Dok. Goethe-Institut Indonesien / Inge Dhewanti Kita tidak pernah membicarakan mengenai harapan yang hadir dalam pemikiran Hannah Arendt. Meski betul bahwa Arendt tidak secara spesifik menuliskan mengenai afeksi, empatik, atau harapan dalam tulisan-tulisannya. Namun, hal tersebut dapat kita terjemahkan di masa sekarang yang kerap menganggap filsafat tidak menjejakkan kaki atau kurang berefleksi. Kira-kira seperti itu yang disampaikan oleh Ikhaputri Widiantini pada pembukaan presentasinya berjudul "Membaca Arendt Lewat Layar: Politik Harapan di Tengah Banalitas" pada Jumat (18/7/2015) yang lalu. Arendt sendiri terkenal dalam pemikirannya mengenai totalitarianisme, kekuasaan, kejahatan, dan tanggung jawab individu dalam kehidupan politik. Kehidupan Arendt jelas digambarkan dalam film Hannah Arendt (2012) oleh Margarethe von Trotta yang diputar sebelum diskusi berlangsung. Kegiatan ini merupakan kerja sama antara Jurnal Perempuan dengan Goethe Institute dalam memperingati 50 tahun kepergian filsuf dan pemikir politik Hannah Arendt. Sebelum film diputar dan diskusi berlangsung, Abby Gina selaku direktur eksekutif Jurnal Perempuan turut menyampaikan kata sambutannya. "Thoughtlessness dalam konteks Indonesia bisa kita lihat bagaimana isu-isu seperti birokrasi yang menormalisasi kekerasan atau mungkin budaya patuh yang mematikan penilaian moral ini masih menjadi isu kita bersama," ujar Abby. Dari sana, penting untuk memikirkan ulang mengapa kejahatan hari-hari ini terasa banal terjadi dan mungkin saja hal itu merupakan hasil dari ketidakberpikiran subjek atau pelaku. Ikhaputri, atau yang kerap disapa Upi, memulai presentasinya dengan mengangkat film oleh von Trotta yang menjadikan sinema sebagai medium untuk ruang refleksi. Baginya, Arendt tidak dikultuskan dalam film ini. Arendt terlihat sebagai manusia, dimana Arendt juga berdinamika dengan koleganya, pasangannya, atau sahabat-sahabatnya. Secara apik, von Trotta menghadirkan perempuan di film ini bukan hanya sebagai sejarah, tetapi cara perempuan hidup serta berpikir juga dipotret dalam film ini. Tidak hanya itu, von Trotta akhirnya menghadirkan estetik yang revolusioner sebab mampu menghadirkan perenungan kejahatan melalui penggambaran orang yang berpikir. Meski film membahas mengenai bagaimana kejahatan Adolf Eichmann, pejabat Nazi yang bertanggung jawab atas logistik deportasi orang Yahudi, tetapi estetika yang hadir merupakan estetika tanggung jawab, bukan estetika kekerasan. Melalui piranti kamera, sinema menjadi medium filsafat visual untuk menciptakan ruang kontemplatif. Ruang ontologis, dunia, ruang waktu, dibangun oleh film sehingga penontonnya bisa masuk ke film tersebut dan merasa ada di sana. Dari keberhasilan menghadirkan ruang-ruang tersebut inilah yang menyebabkan film menghadirkan fasilitas ruang berpikir. Hal ini menyebabkan peralihan dari rasional menuju afeksi reflektif. "Cermin politik Arendt bahwa manusia itu harusnya dilihat sebagaimana mereka hadir di dunia dengan segala banalitasnya, inkonsistensinya, keburukannya, tidak ada ilusi, juga tanpa kebencian. Arendt dalam hal ini ingin menunjukkan bahwa penghakiman yang adil itu dimulai bukan dari moral yang tinggi, tetapi dari pemaknaan kita atas kompleksitas manusia. Ini persahabatan, bukan penghakiman," tutur Upi. Melalui cara-cara Arendt menghadapi kasus Eichmann menunjukkan adanya harapan sebagai ajakan untuk berpikir