![]() Tahun 2025 menjadi tonggak penting bagi kawasan Asia Tenggara, ketika Malaysia secara resmi mengambil alih Keketuaan ASEAN. Namun, momentum ini tidak datang dalam suasana dunia yang stabil. Kembalinya Donald Trump ke tampuk kekuasaan di Amerika Serikat memicu kembali gelombang populisme anti-migran dan kebijakan perdagangan proteksionis yang menciptakan eskalasi perang dagang. Kebijakan sepihak Amerika Serikat dalam menentukan tarif bea masuk ekspor menjadi salah satu faktor yang memperumit tatanan global dan memperbesar tantangan bagi ASEAN dalam mengusung agenda inklusif dan berkeadilan. Dalam konteks ini, upaya untuk mendorong perlindungan sosial, pengakuan kerja perawatan, dan pelindungan pekerja migran menjadi semakin krusial. Selama ini, masyarakat sipil Indonesia secara aktif mendesakkan isu-isu tersebut dalam kerangka regionalisme ASEAN. Namun, dengan situasi global yang semakin menantang, diperlukan strategi dan konsolidasi yang lebih kuat.
Menjawab kebutuhan tersebut, maka pada Jumat (25/4/2025) Migrant CARE dengan dukungan AWO International menyelenggarakan Diskusi Rutin CSO Indonesia untuk Advokasi ASEAN, yang juga dirangkaikan dengan acara Halal Bihalal Idul Fitri 1446 H. Kegiatan ini bertujuan menyatukan langkah masyarakat sipil dalam mengawal agenda Keketuaan ASEAN 2025 oleh Malaysia serta memastikan isu-isu sosial kemanusiaan tetap menjadi prioritas dalam visi regional. Diskusi ini dilaksanakan secara hybrid di Sekretariat Migrant CARE dan melalui Zoom dengan menghadirkan tiga pemantik diskusi, yaitu Anwar Sastro Ma’rif (Ketua Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia—KPRI) membahas terkait agenda Pelindungan Sosial Transformatif untuk Kaum Pekerja Rentan dan Marginal di Kawasan ASEAN. Pembicara lainnya adalah Mike Verawati (Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia—KPI) yang mengupas topik Desakkan Agenda Ekonomi/Kerja Perawatan di ASEAN. Daniel Awigra (Direktur Human Right Working Group—HRWG) juga hadir dalam diskusi ini dan membahas tentang Agenda Keketuaan ASEAN oleh Malaysia tahun 2025 dalam Persektif Pelindungan Pekerja Migran. Mike Verawati mengawali diskusi dengan menyoroti isu yang sering kali terabaikan yaitu pentingnya memasukkan kerja perawatan (care work) dalam agenda ekonomi ASEAN. Salah satu penyebab utama kerja perawatan tidak menjadi perhatian adalah karena kerja perawatan ini dianggap sepele dan belum diakui sebagai sebagai kerja formal yang bernilai ekonomi sementara mayoritas pekerja perawatan ini adalah perempuan. “Kerja perawatan masih belum direkognisi atau diakui sebagai penopang kehidupan bahkan kerja perawatan itu dianggap sepele ya. Bahkan sedihnya lagi bukan dianggap kerjaan gitu. Sedihnya lagi, kerja perawatan ini mungkin kalau dihitung itu 90% dikerjakan oleh perempuan dan dianggap sebagai pekerjaan perempuan, bukan bagian laki-laki,” ujarnya. Mike menjelaskan bahwa sebagian besar kerja perawatan dilakukan secara tidak dibayar (unpaid care work) dan hal ini memperparah ketidaksetaraan gender di sektor ekonomi. Ia menuntut agar ASEAN mendorong pengakuan kerja perawatan melalui kebijakan-kebijakan yang konkret, seperti dukungan infrastruktur layanan perawatan publik, pemberian kompensasi layak, serta pengakuan kontribusi ekonomi kerja perawatan dalam penghitungan Produk Domestik Bruto (PDB). Selain itu, Sekjen KPI itu juga menyoroti kinerja pemerintah Indonesia yang tidak optimal dalam mengakomodasi kepentingan pekerja perawatan. Ia mengkritik terkait kinerja pemerintah yang lemah dan suka mengklaim keberhasilan komunitas masyarakat sipil dalam mengakomodasi kepentingan pekerja perawatan. “Ada begitu banyak komunitas masyarakat yang mengayomi pekerja perawatan tapi ini juga tidak boleh diklaim oleh negara sebagai kemajuan negara—tidak. Ini kemajuan yang dilakukan oleh rakyat, bukan negara. Jadi, saya agak pesimis soal ini karena saya nggak suka ketika kerja-kerja ini diperjuangkan oleh rakyat lalu diklaim bahwa, ‘Ini adalah kemajuan Indonesia. Sudah ada kerja perawatan berbasis komunitas’. Tidak. Itu dilakukan oleh masyarakat, dilakukan oleh gerakan perempuan,” jelas Mike. Anwar Sastro Ma’rif memperdalam diskusi dengan menjelaskan terkait perlunya pelindungan sosial yang bersifat transformatif bagi pekerja rentan dan marginal terutama di sektor informal. Pekerja perawatan adalah salah satu sektor yang