Abby Gina Redaksi Jurnal Perempuan abbygina@jurnalperempuan.com Menurut Ibu apakah kerentanan PRT dan PRT Migran berhubungan langsung dengan persoalan gender? Di mana belum ada kesetaraan gender maka hak-hak perempuan pasti sulit untuk didapatkan dan harus terus diperjuangkan. Menurut saya hubungannya sangat erat karena sebagian besar PRT dan buruh migran adalah perempuan, yang sering mengalami tindak kekerasan baik fisik, psikis maupun seksual. Di masyarakat PRT sebagai salah satu kerja perawatan masih sering dipandang sebelah mata, bukan profesi yang menguntungkan, padahal profesi PRT dan khususnya PRT migran memberikan devisa bagi negara. Anita Dhewy Jurnal Perempuan anitadhewy@jurnalperempuan.com Gunretno adalah petani sekaligus koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) yang bersama komunitasnya Sedulur Sikep, gigih mempertahankan tanahnya dan menolak pendirian pabrik semen PT Semen Gresik di Sukolilo, Pati pada 2006. Perjuangan Gunretno dan Sedulur Sikep membuahkan hasil dengan dimenangkannya gugatan mereka di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Mahkamah Agung pada 2009. Kemenangan ini diikuti dengan ditetapkannya kawasan karst pegunungan Kendeng di Sukolilo sebagai kawasan lindung oleh pemerintah. “Sebetulnya saya dilematis. Satu sisi saya harus dibebani tanggung jawab memberi nafkah. Kalau saya tidak memberi nafkah, saya salah. Perempuannya (pasangan-red) sebetulnya bisa memberi nafkah, tapi ini juga menjadi beban buat saya. Tradisi mengatakan kewajiban memberi nafkah adalah laki-laki, mengapa tidak sama-sama saja.” (KH. Husein Muhammad) Waktu itu saya bertanya, “Apakah Anda tidak risau bahwa Anda dicari-cari oleh polisi dan sejumlah aparat dari berbagai negara?” Khun Sa waktu itu menjawab, “Saya bukan bandit, saya bukan teroris, tetapi saya juru selamat ratusan petani di daerah ini,” ujarnya. (Yuli Ismartono, 2003) Kutipan di atas adalah salah satu isi percakapan antara Yuli Ismartono dan Khun Sa seorang “Raja Opium” yang sangat disegani di wilayah Segitiga Emas (golden triangle), yaitu terletak di antara negara Burma, Laos dan Thailand. Bertemu dengan Raja Opium adalah pengalaman jurnalistiknya yang paling dikenang sekaligus sebuah prestasi tersendiri. Lahir dari sebuah tragedi kemanusiaan yang terjadi pada Mei 1998, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melangkah menuju upaya-upaya pencegahan dan penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan. Fokus perhatian Komnas Perempuan pada saat ini adalah perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga, perempuan pekerja rumah tangga yang bekerja di dalam negeri maupun di luar negeri sebagai buruh migran, perempuan korban kekerasan seksual yang menjalankan proses peradilan, perempuan yang hidup di daerah konflik bersenjata, dan perempuan kepala keluarga yang hidup di tengah kemiskinan di daerah pedesaan. “Saya setuju dengan sebutan bahwa negeri kita ini adalah negeri yang maskulin. Saya dapat melihat dan merasakan maskulinitas itu dari ‘teks-teks’ sosial kita yang sarat dengan pelecehan seksual terhadap perempuan. Dan, saya kira semua itu akibat hegemoni patriarki yang telah tumbuh cukup lama dalam negeri ini. Untuk itu, saya sangat tertantang untuk menulis cerpen sebagai saksi atas ketidakadilan.” (Ratna Indraswari Ibrahim)1 Bila Ratna Indraswari Ibrahim tidak menulis, itu bisa berarti dua kemungkinan, yakni tidak ada lagi pelanggaran