![]() Pada hari Sabtu (5/9) di bawah dua pohon mangga rindang, tepatnya di Casakhasa Garden Bistro, Kemang, Jakarta Selatan, Jurnal Perempuan bersama Ardhanary Institute dan didukung oleh Hivos-Rosea meluncurkan Modul Pelatihan Media Meliput LGBT disertai dengan diskusi Modul tersebut. Hartoyo, Aktivis LGBT dari Suara kita menjadi salah satu dari empat pembicara lainnya yakni Gadis Arivia dari Jurnal Perempuan, Ade Armando, dosen komunikasi FISIP UI, dan Luviana dari Aliansi Jurnalis Independen. "LGBT terinspirasi dari aktivis pluralisme yang menggunakan media alternatif seperti website, walaupun saya juga tidak anti media mainstream, media mainstream harus dirangkul", ujar Hartoyo menceritakan bagaimana pengalaman organisasinya menyuarakan isu LGBT. Menurutnya, tidak semua media mainstream memberitakan LGBT dengan buruk. Ia menceritakan pengalamannya ketika diwawancarai oleh salah satu media islam. Ia ikut merekam dan mentranskrip verbatim wawancara serta mengirimkannya kepada si wartawan sehingga kemudian berita yang dituliskan bebas dari asumsi. Hartoyo melanjutkan media yang digunakan organisasi Suara kita adalah website. Website dianggap sebagai media alternatif yang murah dan efektif dengan jumlah pengunjung per hari mencapai 800. Alamat website www.suarakita.org adalah website kedua dari organisasinya karena sebelumnya sempat diblok oleh Kemeninfo. Website www.suarakita.or.id dianggap tidak mendidik, namun pemblokiran tersebut tanpa terlebih dahulu didasari suatu kajian. (Nadya Karima Melati) ![]() Berbicara tentang media massa hal pertama yang harus kita ingat adalah bahwa media massa sudah berkembang sedemikian rupa, sehingga dalam konteks isu LGBT terutama terkait dengan advokasi dan kampanye media, kita tidak boleh hanya berhenti pada media cetak. Lebih jauh kita juga harus memahami bahwa soal media massa tidak hanya mencakup perihal peliputan tentang LGBT, tetapi juga menyangkut bagaimana LGBT tampil dalam konstruksi media. Dengan demikian kita tidak hanya bicara tentang berita, tetapi bagaimana LGBT ditampilkan dalam talkshow, film, lagu, sinetron, pertunjukkan musik, dst. Kita harus ingat bahwa media massa itu jauh lebih luas daripada sekadar jurnalistik. Hal ini memiliki implikasi bagi perjuangan LGBT. Pernyataan ini disampaikan Ade Armando, Dosen Komunikasi FISIP UI saat menjadi pembicara dalam acara diskusi yang mengiringi Peluncuran Modul Panduan Media Meliput LGBT yang diselenggarakan Jurnal Perempuan dan Ardhanary Institute dengan didukung Hivos-Rosea pada Sabtu (5/9) di Casakhasa, Jakarta. Hal kedua yang harus diingat menurut Ade adalah bahwa media massa mempunyai banyak komponen. Sehingga membayangkan bahwa para jurnalis atau para pembuat film atau penulis naskah atau perancang talkshow atau sinetron itu bekerja independen adalah sebuah mitos dan salah, karena mereka semua hidup dalam sebuah sistem. Walau demikian harus dibedakan antara media yang komersial dan yang non komersial. Pertama-tama yang harus diingat mereka berada dalam sebuah struktur dan di dalam struktur ini penulis atau wartawan mempunyai pemimpin redaksi atau atasan. Di luar kebijakan redaksional, ada faktor pemilik media yang bisa juga memiliki kepentingan. Karena itu media yang besar yang mempunyai khalayak yang juga besar, akan berbicara dengan pertimbangan-pertimbangan yang jauh lebih luas. Begitu juga dengan para pembuat film, pembuat sinetron, dsb. Faktor lain adalah soal pengiklan. Karena