![]() Kalyanamitra bersama Jurnal Perempuan melakukan diskusi santai 30 menit secara live di Instagram @y_kalyanamitra pada Rabu (19/02/2025) lalu, dengan mengangkat tema terkait “Kerja Perawatan: Apa Itu Kerja Perawatan?”. Diskusi dipandu oleh Nadila dari Kalayanamitra dan narasumber yaitu Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan, Abby Gina Boang Manalu. Dalam diskusi tersebut Abby mejelaskan bahwa kerja perawatan mencakup berbagai aktivitas yang bertujuan menjaga kesejahteraan individu, baik secara fisik, mental, emosional, maupun sosial, serta dapat berupa pekerjaan berbayar atau tidak berbayar. Pada dasarnya, kerja perawatan adalah keterampilan primer yang harus dimiliki semua orang, karena sebelum menjalankan aktivitas lain, manusia membutuhkan pemenuhan kebutuhan dasar yang berkaitan dengan perawatan. Kerja perawatan berbayar mencakup profesi seperti pekerja rumah tangga, guru TK atau PAUD, serta pengasuh anak dan lansia, sedangkan kerja perawatan tidak berbayar mencakup aktivitas sehari-hari seperti memasak, membersihkan rumah, mengasuh anak, dan merawat keluarga.
Dalam perspektif feminis, kerja perawatan menjadi isu penting karena mayoritas pekerjaan ini, terutama yang tidak berbayar, dilakukan oleh perempuan dan anak perempuan. Meski bersifat fundamental, kerja perawatan masih dianggap sebagai tanggung jawab perempuan, yang berdampak pada keterbatasan partisipasi mereka dalam pekerjaan berbayar. Kesenjangan ini menunjukkan perlunya kesadaran dan redistribusi kerja perawatan agar tidak hanya dibebankan kepada perempuan. Lebih lanjut Abby menekankan bahwa dalam masyarakat patriarki, pembagian kerja didasarkan pada gender, di mana pekerjaan maskulin seperti teknik dan sains lebih banyak diisi laki-laki, sementara pekerjaan yang dianggap feminin, seperti bidan atau perawat, didominasi perempuan. Konsekuensi dari pembagian ini tidak proporsional—pekerjaan maskulin umumnya berupah lebih tinggi dan memiliki jaminan lebih baik, sedangkan pekerjaan perawatan sering dianggap sekadar keterampilan dan kurang dihargai. Akibatnya, perempuan memiliki keterbatasan dalam mengakses dunia kerja berbayar dan mengembangkan potensi mereka. Di Indonesia, tren partisipasi kerja perempuan selalu lebih rendah dibanding laki-laki, dengan selisih sekitar 30 percent. Faktor seperti ketimpangan pendidikan juga berperan, di mana keluarga, terutama di perdesaan, lebih cenderung berinvestasi pada pendidikan anak laki-laki karena dianggap sebagai pencari nafkah utama. Meskipun kesenjangan gender dalam pendidikan mulai berkurang, perempuan tetap lebih rentan tersingkir dari dunia kerja setelah memasuki usia perkawinan dan reproduksi. Bukan karena kurangnya keterampilan atau kemauan, melainkan karena ekspektasi bahwa tugas utama mereka adalah perawatan. Tanpa pembagian kerja yang adil atau dukungan dari tempat kerja, banyak perempuan terpaksa mundur, beralih ke pekerjaan informal atau part-time dengan jaminan yang lebih rendah demi menyesuaikan dengan tanggung jawab domestik yang masih dianggap sebagai peran utama mereka. Jika melihat dari upaya perubahan, gerakan feminis gelombang dua telah lama membahas keterpinggiran perempuan dalam dunia kerja, baik secara teoritis maupun melalui aksi nyata, yang mendorong revisi kebijakan dan lahirnya berbagai konvensi internasional untuk mengatasi hambatan tersebut. Sejak akhir 1800-an, perempuan memang sudah masuk dunia kerja, tetapi belum memperoleh keadilan, misalnya melalui kebijakan diskriminatif seperti larangan menikah atau memiliki