![]() International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) menggelar webinar bertajuk “The Growing of Militarism and Authoritarianism” pada Selasa (18/3/2025) secara daring melalui kanal Zoom dan YouTube INFID TV. Webinar ini merupakan bagian pertama dari serangkaian kegiatan perayaan 40 tahun INFID. Adapun, tema besar yang diangkat oleh INFID adalah “Shaping the Future of Civil Society in Indonesian and Beyond”. Tema besar ini diangkat untuk membahas berbagai isu sosiopolitik nasional dan internasional. Pada webinar ini, Nicky Fahrizal, peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), menyampaikan bahwa dalam reformasi militer terdapat dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, Tentara Nasional Indonesia (TNI) harus meninggalkan dwifungsi ABRI yang telah memungkinan keterlibatan TNI ke ranah sipil, politik, dan bisnis di masa Orde Baru. Kedua, militer harus tunduk kepada konstitusi sebagai hukum tertinggi yang berlaku. “Kita punya suatu pengalaman bahwa dalam masa lalu, ABRI mengatasi segala golongan yang artinya di atas konstitusi juga,” jelas Nicky.
Nicky juga menjelaskan bahwa ide mengenai konstitusionalisme ini harus diperkuat saat ini. “Artinya, setiap kekuasaan yang diselenggarakan harus dikendalikan oleh hukum dan konstitusi,” tambahnya. Kemudian, Nicky juga menyampaikan mengenai tanda-tanda kembalinya militerisme. Menurutnya, tanda kembalinya militerisme antara lain: absennya keputusan atau kebijakan sipil dalam pengerahan TNI, penggunaan kapasitas TNI di luar fungsi dan kewenangan di luar undang-undang (UU), keterlibatan TNI dalam mendukung kekuasaan politik praktis, dan kurangnya kemampuan dan komitmen TNI untuk ditetapkan di bawah otoritas sipil. “Apabila ini terpenuhi semua, maka militerisme kembali,” tegasnya. Bagi Nicky, kontribusi terbesar TNI bagi pemerintahan sipil yang konstitusional dan demokratis adalah berpegang teguh pada ketentuan hukum yang mengaturnya, menghindari keterlibatan pada birokrasi sipil dan bisnis, dan tidak menjadi alat politik yang dimanfaatkan oleh elite kekuasaan. “Ini yang saya harapkan dalam revisi UU TNI, harusnya seperti ini,” ungkap Nicky. Selanjutnya, Rosita Dewi, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), juga turut menyampaikan materi mengenai militerisme dan hak asasi manusia (HAM), secara khusus di Papua. Rosita menyebutkan bahwa konflik di Papua berakar dari marginalisasi, diskriminasi, kekerasan, pelanggaran HAM, persoalan pembangunan, dan perdebatan sejarah, serta politik. Dalam hal ini, menurut Rosita, banyak keterlibatan militer dalam konflik di Papua. Kemudian, Ikrar Nusa Bhakti, seorang pengamat politik, mengatakan bahwa awal mula keterlibatan militer dalam politik dapat dijelaskan dalam konsep The Middle Way. Menurutnya, konsep ini menjadi latar belakang kehadiran dwifungsi ABRI. Lebih lanjut, ketika Susilo Bambang Yudhoyono menjabat sebagai Kepala Staf Teritorial TNI, ia mengeluarkan paradigma baru mengenai ABRI. Paradigma ini salah satunya menyebutkan bahwa ABRI tidak lagi menduduki, tetapi memengaruhi. Menurut Ikrar, paradigma baru ini sama halnya dengan dwifungsi. Terkait revisi UU TNI, Ikrar menyoroti beberapa aspek. Pertama, menurut Ikrar, ketika usia republik semakin tua seharusnya peran militer berkurang. Kedua, beberapa keahlian khusus yang dahulu dimiliki militer untuk menguasai beberapa sektor seperti keamanan siber, kini bisa dilakukan oleh sipil. Ketiga, menurut Ikrar, revisi UU TNI adalah cara Prabowo untuk memperkuat benteng militer pada masa kekuasaannya. “Kita berharap gerakan mahasiswa itu terus terjadi dan berpusat di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Tiga daerah ini menjadi penggetar sama seperti pada 1998,” ucap Ikrar. (Michelle Gabriela Momole) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
April 2025
Categories |