itu Ade sangat menyadari bahwa tidak mudah untuk menjangkau wartawan, penulis naskah, pembuat film, dsb agar mereka tergerak untuk bersimpati atau bahkan memperjuangkan isu LGBT dalam karya-karya yang mereka hasilkan. Karena itu Ade mengerti jika Jurnal Perempuan lebih berupaya untuk membangun sensitivitas.Agar ketika seorang wartawan menulis tentang persoalan LGBT, paling tidak dia menuliskannya dengan benar. Akan tetapi untuk masuk pada tahap membangun kesadaran, membuat orang menjadi lebih paham persoalan LGBT bukanlah persoalan mudah. Selain faktor media sebagai sebuah sistem, ketidakmudahan yang kedua terkait dengan fakta bahwa orang-orang yang menulis berita, membuat film, menulis karya, membuat talkshow dan program-program TV adalah seorang manusia dan sebagai manusia, seseorang mempunyai preferensi, mempunyai pikiran, memiliki initial attitude terkait dengan isu LGBT. Di luar aspek internal tersebut, terdapat juga pandangan masyarakat umum mengenai LGBT. Kombinasi kedua aspek inilah yang menghasilkan pandangan yang dimiliki seseorang terkait isu LGBT. Dalam hal ini Ade berpandangan bahwa barangkali upaya yang penting adalah mengajar mereka yang bergerak dalam bidang media karena ia sangat percaya media massa merupakan pembentuk konstruksi masyarakat atas dunia. Orang-orang yang bekerja di media perlu diberi pengetahuan yang cukup mengenai isu yang sesungguhnya. Namun kita juga harus menyadari bahwa mereka memiliki initial attitude mengenai LGBT. Ade menduga pada umumnya orang-orang yang bergerak dalam media massa pun mempunyai prasangka, stereotip tentang LGBT. Karenanya dibutuhkan proses yang panjang agar seseorang bergerak dari prasangka menjadi bersimpati lalu berempati dan kemudian menganggap kita semua sama. (Anita Dhewy) ![]() Pada tanggal 5 September 2015, Yayasan Jurnal Perempuan dan Ardhanary Institute mengadakan acara Peluncuran Modul Panduan Media Meliput LGBT yang didukung oleh Hivos-Rosea. Peluncuran modul tersebut mengambil tempat di CasaKhasa, Kemang, Jakarta. Dalam kesempatan diskusi ini, salah seorang pembicara yaitu Luviana dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyampaikan pandangannya mengenai sikap media dalam meliput kasus-kasus mengenai, ataupun yang meyinggung LGBT. Luviana mengatakan bahwa AJI menyambut positif peluncuran modul ini. Sebelumnya, AJI sempat melakukan sebuah riset kecil dan diskusi mengenai bagaimana media di Indonesia men-cover isu LGBT. Dari data Dewan Pers, jumlah media Indonesia mencapai 2.338 media. Sebuah peningkatan pesat dari jumlah 300 media pada masa sebelum reformasi. Jumlah ini belum termasuk media komunitas dan media lainnya yang belum mendaftarkan media mereka. Menurut Luviana, peningkatan ini merupakan dampak dari perubahan teknologi. Kemajuan dari perubahan teknologi pada masa ini adalah terjadinya perubahan besar dalam arus informasi. Sekarang ini semua orang bisa menjadi sumber berita. Media sosial menjadi ruang publik sehingga semua orang bisa menuliskan opini, menjadi narasumber, membuat petisi, dan sebagainya. Oleh karenanya Luviana berpendapat bahwa modul panduan ini menarik karena membahas bagaimana konten LGBT dalam media dan memberikan panduan tentang bagaimana menuliskannya. Melalui riset tersebut AJI menyimpulkan bahwa semakin banyak media yang muncul membahas isu LGBT. Namun harus dilihat apakah karena jumlah media semakin banyak atau apakah karena memang isu LGBT menjadi isu yang menarik untuk