KAFFE April 2025: Menguak Bias dan Kekerasan Berbasis Gender di Media dengan Analisis Wacara Kritis21/4/2025
![]() Berbicara perihal media, tidak luput dengan pembahasan mengenai kekerasan berbasis gender yang kerap dialami oleh perempuan. Pasalnya, media kerap menjadi alat untuk melanggengkan relasi kuasa dan budaya patriarki yang menimbulkan berbagai ketimpangan, diskriminasi, dan kekerasan terhadap perempuan. Beragam konten dan narasi di media melekatkan perempuan dengan stereotip gender yang bertolak belakang dengan pengalaman perempuan itu sendiri. Merespons hal tersebut, Jurnal Perempuan mengangkat tema diskusi pada KAFFE April 2025 berjudul ”Kekerasan Berbasis Gender dalam Media: Analisis Wacana Kritis atas Representasi Perempuan dalam Pemberitaan dan Budaya” yang diampu oleh Dr. Haryatmoko, SJ (Anggota AIPI Komisi Kebudayaan). Diskusi tersebut diselenggarakan secara daring pada Rabu (16/4/2025). Pada awal diskusi, Haryatmoko memaparkan penjelasan mengenai kekerasan simbolis yang merupakan kekerasan berupa dominasi serta pemaksaan yang seringkali tidak disadari oleh korban. Kekerasan semacam ini mengakar dalam budaya serta kebiasaan, sehingga dianggap wajar dan dinormalisasi. Padahal, kekerasan simbolis membungkam realitas mengenai hubungan kekuasaan yang menjalankan siasatnya melalui bahasa, simbol, dan representasi. Haryatmoko menjelaskan bahwa setidaknya terdapat empat komponen yang menjadi kunci dari kekerasan simbolis, yaitu 1) kekerasan tersebut diterima tanpa disadari; 2) bekerja melalui habitus; 3) diperkuat oleh modal simbolik; dan 4) dilaksanakan melalui institusi. Lebih lanjut, Haryatmoko menyatakan bahwa kekerasan simbolis inilah yang membuka peluang terjadinya kekerasan secara psikologis dan fisik. Kondisi yang mewajarkan hierarki gender, membuat tindakan kekerasan yang dilakukan secara verbal maupun fisik dimengerti sebagai kodrat atau tradisi. Alhasil, kekerasan bukan dilihat sebagai suatu permasalahan, tetapi sebagai upaya untuk mendisiplinkan atau memenuhi peran sosial yang disandarkan pada gender tertentu. Selain itu, kekerasan simbolis memungkinkan terjadinya pembungkaman serta legitimasi terhadap suatu kekerasan. Dalam hal ini, Haryatmoko memberikan contoh berupa ketimpangan relasi antara suami-istri. Apabila istri disodorkan dengan pandangan yang mengharuskannya patuh terhadap suami, maka ketika istri tersebut mendapatkan kekerasan, baik secara psikis ataupun fisik, akan dianggap sebagai suatu hal yang wajar. Mirisnya, segala bentuk kekerasan tersebut berulang dan dikokohkan melalui budaya dan institusi. Dalam keterhubungan antara kekerasan simbolis dengan media, Haryatmoko menekankan bahwa narasi dan representasi yang berkembang di media akan mempengaruhi realitas, inilah yang disebut sebagai mediated social reality. Hal tersebut disebabkan oleh kemampuan media untuk menyebarkan dan membentuk kepercayaan, norma, serta nilai dalam sosial masyarakat. Haryatmoko juga mengajak peserta kelas KAFFE untuk melihat berbagai kekerasan simbolis berbasis gender di media serta pengaruhnya terhadap realitas melalui sebuah tabel. Dalam tabel tersebut, terlihat bahwa pengaruh kekerasan simbolis berbasis gender yang dibangun oleh media sangat merugikan dan merendahkan perempuan. Media cenderung membahasakan perempuan dengan narasi-narasi yang menghakimi perempuan secara sepihak, seperti “cewek genit” atau “cewek baperan”. Berbagai film atau sinetron di media merepresentasikan perempuan sebagai sosok yang materialistik, emosional, dan menggantungkan kehidupannya pada laki-laki. Selain itu, media juga memvisualkan standar kecantikan perempuan yang jauh dari realitas keragaman identitas perempuan itu sendiri.
Banyak konten yang diproduksi oleh media memuat bahasa yang menyesatkan, menyalahkan, serta merendahkan perempuan. Misalnya, pada judul berita “Gadis Seksi Tewas Mengenaskan karena Main Cinta Terlarang”. Dari judul yang semacam itu, dapat dilihat bahwa ketimbang mencantumkan substansi, media kerapkali lebih menyoroti tubuh dan urusan personal perempuan. Selain itu, pemberitaan media tidak transparan terhadap tindak kekerasan, misalnya headline berita “Tragis! Suami Tega Bunuh Istri karena Cinta”. Hal tersebut menunjukkan bahwa kekerasan seakan-akan disebabkan oleh perasan cinta yang berlebihan, bukan karena adanya relasi kuasa yang timpang. Dari penjelasan tersebut, Haryatmoko menggarisbawahi pada pentingnya melakukan analisis wacana kritis terhadap pemakaian bahasa. Sebab, menurut Haryatmoko, bahasa bukan sekadar alat untuk berkomunikasi, tetapi juga merupakan instrumen kekuasaan. Bahasa dapat dikonstruksi sekaligus mengkonstruksi, sehingga satu peristiwa dapat memunculkan makna yang beragam. Oleh sebab itu, menjadi kritis merupakan hal yang vital dalam memberikan pemaknaan terhadap sesuatu. Kritis yang dimaksud dalam hal ini yaitu menyadari permasalahan yang ada untuk kemudian menganalisis sebab, akibat, serta menemukan cara untuk melawannya. Dalam kaitannya terhadap hal tersebut, Haryatmoko menawarkan pemikiran Norman Fairclough dalam melakukan analisis wacana kritis. Terdapat empat langkah yang ditawarkan, yaitu 1) berfokus pada ‘ketidakberesan sosial’ dari faktor semiotiknya; 2) mengidentifikasi berbagai kendala untuk menyelesaikan ‘ketidakberesan sosial’; 3) meninjau kebutuhan struktur sosial terhadap ketidakberesan sosial tersebut; 4) menemukan langkah-langkah yang mungkin dilakukan untuk menyelesaikan berbagai kendala tersebut. Pada akhir diskusi, Haryatmoko menekankan kembali terkait pentingnya mengimplementasikan analisis wacana kritis dalam memandang sesuatu. Haryatmoko juga menghimbau kepada para peserta agar dapat terus menyosialisasikan analisis wacana kritis kepada khalayak yang lebih luas. Harapan tersebut disampaikan Haryatmoko dengan harapan supaya kekerasan simbolis tidak terulang dan dapat dicegah. Dari diskusi KAFFE tersebut, peserta dapat berefleksi bahwa krusial untuk bersikap terbuka dan menyadari berbagai persoalan berbasis gender di media. Selain itu, mampu untuk menerapkan analisis wacana kritis ke dalam kehidupan sehari-hari guna mencegah terjadinya segala bentuk kekerasan berbasis gender. (Jihan Nur Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
May 2025
Categories |