kemanusiaan atau kehidupan ini memang telah usai. Sejauh ini, memang tidak pernah terbayang oleh Ratna jika ia harus berhenti menulis. Baginya, menulis cerpen bisa mengungkapkan sekaligus menggambarkan suatu realitas sosial yang terjadi di masyarakat. “Cerpen adalah bagian dari sebuah karya sastra. Sebuah karya sastra merupakan refleksi kejujuran atas realitas sosial di mana karya sastra itu tumbuh,” kata Ratna. Alasan itulah yang menjadikan Ratna merasa dapat membantu dan berbagi kepada sesama manusia lewat cerpen-cerpennya. Kemanusiaanlah yang menjadikan Ratna tetap menulis. Ratna adalah perempuan biasa yang luar biasa. Mengenal Ratna mengingatkan kita pada si Genius Stephen Hawking yang memberi pemahaman bahwa keterbatasan fisik bukanlah instrumen utama bagi berkurangnya kegeniusan seseorang. Ratna secara fisik tidak mungkin mengerjakan pekerjaannya seperti manusia normal. Ratna adalah orang cacat secara fisik, tetapi genius secara ide. Ratna adalah Stephen Hawking dalam dunia sastra dan perjuangan perempuan di komunitasnya. Hampir sebagian besar anggota tubuhnya, terutama tangan dan kakinya, tidak bisa difungsikan, menyuap makanan pun tidak mungkin ia kerjakan sendiri. Di atas kursi rodanya, Ratna kerap kali kecewa kepada masyarakat yang memperlakukan orang cacat dan perempuan dalam posisi yang tidak penting, terbelakang, dan bodoh. Tekad untuk mengubah pandangan masyarakat yang keliru inilah yang menjadikan Ratna selalu hidup dalam kehidupan yang tidak berperilaku adil. Ia sangat mengagumi ibu Nabi Musa A.S., karena kecerdasannya, perempuan itu menemukan jalan untuk menyelamatkan Musa kecil dari kekejaman Firaun yang siap membunuh setiap bayi laki-laki yang terlahir. Ratna bercita-cita agar perempuan di negerinya dapat berpikir seperti itu, berpikir alternatif, cerdas, dan mandiri dari kekuatan laki-laki yang mendominasi dan memperlakukan perempuan secara tidak adil. Itulah Ratna, ia hidup dalam cerpen-cerpennya yang kelak akan dikenal sebagai sosok yang memberi pemahaman kepada dunia bahwa nilai dan kedudukan manusia bukan dilihat dari fisik, melainkan dari tindakan, pikiran, dan sumbangsih seseorang dalam kehidupan bersama. Ratna dan Sisi Kehidupannya Dalam dunia sastra, nama Ratna Indraswari Ibrahim cukup dikenal sebagai penulis cerpen. Cerpen-cerpennya kerap dimuat di sejumlah media cetak, baik lokal maupun nasional. Selain dikenal sebagai penulis cerpen, Ratna juga dikenal sebagai sosok yang memperjuangkan hak para difabel untuk memperoleh perlakuan yang sama sebagai warga negara. Kondisi fisiknya memang tidak normal karena sebagian besar anggota tubuhnya tidak berfungsi. Ia terserang penyakit polio pada usia 12 tahun dan sejak itu ia harus mengisi hari-harinya di atas kursi roda. Meskipun harus menghabiskan kehidupannya di atas kursi roda, Ratna merasa tidak mempunyai persoalan menyangkut kondisinya yang difabel. Persoalan ini baginya sudah lewat. Ia juga tidak mengalami diskriminasi dalam keluarganya. Orang tua dan saudara-saudara tidak pernah memperlakukannya secara istimewa. Inilah yang menjadikan Ratna merasa selesai dengan kondisinya. Di atas kursi roda, Ratna semakin menemukan dirinya. Kehidupannya telah memberikan pengalaman dan pelajaran yang cukup berharga bagi dirinya menyangkut keberadaan difabel lainnya. Di atas kursi roda, ia dapat merasakan bagaimana perlakuan masyarakat masih belum sepenuhnya menerima orang-orang