digarap. Terlepas dari itu, AJI mencatat bahwa isu LGBT mencuat ke permukaan ketika terjadi momentum seperti ketika IDAHOT atau hari HIV/AIDS. Isu LGBT sebenarnya merupakan isu yang menarik tetapi umumnya terdapat beberapa perspektif yang digunakan dalam memandang kasus LGBT. AJI melihat ada empat perspektif dalam liputan media mengenai LGBT. Perspektif agama, informatif (hanya sekadar memberi informasi), pasar (sensasional), dan kritis. Sayangnya liputan dengan perspektif pasar dan informatif masih mendominasi. Luviana menambahkan bahwa pemetaan media adalah persoalan konten, buruh media (apakah jurnalis bebas menuliskan LGBT), kepemilikan media, dan regulasi. Misalnya konten media memang dipengaruhi oleh rating share, terutama media online. Jika banyak yang meng-klik maka berarti isu tersebut menarik. Isu LGBT sekarang ini, oleh teman-teman media, dianggap menarik tetapi masih selalu dikaitkan dengan persoalan agama, moralitas, dan lain-lain. Permasalahan lainnya adalah terkait diksi. Masih banyak wartawan yang belum mengenal istilah LGBT. Dalam isu LGBT, Luviana menyatakan bahwa AJI mengambil posisi mendukung kaum minoritas yang berarti AJI membela isu LGBT yang minoritas dan tabu dalam ruang redaksi. Luviana menceritakan pengalamannya ketika ingin mengangkat sebuah isu LGBT di Papua namun ditentang karena isu tersebut dipandang tidak mendidik. Pada akhirnya berita tersebut muncul namun sifatnya hanya informatif. Luviana menutup pembahasannya dengan mengapresiasi kemajuan dalam draft P3SPS yang memasukkan larangan kekerasan dan stereotip (termasuk LGBT) dalam media. (Johanna Poerba) ![]() Pada acara Peluncuran Modul Panduan Media Meliput LGBT hasil kerja sama antara Yayasan Jurnal Perempuan dan Ardhanary Institute dengan didukung oleh Hivos-Rosea yang diadakan di CasaKhasa, Kemang, Jakarta pada tanggal 5 September 2015, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, Gadis Arivia membuka pembahasannya dengan pernyataan bahwa bahasa memengaruhi cara berpikir. Sebagai contoh, Gadis mengatakan bahwa penggunaan kata panggilan seperti mas dan mbak sebenarnya memberikan sebuah label orientasi seksual pada seseorang. Contoh lainnya, Gadis mengatakan bahwa, bisa saja misalnya ia dinamakan Gadis namun memiliki gairah untuk mencintai perempuan, bukannya lelaki. Melihat pentingnya sensitivitas dalam penggunaan bahasa maka tema inilah yang menjadi pokok bahasan pertama dalam Modul Panduan Media Meliput LGBT. Lebih lanjut Gadis mengatakan dalam pengantar modul, Agustine menceritakan bahwa di Museum Nasional terdapat bukti bahwa sejak berabad-abad lamanya keragaman gender dan orientasi seksual telah dikenal oleh masyarakat. Adanya patung Ardhanary adalah salah satu contoh bukti tersebut. Lebih jauh lagi, Plato dalam bukunya Simposium juga pernah membahas mengenai cinta di antara orang-orang dengan gender yang sama. Begitu juga Sappho, seorang penyair yang berasal dari Pulau Lesbos, yang menulis 12 ribu puisi tentang percintaan sesama jenis dengan indah. Tetapi kemudian tiba-tiba datanglah sebuah institusi perkawinan yang mengatakan bahwa tidak boleh bila perempuan menikahi perempuan atau lelaki menikahi lelaki. Dibuatlah undang-undang, dimulai dari Barat, yang menyatakan bahwa pernikahan dikatakan resmi bila dilakukan di antara seorang laki-laki dan perempuan. Aturan ini pun ada dalam undang-undang pernikahan Indonesia. Bukan hanya undang-undang, para ilmuwan juga bersikap diam pada