdapa sesama itu menjadi patokan dalam setiap perilaku kita, tanpa memandang warna kulit, jenis kelamin, dan gendernya. Penting bagi kita untuk membangun kultur atau budaya baru. Kita perlu merekonstruksi budaya yang lebih egalitarian, yang memandang semua orang itu setara.Hal ini tidak mudah, tetapi kita bisa mulai melakukannya dengan melakukan penididikan di dalam keluarga.
Musdah menjelaskan konsep Tauhid dalam Islam yang menegaskan kesetaraan manusia di hadapan Allah swt. Ia menekankan bahwa Islam, melalui prinsip Tauhid, membela kelompok-kelompok minoritas yang tertindas. Rasulullah secara langsung memberikan perlindungan kepada kelompok Al-Mustadafin—mereka yang rentan, tertindas, dan termarginalkan. Kehadiran Islam bertujuan untuk menghapus sekat-sekat sosial, mengangkat derajat kelompok yang terpinggirkan, serta memberikan perlindungan, termasuk bagi perempuan, terutama budak perempuan yang dahulu tidak dihargai dalam masyarakat. Pemahaman Tauhid ini berimplikasi pada penolakan Islam terhadap segala bentuk diskriminasi, eksploitasi, kekerasan, serta pelecehan terhadap hak dan martabat manusia, tanpa alasan apa pun. Sayangnya, konsep Tauhid dalam perspektif ini jarang disampaikan dalam Majelis Taklim. Padahal, jika terus diperkenalkan kepada umat Islam, pola pikir masyarakat yang selama ini hierarkis dapat berubah. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk meningkatkan literasi agama dengan membaca dan memahami kembali ayat-ayat suci, termasuk terjemahan perintah-perintah agama. Melalui proses Iqra (membaca dan berliterasi), kita dapat memperkuat pemahaman keagamaan dan melawan berbagai bentuk ketidakadilan gender dalam masyarakat, demi terwujudnya tatanan sosial yang berkeadaban sesuai dengan nilai-nilai Islam. (Ajeng Ratna Komala) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
April 2025
Categories |