didominasi oleh kelompok rentan perempuan sehingga dibutuhkan perlindungan dari negara. Ia menjelaskan bahwa salah satu bentuk perlindungan negara adalah dengan memberikan bayaran yang adil bagi para pekerja agar social reproduction (reproduksi sosial) yang diperlukan untuk memelihara kehidupan manusia akan terus ada. Hal ini dapat tercapai apabila negara memberlakukan kebijakan Universal Basic Income bagi setiap warga negara. Ia juga menambah contoh sebuah negara yang berhasil menerapkan konsep Universal Basic Income tersebut. “Kenapa tidak kita rame-rame meminta apa yang disebut dengan Jaminan Pendapatan Dasar Semesta atau Universal Basic Income. Kenapa tidak itu? Ada salah satu contoh negara yaitu Kanada. Mungkin kekayaan alamnya itu kaya kita tapi anehnya di sana dividen atau sisa hasil usaha dari mining dan ekstraktif itu dibagi ke seluruh penduduk,” ujarnya. Menurut Anwar, kelompok pekerja informal seperti pedagang kecil, buruh migran, pekerja rumahan, dan pekerja sektor pertanian kerap terpinggirkan dalam sistem pelindungan formal. Ia menambahkan bahwa dalam konteks ASEAN, terdapat kebutuhan mendesak untuk memperluas cakupan program jaminan sosial lintas negara dan memperkuat kolaborasi antarnegara dalam membangun sistem pelindungan sosial yang inklusif dan transformatif. “Dalam konteks perlindungan sosial cakupannya itu cukup luas sebenarnya tapi untuk Kawasan ASEAN sendiri bisa dikatakan bahwa mayoritas yang tidak ter-covered oleh perlindungan sosial itu adalah pekerja informal. Kita belum memahami apa itu perlindungan sosial yang transformatif sehingga perlu adanya kolaborasi agar mampu mengatasi kesenjangan regulasi dan implementasi antarnegara anggota ASEAN,” jelasnya. Pada akhir presentasi, Anwar Sastro Ma’rif juga menekankan akan pentingnya pengawasan masyarakat terhadap seluruh kebijakan negara terutama yang berkaitan dengan perlindungan sosial. Anwar juga menyarankan agar terbentuknya suatu forum advokasi transformatif yang mengakomodasi pekerja rentan di ASEAN sampai pada level akar rumput. “Penting bagi kita untuk melakukan people control. Gerakan kontrol rakyat dari semua kebijakan baik itu soal air, soal listrik. Selain itu juga sangat memungkinkan kita untuk membuat forum pekerja rentan di ASEAN supaya advokasi bisa lebih fokus sampai pada level grass root terkait isu regionalism,” jelas Anwar. Daniel Awigra selaku Direktur HRWG sebagai pembicara terakhir dalam diskusi itu menekankan pentingnya Malaysia menunjukkan kepemimpinan dengan memperbaiki regulasi domestik terkait pekerja migran, termasuk penghormatan terhadap hak-hak dasar, perbaikan kondisi kerja, akses keadilan tanpa diskriminasi, serta sistem pengaduan yang efektif. Ia juga menggarisbawahi perlunya ASEAN memperkuat mekanisme monitoring dan akuntabilitas untuk implementasi ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers. “Malaysia itu dibangun dari sepertiga rakyatnya yang adalah migran itu. Di Kuala Lumpur misalnya,, di kota-kota besar itu, migran menyumbang banyak sekali terhadap pertumbuhan ekonomi. Tetapi memang pendekatan yang dilakukan adalah mereka melihat migran ini adalah komoditi. Isu sosial dipandang sebagai beban sementara isu keamaman dan ekonomi diambil. Isu kesejahteraan sosial mau dieliminasi. Mereka dilihat sebagai ancaman keamanan dalam negeri,” tegas Daniel. Direktur HRWG itu juga menambahkan bahwa Malaysia harus lebih progresif dalam upaya memperjuangkan Hak Asasi Manusia (HAM) agar Kawasan ASEAN menjadi kawasan yang inklusif dengan mempromosikan perdamaian demi mencapai Visi ASEAN 2045. “Dalam konteks HAM di Kawasan, ada tiga target yang ingin dicapai Malaysia yaitu tanggung jawab bisnis dalam HAM, lingkungan, dan menyelesaikan persoalan konflik akibat ulah tangan manusia yang merujuk pada kudeta yang terjadi di Myanmar,” jelas Anwar. Diskusi ini diakhiri dengan sesi tanya jawab dan kesimpulan bersama agar negara-negara anggota ASEAN mempercepat reformasi sosial yang berkelanjutan, memastikan bahwa tidak ada pekerja, terutama yang rentan dan marginal, yang tertinggal dalam proses pembangunan kawasan. Kolaborasi antar aktor negara, organisasi masyarakat sipil, dan dunia usaha menjadi kunci mewujudkan ASEAN yang lebih inklusif dan berkeadilan sosial di masa depan. (Elisabet Ardiningsih Wiko) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
May 2025
Categories |