keragaman gender dan orientasi seksual. Ketika akhirnya ilmuwan membuka mulut mayoritas dari mereka menentang keragaman tersebut. Setelahnya, media pun ikut-ikutan masuk dalam gembong homophobia. Menjadi sebuah kemunduran ketika masyarakat justru bergeser dari menghargai keragaman ke mendiskriminasi keragaman. Diskriminasi disertai kekerasan budaya, kekerasan institusi, dan kekerasan media melahirkan kekerasan fisik dan mental yang berdampak pada kaum LGBT. Gadis menyatakan bahwa kesadaran akan adanya kekerasan pada kaum LGBT mengawali kerja sama di antara Jurnal Perempuan, Ardhanary Institute, dan Hivos untuk mengadakan training media pada tanggal 30 Mei 2015 mengenai peliputan LGBT. Melalui training tersebut, Gadis mengatakan bahwa begitu banyak pengetahuan baru mengenai term-term orientasi seksual yang dikenalkan. Ia pun menghimbau para aktivis perempuan dan HAM agar tidak menutup mata pada kasus-kasus diskriminasi LGBT. Menurutnya jika para aktivis hanya memperjuangkan nasib perempuan dan HAM tanpa memperjuangkan hak-hak LGBT, maka mereka tidak dapat mengatakan bahwa mereka telah berjuang demi HAM. Sebagai penutup, Gadis Arivia mengatakan bahwa media dan wartawan harus kembali lagi pada hal-hal yang mendasar seperti akuntabilitas, fakta, dan kejujuran bukannya sensasi. Dengan demikian maka seharusnya diskriminasi pada LGBT dapat dihindari. (Johanna Poerba) ![]() Sebuah modul bagi kalangan media dalam meliput LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) diluncurkan pada Sabtu (5/9) di Casakhasa Garden Bistro, Jakarta. Modul yang diterbitkan oleh Jurnal Perempuan (JP) bersama Ardhanary Institute (AI) dan didukung oleh Hivos-Rosea ini merupakan respons atas pemberitaan media mainstream yang cenderung masih terjebak antara “menertawakan” kecirian LGBT atau “mengeksotiskan” dan bahkan kadang menggambarkan LGBT sebagai predator. Peluncuran modul dihadiri oleh sekitar 70 orang dari berbagai kalangan seperti mahasiswa, LSM, media dan profesional. Peluncuran Modul Panduan Media Meliput LGBT diisi dengan diskusi yang menghadirkan sejumlah pembicara yakni Hartoyo dari Suara Kita, Luviana dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ade Armando, Dosen Departemen Komunikasi FISIP Universitas Indonesia, dan Gadis Arivia dari Jurnal Perempuan dengan moderator RR. Sri Agustine dari Ardhanary Institute. Acara dibuka dengan sambutan dari Jurnal Perempuan, Ardhanary Institute dan Hivos-Rosea. Dalam pembukaannya Dewan Redaksi Jurnal Perempuan Nur Iman Subono yang biasa disapa Boni mengatakan LGBT tidak banyak dibicarakan, bahkan media dalam pemberitaannya seringkali justru melecehkan. Menurutnya ada tiga upaya yang dapat dilakukan, pertama advokasi, dengan memengaruhi pengambil kebijakan, kedua edukasi dan ketiga pemberdayaan. Namun selama ini seringkali ketiga upaya tersebut berjalan sendiri-sendiri. Padahal yang dibutuhkan ketiganya harus berjalan seiring. Karena itu kehadiran modul ini diharapkan tidak berhenti sebatas pada penerbitan namun menjadi awal untuk kerjasama dalam bentuk lain. Sementara Sri Agustine dari Ardhanary Institute menjelaskan penerbitan Modul Panduan Media Meliput LGBT berawal dari penelitian AI tentang bagaimana media meliput isu LGBT melalui wawancara terhadap wartawan media elektronik dan cetak. Selain itu dari pengamatan terhadap liputan-liputan media tentang LGBT selama tiga tahun didapat temuan sebanyak 90% isi pemberitaan media penuh dengan