![]() Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) merupakan hak yang fundamental. Namun, di Indonesia sendiri, masih banyak pelanggaran dan pengabaian terhadap hak ini. Ketidaktersediaan akses kerap membuat kelompok rentan, seperti perempuan dan anak, mengalami kekerasan seksual, dan kehamilan tidak diinginkan. Berangkat dari keresahan ini, Kajian Feminisme dan Filsafat (KAFFE) oleh Jurnal Perempuan edisi bulan Februari 2025 mengangkat tema “Menyuarakan Hak dan Melampaui Tabu: HKSR Sebagai Hak Asasi dan Tanggung Jawab Bersama”. Pertemuan ini diadakan pada Minggu (2/2/2025) secara daring dengan menghadirkan Dr. Diana Teresa Pakasi, S.Sos., M.Si., seorang pengajar Ilmu Sosiologi, FISIP, Universitas Indonesia, sebagai pengampu. Diana membuka sesi diskusi dengan menyampaikan bahwa persoalan HKSR berangkat dari kontrol atas tubuh perempuan dan subordinasi seksualitas perempuan. Hal tersebut diperparah dengan nilai-nilai budaya yang melanggengkan praktik berbahaya, mitos, dan tabu terkait kesehatan reproduksi perempuan. Selain itu, rendahnya akses informasi, edukasi, dan layanan kesehatan reproduksi juga turut memperparah kondisi ini. “Ini semua saling terkait,” jelas Diana. Kesehatan reproduksi sendiri, menurut Diana, tidak hanya meliputi aspek-aspek fisik saja, tetapi juga mental dan sosial. Kesehatan reproduksi juga menyoroti bagaimana seseorang dapat menikmati kehidupan seks yang aman dan memiliki kapasitas, serta kebebasan. Selain itu, dalam kesehatan seksual juga menyoroti soal kualitas hidup dan relasi personal seseorang. Diana juga menekankan bahwa HKSR ini tidak hanya fokus pada pasangan yang sudah menikah atau pasangan usia subur, tetapi ini juga penting untuk orang muda. Kemudian, Diana menjelaskan bahwa aspek-aspek seksualitas sangat dipengaruhi oleh konstruksi sosial masyarakat. Konstruksi masyarakat ini, menurut Diana, memengaruhi kerentanan perempuan terkait kesehatan seksual dan reproduksi. “Anggapan bahwa perempuan harus melayani laki-laki ini menciptakan kerentanan terhadap perempuan dalam praktik-praktik berbahaya dan kenikmatan seksual,” jelas Diana. Lebih lanjut, Diana mengungkapkan bahwa gerakan feminis sangat berperan dalam advokasi HKSR. Gerakan feminis juga, menurut Diana, menuntut negara untuk memberikan akses terhadap layanan kesehatan reproduksi kepada perempuan. “Isu HKSR ini tidak terlepas dari isu ketimpangan gender dan ketimpangan sosial lainnya. Oleh karena itu, perhatian terhadap pemberdayaan perempuan tidak bisa dilepaskan dari perjuangan HKSR,” ungkap Diana. Diana kemudian menyoroti tantangan terkait pemenuhan HKSR, salah satunya komitmen negara terkait pemenuhan HKSR, baik secara politik maupun alokasi anggaran. Ditambah, menurut Diana, konservatisme dalam agama juga memengaruhi pemenuhan HKSR yang berkaitan dengan isu KB, layanan aborsi, dan edukasi seksualitas.
Selain itu, Diana juga menjelaskan bahwa ketimpangan sosial, patriarki, heteronormativitas, pemerintahan yang otoritarian dan populis juga berkelindan memengaruhi sulitnya pemenuhan HKSR. “Dalam konteks pemerintahan yang otoritarian dan populis, advokasi dan kerja-kerja organisasi perempuan atau masyarakat sipil yang pro demokrasi dan menyuarakan HKSR rentan mendapatkan tekanan bahkan intimidasi,” jelas Diana. Dalam sesi tanya jawab, seorang peserta bertanya mengenai aspek yang harus diperhatikan dalam implementasi agenda global ke tingkat lokal dalam konteks pemenuhan HKSR. Diana pun menjawab bahwa dalam translasi tersebut perlu adanya proses negosiasi. Contohnya, dalam konteks pencegahan perkawinan anak juga terjadi proses negosiasi. “Saat kita melakukan advokasi, itu bukanlah kerja yang instan. Mungkin ICPD, CEDAW, Beijing +10 memiliki norma-norma tersebut, tetapi bagaimana hal tersebut diperjuangkan dalam konteks lokal itukan membutuhkan waktu dan negosiasi,” papar Diana. Diana juga menjelaskan pentingnya kita melihat pemetakan isu dan aktor. Dalam konteks HKSR, penting untuk memperhatikan isu-isu yang dapat diadvokasikan terlebih dahulu. “Misalnya, dalam kesehatan reproduksi, kita bisa masuk melalui isu-isu agama baru kemudian mekanisme untuk pencegahan perkawinan anak,” jelasnya. (Michelle Gabriela Momole) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
March 2025
Categories |