anak dalam periode tertentu. Pemikir feminis seperti Susan Moller Okin menyoroti hambatan struktural ini dan menegaskan perlunya regulasi yang lebih inklusif. Banyak kebijakan ketenagakerjaan masih berbasis pengalaman laki-laki, tanpa mempertimbangkan kebutuhan spesifik perempuan, seperti cuti hamil atau kebijakan kerja yang mendukung perawatan anak. Oleh karena itu, berkembang desakan untuk menyediakan cuti ayah, dukungan negara dalam kerja perawatan, serta investasi dalam fasilitas penitipan anak. Dalam 20 tahun terakhir, isu ini menjadi perdebatan global, dengan kontribusi pemikir seperti Fad Richi yang menyoroti pentingnya pembayaran kerja perawatan dan refleksinya dalam kebijakan organisasi seperti ILO. Dalam cakupan wilayah Indonesia, isu ini telah dibahas sejak awal 2000-an, misalnya dalam Jurnal Perempuan dan perjuangan RUU Pekerja Rumah Tangga, meski hingga kini belum ada keseriusan dalam pengesahannya. Ini menunjukkan bahwa meskipun kerja perawatan semakin diakui secara global, di Indonesia perjuangan masih berlangsung untuk mengubah paradigma yang menganggap pekerjaan ini sekadar bantuan atau kekeluargaan. Pada dasarnya Negara memiliki tanggung jawab besar dalam menjamin pemenuhan hak dasar warganya, termasuk sistem pensiun dan perawatan lansia. Sayangnya, ketika ada kasus lansia meninggal dalam kondisi memprihatinkan, sering kali yang disorot adalah kegagalan individu atau keluarga, bukan persoalan struktural. Beban perawatan ini secara tidak proporsional jatuh kepada perempuan, meskipun tidak tertulis secara eksplisit. Selain itu dalam banyak kasus, perempuan dan anak perempuanlah yang harus berkorban untuk mendukung anggota keluarga yang sakit. Oleh karena itu Abby menekankan bahwa, penting bagi negara untuk berinvestasi dalam kerja-kerja perawatan. Namun, di Indonesia, beban ini masih lebih banyak dilimpahkan kepada keluarga. Misalnya, fasilitas penitipan anak memang ada, tetapi biayanya mahal, sehingga dengan gaji UMR, banyak perempuan akhirnya memilih berhenti bekerja. Kebijakan yang berperspektif gender seharusnya melihat masalah ini sebagai persoalan sistemik, bukan sekadar tanggung jawab individu atau komunitas. Meski perubahan regulasi dan program yang berpihak masih memerlukan waktu panjang, inisiatif dari masyarakat, seperti penyediaan fasilitas penitipan anak atau lansia yang berkualitas, dapat menjadi contoh bagi negara untuk berinvestasi dan mengadopsi kebijakan yang lebih inklusif. Kerja perawatan merupakan aspek esensial yang mendukung keberlangsungan hidup, sehingga diperlukan perhatian serius dari negara, termasuk investasi yang lebih baik dalam bidang ini karena dampaknya yang signifikan terhadap pembangunan. Abby mendorong dan mengikatkan kita bahwa meskipun perubahan kebijakan di tingkat makro tidak dapat terjadi secara instan, komunitas dan individu dapat mulai mengambil langkah nyata, seperti menciptakan lingkungan kerja yang layak bagi pekerja rumah tangga serta memastikan hak-hak mereka terpenuhi. Di tingkat keluarga, kontribusi dapat dilakukan dengan membangun praktik yang lebih adil, seperti mendidik anak laki-laki dan perempuan secara setara serta menanamkan nilai bahwa kerja perawatan adalah tugas berharga yang bisa dilakukan bersama. Dengan demikian, meskipun perubahan besar membutuhkan upaya yang integral, langkah-langkah kecil dari individu dan komunitas tetap dapat berkontribusi dalam menciptakan perubahan yang lebih luas. (Ajeng Ratna Komala) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
March 2025
Categories |