Diskusi Buku “Trilogi Kartini”: Menggali Kembali Pemikiran dan Relevansi Kartini di Masa Sekarang21/10/2024
Jumat (18/10/24) yang lalu telah diselenggarakan Diskusi Buku ‘Trilogi Kartini’ oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia di kantornya Jl. Plaju No. 10, Jakarta Pusat. Diskusi buku ini menghadirkan Prof. Wardiman Djojonegoro (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1993-1998) sebagai penulis, penyunting, sekaligus penerjemah buku bertajuk “Trilogi Kartini”. Diskusi buku ini bertujuan untuk mengenal lebih dekat dengan Kartini dan pengalaman–pengalamannya untuk menjawab tantangan ketidakadilan gender yang sarat hingga hari ini. Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani, memberikan kata sambutan melalui rekaman video yang diputar. Sri Mulyani dalam sambutannya mengatakan masih banyak perempuan Indonesia yang belum mendapatkan kesempatan untuk maju karena budaya dan adopsi kultur patriarki. Melalui buku ini dapat dipahami dari zaman Kartini hingga sekarang, meskipun sudah ada perubahan zaman, praktik budaya patriarki masih terus hadir di masyarakat. “Saya berharap para mahasiswa mampu untuk menggali berbagai nilai-nilai dari Kartini dan melihatnya dalam konteks hari ini,” ujar Sri Mulyani.
Sambutan selanjutnya oleh Hilmar Farid, Ph.D. (Dirjen Kemendikbudristek). Ia menyampaikan bahwa buku ini menjadi penting karena bukan hanya menghadirkan karya asli dari dokumen sejarah, tetapi Wardiman menempatkannya di dalam urusan hubungan gender dalam masyarakat. Hilmar berkata, “Buku ini bagi saya bukan hanya bercerita tentang masa lalu, sesungguhnya menjadi inspirasi untuk memahami dunia kita sekarang.” Hilmar berharap buku ini hadir di perpustakaan-perpustakaan, paling tidak di setiap perpustakan perguruan tinggi Indonesia. “Trilogi Kartini” terdiri dari tiga jilid buku. Dua jilid pertama merupakan kumpulan surat-surat asli Kartini, cerita pengalaman hidup Kartini, biografi Kartini. Jilid ketiga hadir seperti menjadi pelengkap dari kedua jilid, yaitu memuat statistik-statistik mengenai ketidakadilan gender serta menyajikan pengalaman-pengalaman perempuan. Diskusi buku dipandu oleh Tri, seorang perempuan pegiat literasi. Adapun narasumber dalam diskusi kali ini, antara lain: Siti Maimunah, Ph. D. (Ketua Mama Aleta Fund), dr. Ilsa Nelwan, MPH. (Pendiri dan Pembina Yayasan Jaringan Relawan Independen), serta Nani Zulminarni (Pendiri Perempuan Kepala Keluarga–PEKKA). Di awal acara, Wardiman bercerita mengenai alasan dirinya tertarik untuk menulis buku tentang Kartini. Ketertarikannya dimulai ketika ia SMP, yaitu saat dirinya membaca buku Kartini yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Beliau terkesan dengan kepiawaian Kartini dalam menulis buku yang berbahasa Belanda tersebut. Menurut Maimunah, penyusunan buku ini sangat memudahkan dalam upaya memahami surat-surat Kartini karena buku ini berisikan 179 surat Kartini dengan 11 artikel memoar yang bisa menguatkan pemahaman antar surat yang ditulis Kartini. “Dari membaca buku ini saya menemukan bahwa cerita-cerita di buku ini tidak hanya menawarkan saat Kartini mengalami sistem patriarki, feodalisme, tetapi lebih jauh dari itu. Kartini mengalami kolonialisme yang berganda, karena dia perempuan, tetapi dia juga mengalami penjajahan itu. Dia menawarkan bagaimana pengalaman kolonialisme itu dan melawannya,” ujar Maimunah. Buku jilid ketiga ini memperlihatkan berbagai persoalan legal yang dihadapi perempuan. Tidak hanya itu, terdapat juga persoalan yang tidak terlihat, bahkan cenderung tersembunyi. Maimunah menganggap ini penting untuk dibicarakan terus menerus agar surat-surat Kartini memiliki makna dan membuat persoalan-persoalan tadi menjadi terlihat. Hal itu yang merupakan salah satu cara membawa Kartini pada konteks kekinian. Kisah Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) yang dihimpun oleh Nani dihadirkan di buku jilid ketiga. Dalam kerangka hukum Indonesia, yang menjadi kepala keluarga adalah laki-laki. “Padahal data menunjukkan setiap 4 dari keluarga Indonesia, 1 di antaranya dikepalai oleh perempuan, dengan berbagai sebab dan berbagai status,” tegas Nani. PEKKA melawan sistem berpikir patriarki yang masih ada sampai hari ini. “Di situlah koneksi kuat antara PEKKA dan Kartini, yaitu bagaimana keluar dari tatanan nilai yang sangat mengakar (dalam konteks PEKKA-red) untuk mengatakan saya perempuan yang merupakan nahkoda tunggal keluarga,” diperjelas oleh Nani. Ilsa dalam pemaparannya menyarankan agar penerbit membuat lomba menulis sebagai kegiatan untuk meningkatkan minat baca mengenai buku trilogi yang direkomendasikannya ini. Tak hanya itu, ia menyarankan untuk memasukkan “Trilogi Kartini” ke repository Kemendikbud agar mudah diakses oleh masyarakat, para pelajar, serta mahasiswa. Ahmad, salah satu peserta dari kalangan umum mengajukan pertanyaan, “Bagaimana agar perempuan masa kini bisa seperti Kartini atau bahkan melampaui Kartini?” Maimunah menanggapi bahwa setiap perjuangan memiliki konteks dan tantangan tersendiri. Tidak semua perjuangan harus sama persis seperti Kartini. Namun, semangat Kartini dalam melawan ketidakadilan dan ketertindasan bisa menjadi inspirasi bagi setiap perempuan masa kini untuk memperjuangkan hak dan potensi mereka dalam konteks yang berbeda. Diskusi buku ini menjadi pengingat bahwa Kartini bukan hanya sekadar simbol emansipasi, tetapi tokoh dengan berbagai dimensi dan peran yang masih relevan hingga kini. “Trilogi Kartini” tidak hanya membangkitkan kesadaran tentang perjuangan perempuan, tetapi juga memberikan wawasan mengenai tantangan dan peluang dalam mewujudkan keadilan gender di masa sekarang. (Gloria Sarah Saragih) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |