Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Indonesian Feminist Journal
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
    • Booklet KAFFE
  • Podcast JP
    • Radio JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
    • Biodata Penerima Beasiswa 2025
Warta Feminis

Harapan di Tengah Banalitas: Berani, Pelan, dan Refleksional

24/7/2025

 
PictureDok. Goethe-Institut Indonesien / Inge Dhewanti
     Kita tidak pernah membicarakan mengenai harapan yang hadir dalam pemikiran Hannah Arendt. Meski betul bahwa Arendt tidak secara spesifik menuliskan mengenai afeksi, empatik, atau harapan dalam tulisan-tulisannya. Namun, hal tersebut dapat kita terjemahkan di masa sekarang yang kerap menganggap filsafat tidak menjejakkan kaki atau kurang berefleksi. Kira-kira seperti itu yang disampaikan oleh Ikhaputri Widiantini pada pembukaan presentasinya berjudul "Membaca Arendt Lewat Layar: Politik Harapan di Tengah Banalitas" pada Jumat (18/7/2015) yang lalu.

     ​Arendt sendiri terkenal dalam pemikirannya mengenai totalitarianisme, kekuasaan, kejahatan, dan tanggung jawab individu dalam kehidupan politik. Kehidupan Arendt jelas digambarkan dalam film Hannah Arendt (2012) oleh Margarethe von Trotta yang diputar sebelum diskusi berlangsung. Kegiatan ini merupakan kerja sama antara Jurnal Perempuan dengan Goethe Institute dalam memperingati 50 tahun kepergian filsuf dan pemikir politik Hannah Arendt.
Picture
Dok. Goethe-Institut Indonesien / Inge Dhewanti
     Sebelum film diputar dan diskusi berlangsung, Abby Gina selaku direktur eksekutif Jurnal Perempuan turut menyampaikan kata sambutannya. "Thoughtlessness dalam konteks Indonesia bisa kita lihat bagaimana isu-isu seperti birokrasi yang menormalisasi kekerasan atau mungkin budaya patuh yang mematikan penilaian moral ini masih menjadi isu kita bersama," ujar Abby. Dari sana, penting untuk memikirkan ulang mengapa kejahatan hari-hari ini terasa banal terjadi dan mungkin saja hal itu merupakan hasil dari ketidakberpikiran subjek atau pelaku.

     Ikhaputri, atau yang kerap disapa Upi, memulai presentasinya dengan mengangkat film oleh von Trotta yang menjadikan sinema sebagai medium untuk ruang refleksi. Baginya, Arendt tidak dikultuskan dalam film ini. Arendt terlihat sebagai manusia, dimana Arendt juga berdinamika dengan koleganya, pasangannya, atau sahabat-sahabatnya. Secara apik, von Trotta menghadirkan perempuan di film ini bukan hanya sebagai sejarah, tetapi cara perempuan hidup serta berpikir juga dipotret dalam film ini. Tidak hanya itu, von Trotta akhirnya menghadirkan estetik yang revolusioner sebab mampu menghadirkan perenungan kejahatan melalui penggambaran orang yang berpikir. Meski film membahas mengenai bagaimana kejahatan Adolf Eichmann, pejabat Nazi yang bertanggung jawab atas logistik deportasi orang Yahudi, tetapi estetika yang hadir merupakan estetika tanggung jawab, bukan estetika kekerasan.

     ​Melalui piranti kamera, sinema menjadi medium filsafat visual untuk menciptakan ruang kontemplatif. Ruang ontologis, dunia, ruang waktu, dibangun oleh film sehingga penontonnya bisa masuk ke film tersebut dan merasa ada di sana. Dari keberhasilan menghadirkan ruang-ruang tersebut inilah yang menyebabkan film menghadirkan fasilitas ruang berpikir. Hal ini menyebabkan peralihan dari rasional menuju afeksi reflektif.
Picture
Dok. Goethe-Institut Indonesien / Inge Dhewanti
     "Cermin politik Arendt bahwa manusia itu harusnya dilihat sebagaimana mereka hadir di dunia dengan segala banalitasnya, inkonsistensinya, keburukannya, tidak ada ilusi, juga tanpa kebencian. Arendt dalam hal ini ingin menunjukkan bahwa penghakiman yang adil itu dimulai bukan dari moral yang tinggi, tetapi dari pemaknaan kita atas kompleksitas manusia. Ini persahabatan, bukan penghakiman," tutur Upi.

     Melalui cara-cara Arendt menghadapi kasus Eichmann menunjukkan adanya harapan sebagai ajakan untuk berpikir ulang. Hal ini karena Arendt melihat pengadilan Eichmann tidak semata menjadi ajang balas dendam, melainkan mengenai membicarakan sesuatu yang besar di baliknya. Kemudian, Upi lanjut merefleksikan hari-hari ini ketika eskalasi konflik seperti saling memaki kerap terjadi misalnya ketika seseorang melakukan hal yang salah. Yang disorotinya adalah eskalasi besar-besaran itu terjadi justru tak kalah menganggunya yang bahkan kejadian sebenarnya pun belum terungkap dengan jelas. Sejalan dengan Arendt melihat kasus Eichmann, harapan itu muncul ketika adanya kebersediaan kita untuk berpikir ulang dalam melihat banalitas dari kejahatan. Hal ini dapat mewujud dengan kita menolak menjadi bagian dari mesin moral yang otomatis. Konsep banalitiy of evil akhirnya menjadi sebuah seruan untuk berhenti menerima narasi kejahatan yang nyaman.