difabel. Keinginan Ratna hanya satu, yaitu perlakuan yang sama dari masyarakat kepada mereka yang difabel. Dengan sepenuh hati, Ratna kerap memaksa masyarakat yang menganggap difabel sebagai objek yang perlu dikasihani untuk mengubah pandangan bahwa difabel adalah subjek yang juga mempunyai peran penting. Ratna telah menunjukkan perannya, yaitu menumbuhkan motivasi kepada rekan-rekannya sesama difabel dan masyarakat umum bahwa mereka ini adalah manusia biasa yang juga warga negara. Kepedulian ini diwujudkan Ratna dengan mendirikan organisasi penyandang cacat di Kota Malang, yaitu Bakti Nurani yang pada tahun 1977—2000 dinakhodai oleh Ratna. Melalui Bakti Nurani, Ratna membangun jaringan keluar dengan berba- gai organisasi untuk membangun kekuatan. Tidak saja dengan sesama organisasi penyandang cacat, tetapi juga organisasi sosial lainnya. Baginya, membangun jaringan dapat menggalang kekuatan yang mempercepat proses perubahan masyarakat. Kekuatan jaringan yang dibangun Ratna tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri hingga pada tahun 1993, ia diundang untuk hadir dalam seminar Hak Asasi Manusia di Sidney, Australia sebagai delegasi dari Indonesia. Ratna Indraswari Ibrahim lahir dari keluarga besar. Ia adalah anak keenam dari sebelas bersaudara, lima laki-laki dan enam perempuan. Ratna dilahirkan di Kota Malang, Jawa Timur pada 24 April 1949. Darah keluarganya mengalirkan minat menulis yang tinggi dalam diri Ratna. Ia sendiri mengakui bahwa kelahirannya dalam keluarga Saleh Ibrahim (ayahnya) membawanya pada perasaan seperti anak ikan yang bertemu dengan air. Ayahnya, Saleh Ibrahim yang berdarah Padang adalah seorang penulis dan aktivis. Beberapa karya tulisnya menghiasi sejumlah media massa pada saat itu. Sayang, Saleh Ibrahim tak bisa menemani Ratna hingga melihat putrinya ini menunjukkan kemampuan menulisnya. Pada tahun 1967, ayah Ratna meninggal akibat kanker. Umur Ratna saat itu baru 18 tahun. Ratna sangat mengagumi ayahnya. Lelaki ini mengajarkan anak-anaknya untuk membeli dan membaca buku. Karena itulah, koleksi buku Ratna banyak sekali, mencapai 1.000 judul. Semenjak ayahnya meninggal, Ratna menapaki kehidupan bersama ibunya, Siti Bidahsari Arifin, orang Padang berdarah campuran. Tidak jauh berbeda dengan ayahnya, ibunda Ratna juga yang suka menulis dan melukis. Ibunyalah yang memperkenalkan Ratna pada kemandirian dalam hal menulis. Suatu kali, ibunya pernah mengatakan, “Perempuan itu jangan ngobrol saja, perempuan itu harus menulis, menulis apa saja. karena dengan menulis, ia dapat menemukan dirinya,” ujar Ratna mengutip kata-kata sang Ibu. Tampaknya, ucapan tersebut dipegang teguh oleh Ratna, bahkan hingga kini. Pada tahun 1975, cerpen pertama Ratna berjudul “Jam” dimuat dalam sebuah majalah remaja MIDI. Sejak saat itu, Ratna semakin memantapkan hati, jiwa, dan pikirannya untuk menulis. Dalam kesehariannya, aktivitas Ratna cukup sederhana, yakni membaca, menulis, berdiskusi, dan berorganisasi. Beberapa waktu memang Ratna harus keluar rumah untuk mendatangi sejumlah seminar, baik tentang politik, sosial, maupun budaya. Ratna aktif menghadiri seminar-seminar, baik sebagai peserta maupun pembicara. Bagi Ratna, tidak ada kerugian apa pun untuk mendatangi seminar, malah menambah wawasan. Tidak jarang pula Ratna bergabung bersama teman-temannya untuk turun ke jalan memprotes sejumlah kebijakan pemerintah daerah yang menyangkut isu