![]() Pada (9/12/24) lalu, telah diselenggarakan Dialog Nasional bertajuk “Kekerasan Berbasis Gender yang Dialami Perempuan Adat”. Kegiatan ini merupakan kerja kolaborasi antara Persekutuan Perempuan Adat Nusantara (PEREMPUAN AMAN) dengan EcoAdat yang diselenggarakan secara hybrid, dengan luring di Swissbel-Residences, Jakarta Selatan, dan daring melalui Zoom Meeting. Tujuan dari kegiatan ini antara lain untuk memaparkan kondisi terkini perempuan adat di Indonesia, juga memaparkan hasil studi kekerasan berbasis gender yang dialami oleh perempuan adat. Tidak hanya itu, dialog ini juga sebagai momen memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) yang diperingati sejak 25 November hingga 10 Desember. Tabitha Mansawan sebagai Dewan Nasional Perempuan Aman Region Papua memberikan kata sambutan sebagai tanda pembukaan dialog nasional siang itu. Ia menyampaikan, “PEREMPUAN AMAN didirikan pada dasar bahwa perempuan adat membutuhkan tempat atau wadah atau ruang belajar untuk mengkonsolidasikan diri. Perempuan aman juga bisa menyuarakan kepentingan atas dirinya serta memfasilitasi perempuan adat dalam mengkoordinir pengetahuan dan hak-haknya," ujarnya. Dialog dimoderatori oleh Dian Yanuardi yang merupakan Dewan Pakar PEREMPUAN AMAN dengan pembicara-pembicara, antara lain Devi Anggraini (Ketua Umum PEREMPUAN AMAN), Arimbi Heroepoetri (debtWATCH), dan Nur Amalia (EcoAdat). Devi memulai pemaparannya dengan memperkenalkan perempuan adat sebagai perempuan yang terikat kehidupannya pada suatu wilayah, yang kemudian ada aturan, norma, dan peran sosial di dalam satu ikatan. Ikatan masyarakat komunal sekaligus mengikat perempuan adat, yang mungkin berbeda dengan pengalaman perempuan lainnya lebih berbicara mengenai hak individu. Pada perempuan adat lebih berbicara ke arah hak kolektif yang jarang dimunculkan. Devi menegaskan bahwa penting sekali untuk melihat kepentingan perempuan, mempraktikkan pengetahuan perempuan, merawat untuk kemudian diteruskan ke generasi berikutnya. Pemenuhan kehidupan dalam masyarakat adat sangat besar dipengaruhi oleh perempuan. PEREMPUAN AMAN ingin meletakkan perspektif perempuan adat di dalam membicarakan terjadinya perampasan wilayah adat yang juga merupakan wilayah perempuan adat, seperti kegiatan pertambangan, perkebunan sawit, transisi energi, dan lain sebagainya. PEREMPUAN AMAN melakukan Engendering Participatory Mapping (EMP) sebagai peletakan wilayah kelola perempuan, dimana perempuan bisa mengelola wilayahnya sendiri (contohnya hutan perempuan di Jayapura) baik secara otonom, maupun semi otonom. Perusakan wilayah adat berdampak pada hilangnya ruang-ruang produktif perempuan adat, seperti air bersih sulit didapatkan, proses ritual tidak bisa dijalankan, kesulitan peran perempuan dalam memproduksi obat alami. Situasi-situasi tersebut bagi perempuan adat akan menghilangkan perlahan identitas perempuan adat. Devi juga menjelaskan bagaimana peran pemerintah dalam bantuan sosial yang diberikan kepada perempuan adat tidaklah tepat. "Yang terjadi adalah ketergantungan yang tinggi pada bantuan ini dan membuat perempuan adat, bahkan masyarakatnya, tidak lagi mau melakukan upaya-upaya yang cukup terhadap potensi yang ada di wilayah adat," jelas Devi. Adapun rekomendasi dan tuntutan kepada pemerintah adalah memasukkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat ke dalam prolegnas, menempatkan kebijakan perlakuan khusus atau affirmative action dengan menempatkan investasi utama pada peningkatan kapabilitas (kecakapan atau keahilan) perempuan adat, dan lain-lain. Pemaparan selanjutnya oleh Arimbi. Arimbi membahas kekerasan berbasis gender yang dialami oleh perempuan adat. "Kekerasan itu sudah ada dalam masyarakat, tetapi penamaannya belum terjadi,” ujar Arimbi. PEREMPUAN AMAN memulai unutuk mengenalkan konsep mengenai kekerasan di masyarakat adat, seperti pengabaian, peminggiran, yang termasuk ke dalam kekerasan berbasis gender. Kekerasan