Dok. Jurnal Perempuan Agenda Women, Peace, and Security (WPS) yang digerakkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pertama kalinya pada tahun 2000 menjadi topik pembahasan dalam diskusi publik yang diadakan oleh The Habibie Center pada Jumat (25/7/2025). Diskusi publik ini juga berkolaborasi dengan Kedutaan Kanada dan mengangkat tajuk “Strengthening Women’s Role in Peace and Security: Localizing Global Commitments through ASEAN Regional Action Plan and Indonesia’s National Action Plan”. Untuk mematangkan isi diskusi tentang peran perempuan dalam agenda perdamaian dan keamanan, narasumber-narasumber dengan beragam latar belakang mengisi perbincangan kali ini. “Sangat penting,” ungkap Kepala WPS, Kanada Katrina Leclerc, untuk menjelaskan seberapa pentingnya peran perempuan dalam mewujudkan perdamaian dan keamanan. Ia menegaskan bahwa seluruh pengalaman perempuan di seluruh tempat merupakan salah satu elemen penting untuk dipertimbangkan dalam kondisi penciptaan dunia yang damai dan aman. Penihilan pengalaman perempuan, terutama perempuan muda dan anak-anak perempuan, juga adalah bentuk ketidaksetaraan dalam agenda WPS ini. Dalam agenda WPS, Leclerc menyampaikan bahwasannya WPS juga menjadi salah satu kerangka kerja untuk menghentikan doktrin tradisional yang meminggirkan perempuan. Dalam upaya ini, ia dan timnya melihat bagaimana kebermaknaan atas partisipasi perempuan dalam memberikan perlindungan dan memitigasi kekerasan. Oleh karena itu, WPS Kanada dan ASEAN juga saat ini mulai bekerja sama untuk mewujudkan peran perempuan dalam ranah penciptaan perdamaian, termasuk dalam mengintegrasikan keterlibatan perempuan dalam dunia militer. Salah satu narasumber yang diundang untuk memberikan perspektif perempuan dalam dunia militer dalam diskusi ini adalah Kolonel Ratih Puspitasari yang merupakan peacekeeper perempuan pertama. Selama ini ia sudah ikut turun menjalankan misi perdamaian di daerah Suriah, Lebanon, dan Kongo. Dalam menjalankan misinya sebagai perempuan yang mengambil peran dalam wilayah konflik, bukan sekali dua kali ia menemukan tantangan dalam mengimplementasikan agenda WPS. Tantangan perempuan yang bergabung dengan dunia militer membuat usaha mereka harus dua kali lebih banyak dari koleganya yang laki-laki. Di satu sisi, sebagai seorang istri dan ibu, ia menjelaskan bahwa banyak dari personel tentara perempuan yang membatalkan misinya karena tertahan perannya untuk merawat anaknya yang masih kecil. Ratih menyebutkan bahwa biasanya para personel perempuan akan menunggu agar anaknya sudah cukup besar lalu mulai melanjutkan misi. “Tapi, setelah anaknya semakin dewasa, mereka sudah terlalu tua (untuk turun ke wilayah konflik—red),” sebutnya menjelaskan kondisi banyak koleganya. Bukan hanya itu, usaha mereka semakin sulit karena posisi mereka sebagai perempuan dalam militer jauh lebih banyak di tempatkan di dalam kantor. Pencapaian besar bagi perempuan untuk turun ke wilayah konflik, tetapi mereka dijadikan sebagai “pelengkap saja”. Jumlah perempuan yang turun ke wilayah konflik lebih banyak diberikan posisi sebagai tenaga medis dan negosiator. Ia merasa bahwa posisi itu cukup penting, tetapi perempuan juga sama kuatnya untuk turun menjadi peacemaker seperti personel tentara laki-laki lainnya. Ratih menyayangkan kecilnya kesempatan yang dibukakan oleh militer kepada perempuan saat agenda global seharusnya menyertakan perempuan dalam penyebaran perdamaian dan keamanan. “Jika kami (perempuan—red) hanya diberikan kesempatan, kami akan membuktikan bahwa kami bisa,” terangnya. Secara tidak langsung, pembatasan-pembatasan kesempatan terhadap perempuan ini memang menjadi salah satu bentuk represi yang paling sering didapatkan oleh perempuan. Irine Hiraswari Gayatri yang merupakan peneliti senior di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan bahwa kekerasan yang perempuan dapatkan memang juga bisa muncul dari “halaman depan rumahnya” sendiri. Irine mengatakan bahwa dalam kondisi