![]() Korban kekerasan seksual memiliki hak-hak yang telah diatur dalam pasal 66-70 Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022, yaitu hak atas penanganan, pelindungan dan pemulihan sejak terjadinya tindak pidana kekerasan seksual. Namun, nyatanya tidak semua korban kekerasan seksual berani melapor, dan ketika sudah melapor, tidak semua dapat mendapatkan hak keadilan dari sisi hukum dan layanan kesehatan yang dibutuhkannya. Berangkat dari keresahan tersebut, Swara Rahima berkolaborasi dengan Yayasan IPAS Indonesia dan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) menyelenggarakan webinar bertajuk “Hak Korban Kekerasan Seksual dalam Mengakses Keadilan dan Layanan Kesehatan” pada Kamis, 30 Januari 2025. Webinar ini diadakan secara daring melalui siaran langsung kanal YouTube Swararahima dotcom dan Zoom Meeting.
Webinar ini dibuka oleh sambutan dari Pera Sopariyanti selaku Direktur Perhimpunan Rahima. Dalam sambutan tersebut, Pera menjelaskan bahwa webinar ini merupakan bagian dari rangkaian pendidikan ulama perempuan angkatan ketujuh. “Topik ini sangat relevan, terutama ketika kami bersentuhan dengan para ulama perempuan yang melakukan kerja-kerja pendampingan dan pendidikan di akar rumput,” jelas Pera. Selanjutnya, webinar dilanjutkan oleh sesi pemaparan dari narasumber. Marcia Soumokil, Direktur Yayasan IPAS, membuka sesi pemaparan dengan menjelaskan bahwa satu dari empat perempuan Indonesia rentang usia 15–64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual dalam hidupnya. Ia juga mengungkapkan bahwa korban kekerasan mengalami tekanan sosial, fisik, hingga mental. Kemudian, Marcia juga menjabarkan mengenai hak-hak korban kekerasan seksual beserta prinsip tata laksana kekerasan seksual di fasilitas layanan kesehatan. “Tata laksana di layanan kesehatan ini tidak hanya mencakup aspek medis dan psikologis, tetapi juga ada aspek medikolegal, sehingga biasanya dari pihak kepolisian akan meminta hasil visum,” jelas Marcia. Lebih lanjut, Marcia menjelaskan tantangan yang dihadapi fasilitas kesehatan dalam menangani korban kekerasan seksual, antara lain pembiayaan yang tidak dijamin, diseminasi pedoman dan pelatihan tenaga kesehatan yang masih terbatas, serta penanganan gangguan kesehatan mental jangka panjang. Selanjutnya, Siti Mazumah, Pengacara dan Koordinator Nasional Forum Pengada Layanan (FPL), menyampaikan bahwa relasi kuasa menjadi akar permasalahan kekerasan seksual yang membuat korban sulit untuk melapor. Selain itu, minimnya dukungan sosial juga memperparah kondisi ini. Lebih lanjut, Mazumah menyampaikan bahwa sebelum adanya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) masyarakat hanya mengenal pemenjaraan. Namun, dengan adanya UU TPKS penjara bukan satu-satunya alternatif. “Ada rehabilitas sosial dan medis bagi korban dan pelaku, ada restitusi atau penggantian ganti rugi yang dibebankan kepada pelaku atas kerugian materil dan imateril yang dialami korban, ada pengumuman pelaku, perampasan keuntungan atau kekayaan yang diperoleh pelaku dari tindakannya,” jelas Mazumah. Kemudian, Mazumah menjelaskan bahwa dalam UU TPKS korban memiliki hak atas penanganan, pemulihan, dan perlindungan. Adapun, korban penyandang disabilitas juga mendapatkan hak untuk aksesibilitas dan akomodasi yang layak. “Hak-hak korban ini tidak jatuh dari langit, tapi kita harus mengupayakan agar hak-hak korban ini terpenuhi,” ucap Mazumah. Menurut Mazumah, dalam pendampingan korban kekerasan seksual wajib hukumnya untuk menyediakan ruang aman. Selain itu, pendampingan litigasi yang meliput pendampingan proses hukum di tingkat kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan juga harus dipenuhi. Terdapat pula pendampingan nonlitigasi, antara lain konsultasi, mediasi, investigasi, negosiasi, layanan psikologis, dan shelter atau safe house yang harus dipenuhi. Lebih lanjut, Umdah El Baroroh, Dekan Fakultas Syariah Institut Pesantren Mathali'ul Falah (IPMAFA) Pati dan Pesantren Mansajul Ulum Pati, turut menyampaikan pandangannya mengenai penangan kekerasan seksual dalam perspektif agama. Menurut Umdah, visi kerahmatan dan misi kemaslahatan harus dibangun dalam kerangka nilai kesetaraan, kesalingan, dan keadilan. “Keadilan hakiki adalah keadilan yang memberikan perhatian khusus bagi perempuan dan kelompok minoritas,” jelasnya. Umdah juga menjelaskan hasil musyawarah keagamaan KUPI I yang menyatakan bahwa keharaman tindakan kekerasan seksual baik di dalam maupun di luar perkawinan. Kemudian, hasil ini juga diperkuat dengan hasil fatwa keagamaan KUPI II, yaitu pelindungan perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan dan perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan, keduanya dinyatakan sebagai sebuah kewajiban bagi semua pihak termasuk keluarga, tokoh agama, tenaga medis dan pemerintah. Siti Robika selaku moderator menutup sesi webinar ini dengan menyampaikan pentingnya perlindungan dan hak-hak korban kekerasan seksual dari segi medis, hukum, dan perspektif islam. (Michelle Gabriela Momole) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
February 2025
Categories |