stereotip, stigma, label, dll. Pada pemberitaan kasus kriminal murni yang tidak terkait dengan orientasi seksual dan yang dapat dilakukan siapa saja, ketika dilakukan LGBT, maka yang disorot media justru isu SOGIEB (Sexual Orientation, Gender Indentity, Expression and Bodies). Rekomendasi dari responden yang terdiri dari para jurnalis mengungkapkan bahwa mereka kekurangan informasi yang faktual mengenai LGBT, karena itu menurut mereka diperlukan suatu pandauan yang bisa digunakan jurnalis sehingga mereka dapat meliput LGBT secara maksimal. Ketika modul sudah terbit, para jurnalis merekomendasikan untuk mengundang jurnalis dari media mainstream yang bisa dilatih dengan menggunakan modul tersebut. Maka AI dan JP menggelar pelatihan bagi para jurnalis pada bulan Mei 2015. Karena itu menurut Agustine penerbitan Modul ini merupakan hal yang membanggakan. Bahkan menurutnya ketika sampul Modul dipublikasikan di laman medsos AI, banyak pihak seperti kalangan akademisi memberikan respons positif dan tertarik dengan modul tersebut. Tunggal Pawestri, perwakilan Hivos-Rosea mengungkapkan apresiasinya atas kerja keras AI dan JP untuk menerbitkan modul yang sederhana namun diharapkan bermanfaat bagi kalangan media tersebut. Menurutnya modul ini merupakan kontribusi AI, JP dan Hivos bagi teman-teman media yang mungkin sudah memiliki sentivitas namun tidak tahu bagaimana cara memberitakan dengan istilah-istilah yang tepat atau bagaimana memahami isu orientasi seksual dan identitas gender. Lebih lanjut Tunggal mengatakan penerbitan modul ini merupakan langkah awal bagi Hivos, AI dan JP karena diharapkan keberadaan modul ini tidak hanya menjadi buku yang dipajang di perpustakaan milik media, tetapi diharapkan teman-teman media akan menghubungi Ardhanary Institute atau Jurnal Perempuan dan menggali informasi lebih dalam. Tunggal menyatakan homophobia akan terus terjadi jika pemberitaaan media terus-menerus memojokkan teman-teman LGBT. Karena itu ia berharap modul tersebut dapat menjadi rujukan media. Selain itu ia juga berharap agar teman-teman LGBT selalu mengingatkan kalangan pers untuk meliput LGBT dengan lebih baik. Usai sambutan, acara dilanjutkan dengan penampilan lip-sync dari Dekhap. Dekhap adalah singkatan dari nama keempat personilnya. Juru bicara Dekhap, Dizz menjelaskan penampilan mereka bertujuan untuk menunjukkan bahwa gender terutama ekspresi gender adalah sesuatu yang kita tampilkan dengan kekhasan kita sendiri untuk tujuan yang berbeda-beda. Penampilan ini juga sekaligus merupakan kritik terhadap pandangan masyarakat yang cenderung melihat seks, gender dan ekspresi gender sebagai satu paket, seolah-olah jika seseorang berjenis kelamin perempuan maka ia harus feminin, harus mencintai laki-laki dsb, padahal ini membuat kita cenderung menilai seseorang hanya dari penampilannya. Sementara tak ada seseorang yang dapat mengetahui dengan pasti orientasi seksual dan identitas gender orang lain. Acara dilanjutkan dengan diskusi yang dipandu oleh Agustine. Hartoyo dalam paparannya mengungkapkan pengalaman organisasi yang dipimpinnya, Suara Kita, dalam menyuarakan kepentingan LGBT. Ia mengungkapkan Suara Kita memilih website yang dinilai murah dan mudah diakses. Pedoman yang digunakan medianya adalah menuliskan pengalaman teman-teman LGBT, sehingga website Suara Kita dapat dikatakan sebagai media komunitas. Sementara itu Luviana mengungkapkan seiring dengan peningkatan jumlah media terjadi juga peningkatan