kebudayaan, perempuan, lingkungan, dan aksesibilitas bagi difabel. Ia juga kerap hadir untuk memberi dukungan pada sejumlah aksi mahasiswa, seperti aksi mogok makan yang dilakukan mahasiswa untuk memprotes kebijakan pemerintah daerah. Ratna memang tidak bisa bergabung terus-menerus, tetapi kehadirannya mampu menambah dukungan moral. Solidaritasnya yang tinggi membuat Ratna dikenal hampir di semua kalangan. Hal ini tampaknya berpengaruh bagi kehidupan Ratna. Hidupnya tak pernah sepi. Dalam keseharian, ia terus menciptakan arus bagi setiap aktivis LSM, mahasiswa, budayawan, wartawan, para difabel, birokrat, pendidik, dan elemen masyarakat lainnya. Rumahnya di Jalan Diponegoro 3, Malang tak pernah sepi dari kehadiran seorang teman, masyarakat biasa, hingga sejumlah tokoh besar, seperti budayawan dan politisi. Ratna tidak pernah membeda-bedakan siapa saja yang datang ke rumahnya. Kehadiran rekan-rekannya merupakan spirit baru bagi Ratna untuk semakin memahami kehidupan. Mereka banyak membantu, menjadikan Ratna kuat dan percaya diri. Di rumahnya, di atas kursi roda, ia mendengar banyak cerita dan keluhan tentang ketidakadilan sosial. Cerita-cerita inilah yang kerap kali menjadi ide bagi setiap cerpen-cerpennya yang hampir selalu berangkat dari kenyataan sosial. Dengan sabar Ratna mendengarkan cerita yang kadang kala cukup menyesakkan dadanya. Setiap cerita kehidupan itu selalu melahirkan korban. Ratna sendiri menyebut teman-temannya sebagai “kunang-kunang”, penerangan bagi dirinya. Ratna senantiasa mengikat komitmen dengan setiap temannya dan menjaga komitmen itu. Inilah yang membuat setiap orang memiliki komitmennya sendiri dengan Ratna. Ratna mempunyai kegemaran membaca sejak kecil. Sewaktu SMA ia telah membaca sejumlah buku “berat” untuk dibaca anak seusianya, seperti buku karangan Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi dan bacaan-bacaan Marxis. Kebiasaan membacanya ini mengajarkan Ratnapada banyak haltentang kehidupan. Kebiasaan membaca inilah yang menjadi teman hidupnya sehari-hari. Koleksi buku Ratna banyak, hampir setiap ada buku baru ia beli. Teman- temannya selalu menginformasikan adanya buku baru atau buku bagus. Ia lalu menitip temannya untuk membelikan karena ia sadar, mobilitasnya terbatas. Ditambah pula, sejak ibunya meninggal, praktis Ratna menjalani hidupnya seorang diri. Ia hanya ditemani tiga temannya yang siap membantu Ratna menjalani aktivitas sehari-hari, mulai dari makan, mandi, ke toko buku, menghadiri seminar, sampai mengetikkan makalah atau naskah cerpennya. Ratna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan honor menulis cerpen, juga pembayaran sewa kamar-kamar di rumahnya yang diindekoskan. Meskipun saudara-saudaranya sedia membantu, namun bukanlah Ratna bila tidak bisa mandiri. Ia harus belajar bertanggung jawab atas dirinya sendiri, untungnya keluarga Ratna bisa memahami hal itu. Dengan penghasilan terbatas, ia menyuguhkan secangkir kopi dan sepiring makanan kecil untuk teman-temannya yang datang ke rumahnya yang selalu terbuka. “Silakan mau makan, berdiskusi, menginap, atau apa saja selama saya bisa membantu, saya akan bantu, asalkan mau dengan kesederhanaan,” kata Ratna yang pernah menjadi mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi di Universitas Brawijaya ini namun mengundurkan diri. Dalam menulis cerpen, ia tidak selalu meminta bantuan temannya untuk mengetikkan. Terkadang Ratna juga menuliskan naskah