![]() Pada (19/12/2024) yang lalu, Cakra Wikara Indonesia (CWI) bersama FISIP UI Anti Kekerasan Seksual dan didukung oleh Program INKLUSI menyelenggarakan pemutaran perdana film pendek serta diskusi bertema “Mengakhiri Pembungkaman, Menegakkan Budaya Bicara: Tantangan dan Peluang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual”. Acara ini digelar secara luring di Auditorium Mochtar Riady, FISIP Universitas Indonesia, dan dihadiri oleh mahasiswa, organisasi pemuda, serta masyarakat umum. Ketua CWI, Anna Margret, membuka acara dengan memberikan kata sambutan. Dalam sambutannya, Anna menjelaskan bahwa film pendek berjudul “Bersama, Bergerak" merupakan hasil kerja kolektif yang menyoroti pentingnya kolaborasi lintas instansi, seperti Paralegal Depok, Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), dan psikolog klinis dalam menanggulangi kekerasan seksual. Untuk diskusi juga menghadirkan kolektif mahasiswa dalam penanganan kasus kekersan seksual di kampus. “Kami sengaja melibatkan FISIP Anti Kekerasan Seksual (KS) yang fokus menjaga komitmen nol kekerasan seksual,” tambah Anna.
Setelah sambutan, acara dilanjutkan dengan pemutaran film dokumenter berdurasi 27 menit yang mengangkat kerja-kerja penanganan kekerasan seksual di berbagai tingkat. Film ini menampilkan sejumlah tokoh, seperti Sahat Farida dari Paralegal Depok, Noridha Weningsari sebagai psikolog klinis, Muda Mahendrawan selaku Bupati Kubu Raya periode 2009–2014 dan 2019–2024, serta Anjar Yusdinar sebagai Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak DP3AKB Jawa Barat. Usai pemutaran film, sesi diskusi panel dipandu oleh Dirga Ardiansa dari CWI. Diskusi menghadirkan narasumber, yakni Emily dari FISIP UI Anti Kekerasan Seksual, Sahat Farida, Noridha Weningsari, Anjar Yusdinar, dan Muda Mahendrawan yang berpartisipasi secara daring melalui Zoom. Dirga membuka diskusi dengan meminta para narasumber membagikan kesan mereka tentang produksi film ini. Noridha Weningsari menyampaikan kekhawatirannya awalnya terhadap sudut pandang yang digunakan dalam film. “Saya sempat mempertanyakan mengapa bukan sudut pandang korban yang ditonjolkan. Namun, saya mendapatkan jawaban yang memuaskan dari tim produksi bahwa pendekatan ini bertujuan menghindari eksploitasi cerita korban,” ujarnya. Emily dari FISIP UI Anti KS mengungkapkan rasa optimisme yang muncul setelah menyaksikan film. “Aku merasa perjuangan aku dan kawan-kawan FISIP Anti KS tidak sendiri. Ada tingkatan kerja mulai dari masyarakat akar rumput, seperti Paralegal Depok, hingga ke UPTD PPA yang sifatnya administratif,” ungkapnya. Salah satu topik utama diskusi adalah peran UPTD PPA sebagaimana diatur dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2024. Anjar Yusdinar menjelaskan bahwa UPTD PPA memiliki tugas khusus untuk memberikan layanan kuratif dan pendampingan kasus. Muda Mahendrawan menambahkan pengalaman di Kabupaten Kubu Raya, di mana program penguatan kapasitas perempuan melalui sekolah-sekolah berbasis komunitas telah meluluskan hampir 2.600 perempuan desa. Pada sesi tanya jawab, Putri, salah satu peserta, bertanya tentang strategi pengarusutamaan isu kekerasan seksual, sementara Nina menanyakan indikator bahwa sebuah kasus kekerasan seksual telah selesai. Menjawab pertanyaan ini, Anjar menekankan pentingnya koordinasi lintas organisasi dan penyempurnaan upaya penanganan. Hal yang juga ditekankan oleh Anjar, yang menyebutkan bahwa penyelesaian sebuah kasus di UPTD PPA bisa dianggap tuntas jika seluruh tujuan pengaduan korban dalam formulir terpenuhi. Noridha menyoroti diperlukannya pedoman dan framework yang jelas untuk mengukur keberhasilan penyelesaian kasus. Emily menjelaskan bahwa budaya patriarkis yang masih kuat menjadi salah satu tantangan besar dalam penanganan kekerasan seksual. Sementara salah satu strategi yang dilakukan Emily bersama FISIP Anti KS, yaitu selain melakukan pendampingan korban, FISIP UI Anti KS juga aktif memberikan edukasi kepada mahasiswa agar lebih mengenali kekerasan seksual. Pemutaran film "Bersama, Bergerak" dan diskusi yang dihadirkan menunjukkan bahwa kolaborasi lintas sektor, edukasi publik, dan regulasi yang kuat adalah kunci untuk menciptakan budaya bicara yang memberdayakan korban dan mencegah kekerasan seksual di masyarakat. (Gloria Sarah Saragih) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
February 2025
Categories |