global saat ini, ekstremisme kekerasan memang ada, tetapi itu bukanlah ancaman utamanya. Ancaman pertama sekali yang perempuan dapatkan adalah saat mereka kehilangan harapannya karena adanya ketidaksetaraan yang mengikutinya. Ia juga melanjutkan penjelasannya bahwa pada tahun 2020, laporan yang masuk mengatakan bahwa dalam dunia militer keterlibatan perempuan hanya sebesar 2 persen. Bahkan, perempuan yang memiliki posisi dengan pangkat yang bagus dalam militer bisa dihitung jari. Ratih mengatakan bahwa sejauh ini ia hanya mengetahui bahwa ada dua personel berpangkat bintang 2 dalam bidang psikologi dan personel berpangkat bintang 2 lainnya adalah dosen di Universitas Pertahanan. Untuk personel perempuan berpangkat perak sendiri, sejauh ini belum ada. “We are waiting for them,” ungkapnya tersenyum tipis. Peneliti ini menyayangkan hal tersebut. Ia bertanya-tanya, mengapa keterlibatan perempuan dalam militer hanya 2 persen? “Apakah itu memang hambatan yang sifatnya struktural?” tanyanya. Padahal ia merasa, dengan memberikan peluang lebih banyak kepada perempuan dalam dunia militer akan menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan dan menemukan pentingnya pemberdayaan generasi muda. Dalam sesi diskusi ini, Kolonel Hanurani Tambunan yang hadir sebagai peserta juga menyampaikan bahwa dalam keterlibatan perempuan dalam dunia militer yang perlu diajak juga adalah laki-laki. Ia menyebutkan bahwa diskusi publik yang menjelaskan peran penting perempuan dalam mewujudkan perdamaian harus mengundang para pemimpin-pemimpin laki-laki yang ada di dalam dunia militer. Hanurani mengatakan bahwa sangat penting bagi para pemimpin laki-laki mendengarkan dan melihat sendiri mengapa perempuan harus dilibatkan. “Karena kalau kami (perempuan) yang mengatakannya, mereka (para pemimpin laki-laki—red) tersebut tidak akan mendengarkannya,” tuturnya. Pada sisi yang lain, Irine juga menyayangkan ancaman ketidaksetaraan ini malah berkembang di Indonesia. Perkembangan ancaman ini melahirkan bentuk kekerasan lainnya, ia menyebutkan, di Indonesia masih banyak juga kasus eksploitasi seksual yang dialami oleh banyak perempuan dan anak-anak. Bukan hanya itu, Irine juga menyampaikan bagaimana keterlibatan perempuan dalam kondisi pascakonflik saat mewujudkan agenda WPS. Ia menerangkan bahwa sebelumnya, pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono keterlibatan perempuan dan perlindungan perempuan pascakonflik sudah mulai diakui. Selama itu Irine dan banyak peneliti lainnya mulai mendokumenkan hal-hal yang perlu dilakukan hingga akhirnya dijadikan sebagai sebuah kebijakan yang ditandatangani oleh Joko Widodo sebagai presiden berikutnya.
Namun, persoalan tidak langsung berhenti saat itu sudah diakui dan disahkan. Irine mengatakan masih ada tantangan lainnya. “Tantangannya adalah kita melakukan pemilu, ini masalah klasik, presiden ataupun kabinet memiliki prioritas yang berbeda,” ucapnya. Dengan perbedaan prioritas ini, saat ini kondisi perlindungan terhadap anak ataupun keterlibatan perempuan dalam mewujudkan WPS bisa saja bergeser. Salah satunya dengan banyaknya pemisahan kementerian, yang bagi Irine sendiri masih bertanya-tanya bagaimana cara untuk menyatukan hal-hal yang bersinggungan antara kementerian yang awalnya satu sekarang mulai terpisah. Pun begitu, Ratih yakin bahwa perempuan dalam dunia militer diberikan kesempatan dan pelatihan yang cukup. Kemudian, agenda WPS memang ditanamkan dalam kurikulum, birokrasi, sistem perekrutan, dan pelatihan militer, akan lebih banyak perempuan yang bergabung dengan militer bahkan memiliki posisi yang bagus. Mewujudkan perdamaian dan menyumbangkan kontribusi luar biasa untuk memitigasi kekerasan yang melahirkan keamanan. “Jika WPS ada dalam DNA pelatihan dan konsep operasional kami, militer akan memiliki lebih banyak perempuan yang mengisi posisi strategis,” harapnya. (Ester Veny Novelia) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
October 2025
Categories |

RSS Feed