cerpennya sendiri, ia hanya minta disiapkan komputer di depan kursi rodanya. Dengan sepasang sumpit sebagai “tangannya”, Ratna menekan tombol huruf pada keyboard komputer secara perlahan dan penuh kesabaran. Cukup lama waktu yang dibutuhkan Ratna untuk mengetik satu kata menjadi kalimat lalu paragraf, apalagi sebuah cerpen. Setiap tombol yang ditekan membutuhkan waktu kurang lebih setengah menit, maka ia membutuhkan waktu berjam-jam untuk sebuah cerpen. Apakah ini menjadi hambatan? Tidak, justru di situlah pergulatan batinnya terjadi hingga mampu memberikan jiwa pada setiap karyanya. Dengan kesabaran, ketekunan, dan komitmen, Ratna tidak saja produktif menghasilkan cerpen, tetapi juga menghasilkan cerpen yang tajam. Selain menjadi cerpenis lepas, Ratna juga menjadi aktivis sosial dengan menjadi salah satu pendiri Yayasan Entropic, sebuah yayasan yang peduli pada isu lingkungan hidup. Bagi Ratna, alam memberikan kehidupan bagi manusia. Sungguh suatu kebiadaban bila alam harus dirusak oleh kelompok-kelompok yang mementingkan dirinya sendiri. Dari alam pun Ratna mengahasilkan sejumlah cerpen yang membela kelestarian lingkungan hidup. Pada tahun 1998, Ratna mendirikan Yayasan Pajoeng dan menjadi koordinator litbang di sana. Yayasan Pajoeng adalahsebuahyayasanyang bergerak dalam bidang pengembangan kebudayaan di Kota Malang. Kebudayaan, menurut Ratna, adalah sumber peradaban. Sebuah bangsa menjadi kurang beradab ketika kehilangan akar kebudayaannya karena setiap kehidupan merupakan refleksi kebudayaanya. Ratna juga menjadi pionir bagi perkumpulan aktivis dari berbagai elemen di Kota Malang yang tergabung dalam Forum Pelangi. Komunitas diskusi ini aktif melakukan kajian dan tukar informasi antarelemen masyarakat di Kota Malang. Ratna dan teman-temannya di Malang juga membidani lahirnya Jurnal Naraswari yang memfokuskan isinya pada isu perempuan dan kesetaraan gender. Media ini diharapkan dapat membantu masyarakat untuk memahami sejumlahketidakadilan gender yang terjadi di sekitarnya. Kepedulian Ratna terhadap persoalan perempuan bukanlah hal baru. Pada tahun 1995, Ratna pernah menjadi delegasi Indonesia pada Kongres Perempuan Internasional di Beijing, China. Pada tahun 1997, Ratna juga menghadiri Kongres Perempuan Sedunia di Washington DC, USA. Pada tahun 1993, pemerintah Indonesia memberinya penghargaan sebagai Perempuan Berprestasi. Dalam soal belajar, ia tidak akan pernah berhenti, “Belajar itu tidak pandang usia dan kapan pun,” demikian tuturnya. Itulah kebanggaan Ratna ketika mengikuti pelatihan kepemimpinan MIUSA (Mobility International United States) di Eugene, Orengon, USA pada tahun 1997. Mengabarkan Kenyataan Lewat Cerpen Ratna sendiri sudah lupa sudah berapa banyak cerpen yang dilahirkannya. Yang jelas, Namanya Massa (Yogyakarta: Penerbit LKis, 2000) adalah judul buku kedua kumpulan cerpennya. Kehadiran buku tersebut menjadi tonggak ketekunannya selama 25 tahun menggeluti dunia sastra. Sebelumnya, Ratna juga pernah melahirkan kumpulan cerpen berjudul Menjelang Pagi (1995) dan yang terbaru adalah buku kumpulan cerpennya yang ketiga berjudul Lakon di Kota Kecil (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002). Ketiga buku tersebut hanya berisi reproduksi ulang cerpen-cerpen Ratna yang pernah dimuat di media massa, namun itu bukan berarti sebuah ide dan intelektualitas hanya terukur dari kuantitas karya. Ratna adalah orang yang sangat