pemberitaan LGBT. Liputan tentang isu LGBT dianggap menarik oleh media namun seringkali dikaitkan dengan persoalan agama dan moral. Menurutnya ada empat perspektif yang digunakan media dalam meliput LGBT yaitu perspektif agama, perspektif informatif, perspektif pasar (menonjolkan aspek sensasi) dan perspektif kritis. Ade Armando dalam paparannya menegaskan dalam industri media massa, bekerja dengan independensi adalah sebuah mitos. Ada kebijakan redaksi, ada faktor pemilik media, ada aspek initial attitude dan pandangan masyarakat umum yang ikut membentuk pemahaman dan memengaruhi seorang wartawan, sutradara, penulis naskah film/sinetron, penulis lirik lagu, perancang talkshow, dsb dalam bekerja. Sementara Gadis Arivia menjelaskan bahwa bahasa membentuk konstruksi berpikir, karena itu Modul Panduan Media Meliput LGBT memulai paparannya dengan pembahasan istilah kata dan bahasa. Lebih lanjut Gadis mengungkapkan bahwa negara—melalui peraturan/undang-undang yang dibuat—akademisi—yang memilih membisu terhadap LGBT—dan media telah berkongkalikong untuk mengucilkan LGBT dan menjadi gembong homophobia. Setelah keempat pembicara menyampaikan paparan, diskusi dilanjutkan dengan tanya jawab. Usai sesi diskusi, acara dilanjutkan dengan peluncuran modul yang ditandai dengan penyerahan modul kepada perwakilan wartawan yang hadir, yakni dari harian Kompas dan Republika oleh perwakilan Hivos, Tunggal Pawestri. Selanjutnya duet kakak-beradik Rika dan Fani menghibur undangan lewat lantunan lagu yang diiringi dengan permainan gitar. Acara berlanjut dengan pemotongan kue yang menandai ulang tahun Jurnal Perempuan ke-19 pada bulan Agustus lalu. Acara sore itu ditutup dengan makan malam bersama dan ramah tamah. (Anita Dhewy) ![]() Melacak jejak sesosok SK Trimurti secara detail adalah sama sulitnya dengan memecahkan teka-teki peristiwa 1965, kiranya demikian karena sedikitnya (jika bukan hampir tidak ada) yang menuliskan intelektualisme dan aktivisme si perempuan “nekat” ini. Profesor Wieringalah yang justru dengan segala asketisme intelektualnya rela menghabiskan waktu untuk menyelidiki tentang peristiwa 1965 beserta organisasi yang diperjuangkannya. Sebuah ironi, mengingat justru sejarah Indonesia beserta tokoh-tokoh revolusionernya ditulis dengan sepenuh hati oleh orang-orang yang dalam konseputalisasi “nasionalisme” ala nation-state bukan merupakan bagian dari kontinen ini apalagi bukan seorang pribumi. Tan Malaka oleh Harry A. Poeze misalnya, dan Gerwani oleh Saskia Wieringa. Pada Senin (31/8/2015) Yayasan Satunama dan LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) Ekspresi menggelar diskusi di Universitas Negeri Yogyakarta. Acara ini merupakan sebuah upaya bijak dalam menyegarkan kembali ingatan kita yang telah habis-habisan dibasuh oleh warisan “sesat” Orde Baru. Diskusi ini mengambil tema “SK Trimurti dan Jurnalisme Masa Kini” dengan pemantik Dewi Candraningrum (Pemred Jurnal Perempuan), Shinta Maharani (AJI, Jurnalis Tempo), dan Winna Wijayanti (Divisi Kaderisasi LPM Ekspresi). Seperti biasa, yang menarik dari gaya memantik Dewi, yakni ia menyampaikan sebuah informasi pengetahuan melalui narasi visual, verbal maupun literal. Melalui lukisan portraiture SK Trimurti, Dewi membuka narasi tentang sosok perempuan keras kepala di masa Orde Lama tersebut. Selanjutnya Dewi berkisah tentang kehidupan Soerastri Karma Trimurti yang merupakan anak seorang Camat di sebuah wilayah yang konon masih