Bedah Buku “Ego dalam Perebutan Kuasa Asuh Anak”: Sengketa Hak Asuh dan Hak Anak yang Dirampas14/4/2025
![]() Pada Jumat (11/4/2025) telah diselenggarakan diskusi bedah buku yang berjudul "Ego dalam Perebutan Kuasa Asuh Anak" secara hybrid di Sekretariat Institut Lingkaran Pendidikan Alternatif untuk Perempuan (KAPAL Perempuan) serta melalui Zoom Meeting. Magdalena Sitorus selaku penulis buku hadir secara langsung dalam diskusi bedah buku ini. Buku ini diawali dengan penjabaran kasus-kasus perceraian dan kondisi nyata yang dialami anak dan pengaruh perceraian orang tua terhadap proses perkembangan anak. Selain itu, dinarasikan juga terkait proses perceraian yang banyak membebankan pihak perempuan baik karena pertimbangan masalah ekonomi, sosial, maupun budaya. Melalui bab berjudul “Pendidikan Luar Negeri yang Menyilaukan”, penulis ingin menjelaskan bahwa pendidikan orang tua ternyata tidak memberikan cara pandang yang adil terhadap perebutan hak asuh anak pasca perceraian. Pada bab kedua buku ini dijelaskan tentang arti pengasuhan anak serta hak-hak anak. Dilanjutkan pada bab tiga tentang perebutan kuasa asuh dalam berbagai aspek yaitu aspek sosial budaya, agama, psikologis, ekonomi dan hukum. Pada bab selanjutnya, Magdalena Sitorus menjelaskan tentang egofilia. Penulis menuliskan suatu konsep ego antara kedua orang tua yang merupakan manusia dewasa serta relasi keduanya dengan anak. Bab terakhir buku ini memaparkan tentang potret kasus dari negara lain seperti studi kasus dari Australia, Malaysia, dan Belanda terkait penanganan kasus perebutan kuasa hak asuh anak. Penulis yang juga merupakan pemerhati isu perempuan dan kelompok minoritas menarasikan praktik patriarki terkait hak asuh yang didominasi oleh pihak laki-laki karena merasa laki-laki mapan secara ekonomi yang membuat perempuan kerap tidak mendapatkan hak asuh anak. Buku yang diluncurkan pada bulan November 2023 ini menyajikan sudut pandang yang tajam dan reflektif mengenai bagaimana ego orang tua kerap kali mendominasi proses pengambilan keputusan dalam sengketa hak asuh. Orang tua memosisikan anak sebagai objek, ibarat sebuah barang milik yang layak diperebutkan. Anak tidak diberi ruang untuk memberi aspirasi dan opini terkait situasi yang dihadapinya. Di sisi lain, orang tua berlomba-lomba menunjukkan bahwa dirinya adalah pihak yang terbaik yang berhak mendapatkan hak asuh anak tanpa mempertimbangkan suara dari anak. “Kasus perceraian tidak pernah memikirkan perasaan anak karena merasa tidak menimbulkan kekerasan fisik pada anak. Padahal perebutan hak asuh anak sebagai konsekuensi dari perceraian menimbulkan tekanan psikologis bagi anak,” jelas Magdalena. Perceraian yang dilakukan oleh suami dan istri menimbulkan akibat terhadap anak-anaknya baik secara moral maupun material. Secara moral, anak-anak menanggung konsekuensi bahwa kedua orang tua tidak bersama lagi yang menyebabkan anak-anak tidak mendapatkan kasih sayang seperti sebelumnya mereka dapatkan. Secara material anak mendapatkan nafkah dari orang tua sebagai hak yang harus diperoleh oleh anak. Dalam diskusi ini, Magdalena—seorang mantan komisioner Komnas Perempuan yang aktif menulis tentang kisah perempuan—menekankan bahwa kepentingan terbaik anak sering kali terpinggirkan ketika kedua pihak lebih mengedepankan luka batin dan gengsi pribadi. Ia juga menjelaskan bahwa kasus perebutan hak asuh anak terjadi hampir setiap hari dan setiap orang tua yang bercerai berpotensi melakukannya tanpa memandang latar belakang profesi, agama, maupun suku. “Tidak ada hari tanpa perebutan hak asuh anak. Anak menjadi objek dan bahkan dilakukan oleh lintas pendidikan, agama, maupun suku,” ungkapnya. Kasus perceraian telah menimbulkan akibat yang ditanggung oleh anak-anak baik secara moril dan material. Selain itu, putusan pengadilan tentang hak asuh anak juga banyak yang tidak berjalan sesuai dengan putusan. Oleh karena itu, Magdalena menekankan pentingnya penguatan organisasi sipil agar mampu menjadi mediator dalam penyelesaian masalah perceraian. Selain itu, negara tidak boleh tinggal diam. Negara harus mengintervensi dalam penyelesaian kasus pasca perceraian terutama terkait perlindungan anak korban perceraian.
Diskusi bedah buku ini pun ditutup dengan pesan yang mendalam dari penulis. “Anak harus ditempatkan sebagai number one. Kalau siap punya anak maka harus siap dengan seluruh permasalahannya. Kalau belum siap punya anak, jangan punya anak. Jangan jadikan anak sebagai objek. Jadikan anak sebagai pusat pertimbangan utama dalam segala hal dalam keluarga,” tuturnya. Buku “Ego: dalam Perebutan Kuasa Asuh Anak” kini telah tersedia di toko buku dan platform digital. Dengan gaya penulisan yang lugas tapi menyentuh, buku ini berhasil menggabungkan studi kasus nyata serta panduan praktis untuk membantu orang tua dan profesional memahami bagaimana konflik hak asuh seharusnya disikapi secara bijaksana. (Elisabet Ardiningsih Wiko) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
May 2025
Categories |