menghormati proses. Memahami proses adalah memahami persoalan secara lebih substansi dan mendalam. Ia lebih senang orang mengenalnya secara proses, bukan sebagai Ratna yang sekarang ini. Konsistensinya pada proses telah melahirkan cerpen-cerpen yang cerdas. Kompas sebagai koran nasional hampir tak pernah meluputkan nama Ratna dalam setiap penerbitan buku kumpulan cerpen pilihan Kompas. Salah satu karya Ratna adalah “Bunga Kopi” yang terdapat dalam kumpulan Cerpen Pilihan Kompas Tahun 2007. Cerpen-cerpen Ratna senantiasa mengabarkan kepada kita bahwa ada penindasan dan ketidakadilan yang terjadi di sekitar kita. Cerpen adalah media yang dipilihnya untuk mengungkapkan perasaannya dalam melukiskan sebuah kisah. Cerita dalam cerpen-cerpen Ratna berangkat dari kenyataan sosial yang didapatnya dari teman-temannya. Melalui cerpen, setiap pembaca diajak untuk memahami realitas sosial tersebut untuk pada akhirnya turut merasakan, apakah dirinya menjadi penindas atau yang tertindas. “Itulah tugas cerpen, mengabarkan sebuah kenyataan dan membangunkan mimpi kita dalam sebuah kisah,” kata Ratna yang menemukan jati dirinya dalam pekerjaan menulis cerpen. Ada banyak pilihan untuk mensosialisasikan gagasan dan pengalaman, Ratna memilih menulis untuk mengekspresikan semua itu. Dengan menulis ia merasa semua orang dapat membaca, kapan pun dan dimana pun. Meskipun minat baca di Indonesia masih rendah, Ratna percaya bahwa dari hal yang kecil itulah akan tercipta sesuatu yang besar. Bila kita tengok cerpen Ratna yang berjudul “Rambutnya Juminten” yang dimuat Kompas, 18 Juli 1993, kita akan dapatkan bagaimana Ratna mengabarkan suatu realitas masyarakat yang sangat mengagungkan suami sebagai kepala rumah tangga. Juminten adalah seorang istri yang dikategorikan “setia” dan ideal dalam ukuran masyarakat yang menganut paternalisme tinggi. Sebagai seorang Istri, Juminten mau melakukan apa saja demi sang Suami, termasuk memanjangkan rambutnya, meskipun dalam hatinya sangat bertolak belakang. Cerpen itu cukup kuat memaksa kita untuk tersadar bahwa perilaku paternalistis menjadikan perempuan tak berdaya. Cerpen tersebut terpilih dalam Cerpen Pilihan Kompas Tahun 1995 dan menjadi nominasi Cerita Pendek Perempuan di tingkat ASEAN pada tahun 1996. Selain “Rambutnya Juminten”, beberapa cerpen Ratna juga mempunyai prestasi terbaik, seperti “Jerat” yang masuk dalam Cerpen Pilihan Kompas Tahun 1993; “Bajunya Bu Boni” menjadi pemenang ketiga Sayembara Cerpen Majalah Wanita Femina tahun 1996; “Perempuan itu Cantik“ termasuk dalam Cerpen Pilihan Kompas Tahun 1996 dan masuk seleksi Yayasan Lontar, Jakarta; dan “Seruni” yang menjadi salah satu pemenang Sayembara Cerber Majalah Wanita Femina tahun 1998. Cerita terakhir ini mengisahkan pemberontakan seorang mahasiswa kedokteran dalam melawan tradisi. Selanjutnya, pada tahun 2000, cerpennya kembali terpilih menjadi cerpen pilihan Kompas. Sejumlah cerpen Ratna memang tidak sekadar cerpen. Ia mewakili sepotong kenyataan sosial yang terjadi. Memahami cerpen Ratna tidak bisa hanya dengan dibaca, tetapi juga harus dirasakan karena di situlah letak kekuatan cerpennya. Ia dapat menjelaskan realitas yang selama ini dipandang keliru oleh banyak orang berkaitan dengan perspektif kemanusiaan. Cerpen Ratna mengajak kita untuk bisa memahami setiap persoalan tidak dari satu perspektif, tetapi dari banyak sisi. Perspektif yang beragam dapat membantu kita untuk memahami setiap persoalan tersebut, seperti yang dikatakan Ratna, “Bahwa kebenaran seseorang itu tidak bisa dipandang dari satu sisi. Kebenaran itu hendaknya dilihat dari sisi dan perspektif yang lebih luas. Melalui share pendapat dan berbagi pengalaman, saya kira setiap persoalan yang muncul dapat lebih jelas tingkat kebenarannya.” Memihak Perempuan Lewat Cerpen
