![]() Pada Kamis (12/12/2024) lalu, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), bekerja sama dengan Kedutaan Besar Jerman, menggelar acara “Peluncuran Hasil Penelitian dan Kertas Kerja Kebijakan: Kajian terhadap Dispensasi Kawin Usia Anak” di Hotel Oria, Jakarta Pusat. Acara ini dihadiri oleh peserta dari berbagai lembaga, termasuk perwakilan pemerintah, Kejaksaan Agung, hakim dan aparat penegak hukum lain, pengacara, organisasi masyarakat sipil (OMS), akademisi, perguruan tinggi, organisasi keagamaan, serta media. Sambutan diberikan oleh Jim Toar Matuli (Pjs. Direktur Eksekutif INFID) dan pidato kunci dari Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Veronica Tan. Dilanjutkan dengan pemaparan hasil riset dan kertas kerja kebijakan oleh Prof. Dr. Mufliha Wijayanti (Aliansi Perguruan Tinggi Responsif Gender) dan Danielle Johanna Panungkelani Samsoeri, S.H., M.Si. (Advokat AKARA Perempuan) serta para penanggap yakni Dr. Ilman Hasjim, S.H.I., M.H. (Hakim Yustisial Mahkamah Agung RI), Dr. Nur Rofiah, Bil.Uzm (Kongres Ulama Perempuan Indonesia--KUPI), Drs. Dindin Syarief Nurwahyudin (Pengadilan Agama Indramayu, Jawa Barat), dan Khesya Salsabila Ramadhani (Sekretaris Forum Anak Daerah Lampung Tengah). Acara ini bertujuan untuk menyampaikan hasil riset INFID berjudul “Dispensasi Kawin Usia Anak di Indramayu, Jawa Barat, dan Lampung Tengah, Lampung” serta kertas kerja kebijakan yang menganalisis implementasi Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 5 Tahun 2019 mengenai pedoman mengadili dispensasi kawin. Melalui diskusi ini, INFID berharap dapat memperkuat sinergi antar pemangku kepentingan seperti kepada institusi aparat penegak hukum, kementerian dan dinas terkait, pemerintah desa, OMS, serta orang tua dan guru untuk menghapus perkawinan usia anak, yang mana perkawinan anak adalah bagian dari kekerasan seksual yang tercantum dalam UU TPKS No. 12 Tahun 2022. Hasil penelitian yang dipaparkan oleh Mufliha Wijayanti dan tim mengungkapkan bahwa pengajuan dispensasi kawin meningkat signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu penyebab utama adalah kuatnya norma gender yang menganggap anak perempuan siap menikah setelah mencapai usia reproduksi, tanpa mempertimbangkan risiko kesehatan fisik dan mental mereka. “Norma gender dan konstruksi sosial yang mengakar menyebabkan anak perempuan yang tidak sekolah dianggap lebih baik dinikahkan untuk menghindari stigma. Hal ini masih menjadi fenomena di banyak daerah,” ujar Mufliha. Penelitian juga menemukan bahwa rekomendasi dalam PERMA No. 5 Tahun 2019 sering disalahpahami sebagai dukungan terhadap pernikahan anak, bukan sebagai alat untuk melindungi hak anak. Di beberapa wilayah, seperti Indramayu, rekomendasi dimaknai sebagai konseling kesiapan menikah, sementara di Lampung Tengah dipahami sebagai hasil asesmen administratif. Rekomendasi yang diharapkan oleh hakim Pengadilan Agama Indramayu adalah pernyataan hasil assesmen, bukan surat yang menyatakan dukungan terhadap perkawinan anak sebagaimana yang dipahami para pihak. Rekomendasi Dinas Sosial artinya hasil asesmen tertulis tentang keadaan psikis, psikologis, mental, dan keadaan ekonomi orang tua anak. Rekomendasi dinas kesehatan artinya hasil asesmen dari pengecekan kondisi kesehatan anak. Ambiguitas makna rekomendasi sebagaimana tercatat dalam PERMA No. 5 Tahun 2019 memunculkan kebingungan pada bidan sebagai pihak yang sering dicari ketika seseorang mengajukan dispensasi perkawinan. Mufliha menambahkan bahwa hakim kerap menghadapi dilema dalam memutuskan dispensasi kawin. “Ketimpangan relasi kuasa antara orang tua dan anak menjadi salah satu alasan mendasar. Orang tua cenderung menggunakan otoritasnya untuk menentukan nasib anak tanpa mempertimbangkan kepentingan terbaik anak,” jelasnya. Ilman Hasjim dari Mahkamah Agung menyoroti bahwa implementasi PERMA No. 5 Tahun 2019 masih menghadapi banyak tantangan dan misskonsepsi, terutama di tingkat daerah. Ia menyarankan agar edukasi lebih intensif diberikan kepada hakim dan masyarakat terkait dampak negatif perkawinan anak.