disebut Hindia Belanda, daerah Solo. Lahir pada 11 Mei 1912 dimana kolonialisme masih berlangsung dan gagasan tentang sebuah organisasi mulai berkembang. Terlahir dalam sebuah kondisi keluarga yang lebih beruntung daripada pribumi lainnya tak lantas membuat Trimurti acuh terhadap realitas sesungguhnya dan bertenang diri dalam kenyamanan keluarga. Ia justru mengikuti sekolah kader Partindo dan bergabung disana hingga pada akhirnya terlibat dalam menginisiasi lahirnya Gerwis (yang kemudian berubah nama menjadi Gerwani). Organisasi yang sempat dipimpin SK Trimurti (kelak menjadi organisasi perempuan paling progresif sepanjang sejarah gerakan perempuan Indonesia) tersebut begitu giat mewacanakan hak-hak perempuan khususnya penentangan terhadap poligami yang masih subur kala itu sebagai warisan feodal. Gerwani juga mengorganisir perempuan di desa-desa dengan mensosialisasikan resep masakan, harga-harga pangan dan selangkah lebih maju dari gerakan perempuan lainnya kala itu, Gerwani berani lantang berbicara tentang suffrage. Perlu diingat juga bahwa pertama kali dalam sejarahnya Indonesia yang mengangkat perempuan untuk menduduki pos kabinet adalah Menteri Perburuhan yang diisi oleh SK Trimurti pada masa kabinet Amir Sjarifuddin. Trimurti laksana representasi dari sosok idealitas perempuan yang relevan dengan konteks sosial zamannya. Ia adalah seorang politisi, aktivis, jurnalis dan juga seorang guru. Dimana semua gagasannya tersebut banyak dituangkan secara literal melalui tulisan di kolom-kolom majalah. Bedug yang kemudian diganti namanya menjadi Terompet, sebuah majalah yang ia rintis untuk menyuarakan perlawanan terhadap kolonialisme. Ia juga pernah menjadi Pemred Persatoean Suara Marheni ketika sempat pindah ke Yogyakarta. Sebagai seorang jurnalis yang memperjuangkan hak perempuan, kita dapat melacak satire-satire jenius dan opini-opini berani yang ia serukan lewat Api Kartini ataupun Harian Rakyat, dua media yang layaknya sesosok pasangan suami-istri kala wacana komunisme begitu hangat di perjuangkan. Api Kartini dirawat oleh SK Trimurti langsung sebagai tim redaksinya. Kensekuensi dari aktivitas menulisnya, ia sering keluar masuknya dari penjara, bahkan diceritakan ia melahirkan anak pertamanya di lorong jeruji sel. Itulah mengapa sejak awal menulis ia telah sering menggunakan nama pena seperti Karma di Fikiran Rakjat, dan Mak Ompreng di majalah Api Katini, hal ini untuk berjaga-jaga jika sewaktu-waktu ia ditangkap, keluarganya tidak akan mengetahui. Suatu ketika ia yang akrab dengan Soekarno itu sempat di “jothaki” (didiamkan) karena kritiknya atas poligami Soekarno melalui media-media pengusung gagasan komunis tersebut. Di tahun 1970-an, SK Trimurti melepaskan kerinduannya terhadap dunia jurnalisme melalui penerbitan sebuah majalah yang dinamainya Mawas Diri, di dalamnya memuat tentang aliran-aliran kepercayaan, etika dan moral. Perjuangan literasi oleh SK Trimurti yang melintasi setidaknya tiga zaman (kolonial, orde lama dan orde baru) membuat AJI Indonesia mengagendakan sebuah program penghargaan berjudul “SK Trimurti Award” sebagai wujud apresiasi terhadap perjuangan-perjuangan SK Trimurti sekaligus apresiasi terhadapt perempuan-perempuan masa kini yang masih konsisten dalam aktivismenya mengawal agenda perjuangan perempuan. Shinta peraih penghargaan "SEJUK Award" lalu menuturkan pengalaman-pengalaman jurnalismenya yang kenyang akan fenomena bias gender dalam penulisan media