     ​Kamera dari film Hannah Arendt (2012) ini sama sekali tidak menuduh, baik dari sisi Arendt yang tidak dikultuskan, begitu pula dengan Eichmann yang dilihat sebagai figur yang biasa saja. Eichmann digambarkan tidak fanatik, tidak kejam, tetapi justru mengerikan karena ketidakmampuannya dalam berpikir. Situasi-situasi ini menimbulkan pertanyaan seperti bagaimana seharusnya mengadili kejahatan yang tidak terasa jahat sama sekali atau bagaimana menghidupi dunia yang memungkinkan situasi tersebut? Di sini penting untuk dicatat bahwa ketidakberpikiran tadi merupakan bentuk luka etis. Kejahatan yang dibicarakan, banalitas yang terjadi, itu muncul karena ketidakberpikiran. Bahaya dari ketidakberpikiran atau thoughtlessness ini mungkin tidak berasa, tetapi membuat kita membiarkan kekerasan itu muncul karena lama-lama terbiasa untuk bersikap netral. Dari sini, terdapat luka etis yang terjadi karena kekosongan berpikir yang terjadi di sekitar kita.
Picture
Dok. Goethe-Institut Indonesien / Inge Dhewanti
     "Kalau kita masih mau membicarakan mengenai harapan, kita jangan membuat harapan menjadi pelarian. Harapan tidak pernah menyenangkan. Harapan seperti wish ulang tahun bukanlah harapan yang kita bicarakan. Harapan itu datang dari luka etis yang ditinggalkan tadi," ujar Upi.

     Film Hannah Arendt (2012) menunjukkan bahwa harapan lahir bukan dari tindakan yang megah atau heroik, melainkan muncul dari kediaman berpikir, penolakan-penolakan, bahkan hidup dalam kebenaran meski menyakitkan. Adegan dalam film ketika Arendt mempublikasikan tulisannya mengenai pengadilan Eichmann, seperti ditinggalkan teman-temannya, itu tidak ditunjukkan dengan berlebihan sehingga harapan bukan merupakan yang dramatis. Harapan yang dihadirkan Arendt bukan optimisme pula, melainkan mewujud dalam keberanian tidak mengikuti arus, menghadapi kesendirian dalam berpikir, hingga percaya bahwa dunia masih bisa diperbaiki melalui tindakan kecil yang datang dari kesadaran.

     "Senada dengan apa yang dikatakan oleh Arendt, kita tidak pernah sebenarnya diminta untuk menjadi pahlawan, tetapi yang diminta adalah jangan berhenti berpikir. Dalam dunia yang serba cepat, penuh kericuhan dan tuntutan untuk memutuskan secara instan, mungkin sudah waktunya untuk kita berpikir dengan pelan dan reflektif sehingga ini menjadi bentuk perlawanan yang paling mendalam, Mulailah kita dengan tanggapan yang tenang, pelan, yang reflektif. Karena jangan-jangan setelah itu kita akan menghadirkan jawaban yang paling refleksional," pungkas Upi. (Gloria Sarah Saragih)

Comments are closed.
    Jurnal Perempuan
    ​
    terindeks di:
    Picture

    Archives

    October 2025
    September 2025
    August 2025
    July 2025
    June 2025
    May 2025
    April 2025
    March 2025
    February 2025
    January 2025
    December 2024
    November 2024
    October 2024
    September 2024
    August 2024
    July 2024
    June 2024
    May 2024
    April 2024
    March 2024
    February 2024
    January 2024
    December 2023
    November 2023
    October 2023
    September 2023
    August 2023
    July 2023
    June 2023
    May 2023
    April 2023
    March 2023
    February 2023
    January 2023
    December 2022
    November 2022
    October 2022
    September 2022
    August 2022
    July 2022
    June 2022
    May 2022
    April 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    November 2021
    October 2021
    September 2021
    August 2021
    July 2021
    June 2021
    April 2021
    March 2021
    February 2021
    January 2021
    December 2020
    October 2020
    August 2020
    July 2020
    June 2020
    April 2020
    March 2020
    February 2020
    January 2020
    December 2019
    November 2019
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    June 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    February 2019
    January 2019
    December 2018
    November 2018
    October 2018
    September 2018
    August 2018
    July 2018
    June 2018
    May 2018
    April 2018
    March 2018
    February 2018
    January 2018
    December 2017
    October 2017
    September 2017
    August 2017
    July 2017
    June 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    December 2016
    November 2016
    September 2016
    August 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015
    April 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    November 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    July 2014
    June 2014

    Categories

    All

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | [email protected]
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Indonesian Feminist Journal
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
    • Booklet KAFFE
  • Podcast JP
    • Radio JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
    • Biodata Penerima Beasiswa 2025