Dalam cerpen tersebut Juminten menuruti saja apa kata suaminya yang menginginkan rambutnya agar tetap dipanjangkan. Mau tidak mau, suka tidak suka, Juminten harus memanjangkan rambutnya. Sementara itu, di sisi lain, tren mode rambut pendek tampaknya menjadi pilihan hampir setiap perempuan. Juminten tidak saja mewakili perasaan Ratna, tetapi Juminten juga mewakili perasaan sebagaian besar perempuan yang hidup dalam hegemoni patriarki. Perempuan tidak pernah menjadi dirinya sendiri. Ia hadir untuk memenuhi selera para laki-laki. Teralienasinya perempuan oleh kekuasaan laki-laki inilah yang menurut Ratna setidaknya harus menjadi perhatian setiap insan. Sama halnya dengan komentar Budi Dharma (Guru Besar Sastra Inggris di IKIP, Surabaya), bahwa Juminten merupakan korban konstruksi sosial masyarakat. “Sebagai anggota masyarakat, ia semata komponen. Ia dibentuk oleh kehendak-kehendak dari luar, bukan dari dirinya sendiri,” kata Budi Dharma. Ratna memang bertekad untuk membongkar realitas patriarki ini melalui cerpen-cerpennya. Ratna menginginkan tumbuhnya kesadaran kolektif untuk bersama-sama menggugah kesadaran perempuan yang teralienasi oleh hegemoni patriarki. Ratna sangat perhatian terhadap persoalan perempuan yang telah menikah. Menurutnya, sudah banyak contoh yang menggambarkan bagaimana perempuan yang menikah selalu menjadi objek kekerasan oleh suaminya, entah itu secara fisik, psikologis, maupun secara ekonomi. Ratna berpandangan bahwa sebagai istri, perempuan yang menikah, harus berani menunjukkan hak-haknya sebagai warga negara yang sama dalam perlakuan di mata hukum. Hal ini tampak dalam komentar Ratna yang cukup keras ketika menyikapi persoalan kekerasan dalam rumah tangga, “Istri harus berani melapor ke polisi bila ia dipukul oleh suami,” tegasnya. Pernyataan ini sangat jelas memberi pemahaman bahwa suami dalam instrumen perkawinan, tidak punya hak untuk melakukan kekerasan terhadap istri atas dalih apa pun. Untuk itu, istri wajib melaporkan kepada polisi bila ia mengalami kekerasan sekecil apa pun. Sebagai cerpenis, Ratna hanya bisa mengkisahkan kegelisahannya tersebut dalam sebuah cerpen. Ia pun sering kecewa terhadap tayangan-tayangan televisi yang hampir sebagian besar mengeksploitasi perempuan. Ratna khawatir bahwa citra perempuan yang terbangun melalui televisi yang suka menangis, sebagai pekerja rumah tangga, tidak mempunyai daya kreativitas berpikir, bercitra sensual, ditangkap secara mentah-mentah oleh masyarakat. Tayangan televisi ataupun media cetak adalah agen yang efektif untuk mempengaruhi masyarakat. Bila tayangan televisi sendiri telah mengalami bias gender, maka jangan disalahkan bila masyarakat akan mencontoh perilaku seperti yang tertangkap di televisi atau media cetak selama ini. Dalam konteks tersebut, cerpen-cerpen Ratna sebenarnya tidak saja melawan hegemoni-hegemoni patriarki, tetapi juga melawan hegemoni kapitalistis yang selalu menampakkan manusia secara fisik. Dalam konteks itu pula, Ratna mau melakukan apa saja agar cerpen-cerpennya bisa dibaca. Ia memang