massa terutama dalam judul berita di media daring. Menurutnya hal ini karena berita daring hanya beriorientasi pada “klik” yang akan meningkatkan pathview. “Sebenarnya mudah untuk mengatasi hal ini, apapun judul yang mengindikasikan stigmatisasi terhadap salah satu jenis gender tidak terlalu berarti jika pada konten berita diberi sebuah penguatan dalam kontekstualisasi makna kata”, Dewi menjelaskan. Selain itu, Shinta Maharani juga sempat mengatakan bahwa Tempo akan ada kolom khusus yang akan membahas tentang segala peristiwa 1965 dan tidak menutup kemungkinan untuk membincangkan Gerwani. Dipaparkan oleh Dewi bahwa hari ini Indonesia sedang mengalami jumlah AKI (Angka Kematian Ibu) tertinggi, perkawinan anak tertinggi kedua, peningkatan korban trafficking yang korbannya kebanyakan anak perempuan, dan berbagai persoalan yang terlampau melibatkan banyak perempuan. Ditambah suramnya citra perempuan di hadapan publik melalui highlight berita yang bias, tentunya juga menjadi isu penting dalam agenda perjuangan perempuan secara khusus. “Apa hubungannya warna ungu dan janda, apa hubungannya perempuan cantik dan doyan narkoba?”, Ujar Shinta saat menampilkan contoh-contoh berita dengan judul menstigmatisasi perempuan. Hal ini menurut Dewi karena wacana seksualitas sedemikian seksi dan dapat digunakan untuk mengalihkan isu-isu perpolitikan nasional, misalnya korupsi partai. Maka, membangkitkan arwah sosok-sosok revolusioner seperti SK Trimurti adalah sebuah tawaran yang wajib dipenuhi hari ini. Budaya literasi yang telah dibangun olehnya adalah sebuah alternatif cerdas untuk dipraktekkan dalam agenda perlawanan (atau perjuangan) perempuan. Tentu agar kolom-kolom majalah perempuan tidak lagi dihegemoni resep masakan tanpa tahu kandungan gizinya apalagi harga-harga bahannya, atau oleh katalog mode busana, make up dan perabot rumah tangga tanpa menyertakan informasi sebuah relasi yang melibatkan buruh perempuan dibalik seluruh komoditasnya. Sudah saatnya perempuan merebut ruang-ruang literasi yang dirampas oleh Orba tersebut untuk mewacanakan perekonomian, politik, budaya, agama (dalam sebuah pandangan inklusif), pendidikan dan khazanah ilmu lainnya. Setidaknya iklim di alam demokrasi kita hari ini cukup mendukung untuk mengagendakan perlawanan melalui saluran-saluran teks. “kita telah diberi kebebasan tapi kita justru menyia-nyiakannya”, kurang lebih demikian yang disampaikan Dewi di sela-sela diskusi. Mahasiswa kiranya melalui LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) bisa berkontribusi besar dalam memproduksi gagasan-gagasan revolusioner agar agenda perlawanan kita senantiasa terawat. Karena LPM sangat menunjang untuk menjadi sebuah media alternatif dalam rangka melawan arus media-media mainstream yang kerap menyajikan berita “sampah” dan hanya memperkeruh suasana, selain itu LPM dalam aktivitas jurnalismenya tidak hanya sebagai wadah publikasi teks tanpa ‘keberpihakan’ namun bisa juga menjadi sarana kaderisasi bagi para anggotanya. Seperti yang dilakukan oleh LPM Ekspresi, “LPM Ekspresi secara rutin paling tidak seminggu sekali mengadakan kajian tentang isu-isu gender dalam programnya.” Ujar Winna, selaku divisi kaderisasi Ekspresi. Jelaslah bahwa mewarisi kegigihan aktivisme SK Trimurti di masa kini adalah hal yang bukan mustahil dengan begitu luasnya sarana dan peluang kita. (Dewi Setiyaningsih) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
February 2025
Categories |