berbasis gender yang dialami oleh perempuan adat dalam berbagai level, masih membuat korbannya tidak mengetahui bahwa ia mengalami kekerasan berbasis gender atau tidak. Temuan dari riset menunjukkan bahwa penyelesaian kasus kekerasan berbasis gender masih dominan dilakukan secara adat dan keluarga. Dalam mekanisme penyelesaian kasus, upaya pemulihan korban masih minim dilakukan. Tidak hanya itu, pendekatan negara seperti melalui polisi, jaksa, dan hakim, masih legalistik. Terlebih, infrastruktur pendukung untuk memberikan layanan bagi korban masih sangat terbatas. Rekomendasi yang diberikan adalah untuk memberikan pengakuan dan penghormatan eksistensi kepada masyarakat adat, serta memberikan sosialisasi layanan pro-aktif kepada perempuan adat dari APH serta dinas atau Unit Pelayanan Terpadu (UPT) yang membidangi urusan terkait upaya perlindungan perempuan. Dan lagi-lagi, memberikan payung hukum--dalam bentuk UU--pada masyarakat adat. Pemaparan terakhir oleh Nur Amalia yang juga melanjutkan pembahasan mengenai kekerasan berbasis gender di perempuan adat. Dia memulai dengan membahas Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialami oleh perempuan adat, yang mungkin saja berbeda dengan yang dialami oleh perempuan di kota. Perempuan adat memiliki kesulitan tersendiri untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya karena sebagian besar perempuan adat menikah hanya secara adat, tidak tercatat secara negara. Perkawinan-perkawinan adat ini membuat sulitnya pelaporan ke kepolisian dalam mencantumkan buku nikah yang tidak dimiliki sebagian besar perempuan adat sehingga kasusnya tidak diselidiki. "Permasalahan di ranah personal, yaitu KDRT, dan sebagian lain adalah percobaan perkosaan, penganiayaan akibat adanya perselingkuhan, dan sebagainya," tambah Amalia. Adapun temuan dari penelitian, yaitu perempuan adat di berbagai tempat (yang dalam penelitian ini wilayah IKN dan Papua) memiliki kondisi penangan kekerasan berbasis gender yang berbeda pula. Contohnya ditemukan pola relasi perempuan di Papua dengan sistem peradilan adat yang masih bekerja. Berbeda dengan di IKN yang pola relasi kolektif perempuan dengan mayoritas perempuan adat beragama muslim. Artinya, masing-masing wilayah penelitian memiliki pendekatannya masing-masing dalam menangani kasus kekerasan berbasis gender. Setelah sesi pemaparan dari tiga narasumber, disediakan sesi penanggap. Adapun penanggap-penanggap, antara lain Christriyati Ariani dari Kemendikbudristek, Adriana Venny dari Gerakan Perempuan Peduli Indonesia (GPPI), Dewi Candraningrum selaku akademisi dari Solo, Saurlin Siagian dari Komnas HAM, serta penanggap lainnya. Hadir pula penanggap daring, Eni Widiyanti dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).
Masing-masing penanggap menanggapi sesuai dengan bidangnya masing-masing, ada yang memaparkan bagaimana upaya yang telah dilakukan oleh institusi terkait pelindungan masyarakat adat. Ada pula yang memaparkan terkait penggunaan terminologi perempuan sintas alih-alih perempuan rentan, dan tanggapan-tanggapan lainnya. Respons dari para narasumber bahwa hasil yang dipaparkan merupakan usaha-usaha yang masih berlanjut. Artinya, PEREMPUAN AMAN akan terus bekerja agar perempuan adat bisa mendapatkan hak-haknya. Masyarakat adat merupakan inti dari Indonesia. Menghadirkan masyarakat adat, seperti perempuan adat adalah langkah yang harus dilakukan segera sebagai pengakuan atas eksistensi masyarakat adat. Hilangnya pengetahuan perempuan adat akan menyebabkan hilangnya eksistensi masyarakat adat yang tentu berdampak pada masa depan negeri. Penyingkiran perempuan adat dari ruang-ruang kehidupan akan mengancam kehidupan masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, pemerintah seharusnya tidak mengenyampingkan kepentingan masyarakat adat terhadap pemenuhan hak-haknya. (Gloria Sarah Saragih) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
February 2025
Categories |