Sementara itu, Nur Rofiah dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) menyoroti persoalan mendasar dalam praktik perkawinan anak dari perspektif gender dan pengalaman khas perempuan. Ia menegaskan bahwa hukum harus berfungsi untuk melindungi anak-anak, terutama anak perempuan yang sering kali menjadi korban dalam praktik ini. Hal itu sebab anak perempuan menghadapi tantangan biologis yang jauh lebih kompleks dan berat dibandingkan laki-laki ketika mereka melakukan perkawinan anak. “Proses reproduksi perempuan bersifat berkelanjutan seperti hamil, melahirkan, menyusui, nifas, dan seterusnya, kemudian harus melepaskan hak pendidikannya. Berbeda dengan laki-laki yang menghasilkan sperma dalam hitungan menit tanpa beban biologis lanjutan dan masih boleh melanjutkan hak pendidikannya. Hal ini menunjukkan betapa tidak seimbangnya dampak perkawinan terhadap kedua pihak,” jelas Nur Rofiah. Rofiah menambahkan bahwa hamil di usia anak sangat berbahaya karena tubuh anak perempuan belum sepenuhnya matang untuk proses kehamilan dan persalinan. Risiko kesehatan yang tinggi, seperti komplikasi kehamilan hingga kematian ibu muda, berisiko tinggi menjadi dampak langsung dari perkawinan anak. Anak perempuan dan orang dewasa yang melakukan pemaksaan pernikahan terhadap anak perempuannya kerap tidak sepenuhnya memahami konsekuensi dari pernikahan. “Keinginginan anak terhadap perkawinan adalah keinginan semu. Anak belum memahami bahwa perkawinan bukan sekadar komitmen cinta, tetapi membawa tanggung jawab dan konsekuensi jangka panjang yang belum siap mereka emban,” tegasnya. Rofiah menyatakan perkawinan anak bukan hanya persoalan norma, tetapi juga kezaliman gender. Adanya praktik kezaliman gender atau kekerasan berbasis gender seperti memaksa anak perempuan disuntik hormon untuk mempercepat menstruasi agar dianggap layak menikah juga memperparah kondisi ini. “Ini bukan hanya bentuk kekerasan, tetapi juga pelanggaran terhadap hak dasar anak untuk tumbuh dan berkembang sesuai usia mereka,” katanya. Sebagai salah satu pemikir feminis di KUPI, Rofiah juga mengkritik praktik-praktik seperti memaksa anak perempuan menikah demi menjaga kehormatan keluarga. “Perempuan korban kekerasan seksual tidak seharusnya dinikahkan, tetapi diberikan perlindungan, bahkan opsi aborsi yang aman jika diperlukan,” tegasnya. Paparan dilanjutkan oleh Khesya Salsabila Ramadhani, Sekretaris Forum Anak Daerah Lampung Tengah, yang memberikan perspektif anak dalam diskusi ini. Ia menyoroti bagaimana perkawinan anak merenggut hak pendidikan dan masa depan anak perempuan. “Kami berharap pemerintah menyediakan lebih banyak ruang aman bagi anak-anak untuk melapor dan mendapatkan perlindungan,” ujarnya. Diskusi ini juga memberikan beberapa rekomendasi dan langkah kolaboratif penting dalam menghapus perkawinan anak di Indonesia. Satu, pentingnya edukasi kepada masyarakat dan para aparat penegak hukum, terkait bahaya perkawinan anak dan pentingnya pemahaman mengenai pertimbangan hakim terhadap berbagai aspek dalam PERMA No. 5 Tahun 2019 dalam memutus dispensasi perkawinan untuk memastikan tidak ada hak yang terlanggar dan tidak merugikan masa depan anak dari setiap aspek. Dua, reformasi regulasi yang lebih spesifik dan pengawasan ketat terhadap pengajuan dispensasi kawin, termasuk pemanfaatan dana desa untuk program pencegahan perkawinan anak. Tiga, pemberdayaan tokoh agama, akademisi, aparat penegak hukum, dan masyarakat lokal untuk menolak praktik agama atau praktik norma sosial yang mendukung perkawinan anak. Empat, penyediaan rumah aman bagi korban kekerasan seksual dan anak perempuan yang rentan terhadap perkawinan usia anak. Terakhir, Rofiah menambahkan bahwa perkawinan usia anak dan kehamilan di usia anak adalah bahaya besar yang harus dicegah melalui pendekatan hukum, edukasi, dan pemberdayaan. Ia menyerukan pentingnya perspektif gender dalam penegakan hukum, agar anak perempuan dilindungi dari kezaliman yang terus mengakar dalam masyarakat. “Kita harus menegakkan hukum yang melindungi anak-anak, terutama perempuan, dari praktik-praktik yang merugikan mereka. Perempuan bukan hanya alat reproduksi, dan anak-anak bukan objek yang bisa diperlakukan semena-mena,” tukasnya. Acara ini diakhiri dengan penutupan oleh moderator Sonya Hellen Sinombor (Jurnalis senior Kompas), yang menekankan bahwa kolaborasi lintas sektor adalah kunci untuk menyelesaikan masalah perkawinan anak di Indonesia. Peluncuran buku ini diharapkan menjadi langkah awal menuju perubahan yang lebih besar dalam perlindungan hak anak anak. (Putu Gadis Arvia Puspa) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
February 2025
Categories |