ulang. Hal ini karena Arendt melihat pengadilan Eichmann tidak semata menjadi ajang balas dendam, melainkan mengenai membicarakan sesuatu yang besar di baliknya. Kemudian, Upi lanjut merefleksikan hari-hari ini ketika eskalasi konflik seperti saling memaki kerap terjadi misalnya ketika seseorang melakukan hal yang salah. Yang disorotinya adalah eskalasi besar-besaran itu terjadi justru tak kalah menganggunya yang bahkan kejadian sebenarnya pun belum terungkap dengan jelas. Sejalan dengan Arendt melihat kasus Eichmann, harapan itu muncul ketika adanya kebersediaan kita untuk berpikir ulang dalam melihat banalitas dari kejahatan. Hal ini dapat mewujud dengan kita menolak menjadi bagian dari mesin moral yang otomatis. Konsep banalitiy of evil akhirnya menjadi sebuah seruan untuk berhenti menerima narasi kejahatan yang nyaman. Kamera dari film Hannah Arendt (2012) ini sama sekali tidak menuduh, baik dari sisi Arendt yang tidak dikultuskan, begitu pula dengan Eichmann yang dilihat sebagai figur yang biasa saja. Eichmann digambarkan tidak fanatik, tidak kejam, tetapi justru mengerikan karena ketidakmampuannya dalam berpikir. Situasi-situasi ini menimbulkan pertanyaan seperti bagaimana seharusnya mengadili kejahatan yang tidak terasa jahat sama sekali atau bagaimana menghidupi dunia yang memungkinkan situasi tersebut? Di sini penting untuk dicatat bahwa ketidakberpikiran tadi merupakan bentuk luka etis. Kejahatan yang dibicarakan, banalitas yang terjadi, itu muncul karena ketidakberpikiran. Bahaya dari ketidakberpikiran atau thoughtlessness ini mungkin tidak berasa, tetapi membuat kita membiarkan kekerasan itu muncul karena lama-lama terbiasa untuk bersikap netral. Dari sini, terdapat luka etis yang terjadi karena kekosongan berpikir yang terjadi di sekitar kita. "Kalau kita masih mau membicarakan mengenai harapan, kita jangan membuat harapan menjadi pelarian. Harapan tidak pernah menyenangkan. Harapan seperti wish ulang tahun bukanlah harapan yang kita bicarakan. Harapan itu datang dari luka etis yang ditinggalkan tadi," ujar Upi.
Film Hannah Arendt (2012) menunjukkan bahwa harapan lahir bukan dari tindakan yang megah atau heroik, melainkan muncul dari kediaman berpikir, penolakan-penolakan, bahkan hidup dalam kebenaran meski menyakitkan. Adegan dalam film ketika Arendt mempublikasikan tulisannya mengenai pengadilan Eichmann, seperti ditinggalkan teman-temannya, itu tidak ditunjukkan dengan berlebihan sehingga harapan bukan merupakan yang dramatis. Harapan yang dihadirkan Arendt bukan optimisme pula, melainkan mewujud dalam keberanian tidak mengikuti arus, menghadapi kesendirian dalam berpikir, hingga percaya bahwa dunia masih bisa diperbaiki melalui tindakan kecil yang datang dari kesadaran. "Senada dengan apa yang dikatakan oleh Arendt, kita tidak pernah sebenarnya diminta untuk menjadi pahlawan, tetapi yang diminta adalah jangan berhenti berpikir. Dalam dunia yang serba cepat, penuh kericuhan dan tuntutan untuk memutuskan secara instan, mungkin sudah waktunya untuk kita berpikir dengan pelan dan reflektif sehingga ini menjadi bentuk perlawanan yang paling mendalam, Mulailah kita dengan tanggapan yang tenang, pelan, yang reflektif. Karena jangan-jangan setelah itu kita akan menghadirkan jawaban yang paling refleksional," pungkas Upi. (Gloria Sarah Saragih) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
October 2025
Categories |

RSS Feed