tidak menginginkan dirinya menjadi terkenal, tetapi ia hanya ingin memberi pelajaran bahwa realitas yang terjadi tidaklah sama dengan tampilan di media massa yang sangat eksploitatatif. Mensosialisasikan cerpennya melalui sekolah-sekolah adalah upayanya untuk memberikan pemahaman dini terhadap siswa tentang persoalan ketidakadilan gender. Upaya ini ia lakukan agar siswa lebih terbiasa untuk memahami realitas yang sesungguhnya. Penutup Ratna Indraswari Ibrahim memang tidak terbiasa untuk diam tidak menulis. Menulis sudah menjadi bagian hidupnya. Namun, kebiasaanya untuk menulis telah menimbulkan kekhawatiran tersendiri. Bila Ratna menulis, berarti ada ketidakadilan yang merajalela, ada penindasan yang kejam, ada korban yang jatuh, dan ada cinta yang tercabik. Bila Ratna menulis, berarti ada perempuan yang diperkosa, ada tanah yang digusur, ada aktivis mahasiswa yang dipukul, dan ada manusia yang terbantai. Ratna memang sosok penulis cerpen yang tidak bisa dilepaskan dari realitas sosial yang ia tuliskan. Cerpen Ratna adalah saksi yang berbicara pada nilai-nilai kemanusiaan. Semestinya kita dapat belajar dari Ratna bahwa kesempurnaan seseorang itu tidak akan diperoleh tanpa kita berupaya untuk menyempurnakan diri kita sendiri. Tidak ada satu pun yang bisa mengubah diri kita, kecuali diri kita sendiri. Itulah yang telah dilakukan oleh Ratna untuk mencari kesempurnaan dirinya. Ratna adalah saksi di mana keterbatasan fisik bukanlah hambatan seseorang untuk berbuat untuk sesamanya. Ratna telah membuktikan, meskipun ia tidak bisa menggunakan kemampuan fisik anggota tubuhnya, tetapi ia mampu memberi pencerahan melalui pikiran-pikirannya. Ratna dapat dijadikan saksi bahwa kekuatan pikiran lebih berbahaya ketimbang kekuatan fisik. Kekuatan fisik hanya tumbuh di dalam jasmani, tetapi kekuatan pikiran tumbuh di dalam jiwa. (Eko Bambang Subiyantoro) Catatan Belakang: Tulisan ini dibuat pada tahun 2002 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 23, 2002 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat yang concern dengan isu pendidikan perempuan adalah Kapal Perempuan (Lingkar Pendidikan Alternatif untuk Perempuan). Metode yang dilakukan adalah memperjuangkan kesetaraan gender dan hak-hak perempuan dalam masyarakat melalui pendidikan alternatif. Yanti Muchtar adalah Direktur Eksekutif Kapal Perempuan yang telah menerapkan pendidikan untuk perempuan ini di masyarakat terpinggir dan para ibu rumah tangga yang hidup di sana. Selengkapnya, berikut wawancara Jurnal Perempuan dengan Yanti Muchtar. Jurnal Perempuan (JP): Apa pentingnya pendidikan alternatif bagi perempuan? Yanti Muchtar (YM): Kalau kita mau melihat isu demokratisasi, maka harus ada satu, dua, tiga atau lebih masyarakat sipil yang kuat. Maka, kalau kita bicara tentang masyarakat sipil yang kuat, berarti kita juga akan bicara kelompok- kelompok perempuan yang kuat sebagai bagian dari masyarakat sipil itu. Pada akhirnya, kebutuhan untuk mengorganisasi perempuan menjadi sangat penting agar proses demokratisasi bisa berjalan sepenuhnya dan dengan yang sebaik-baiknya menuju masyarakat adil dan pluralis, yang akhirnya manfaatnya juga bisa dirasakan oleh kaum perempuan. JP: Atas hal tersebut, bagaimana Kapal Perempuan mengorganisir sekolah perempuan? YM: Tentu saja sama dengan yang tadi saya katakan, prasyarat dalam menciptakan masyarakat yang adil, demokratis, dan pluralis membutuhkan masyarakat sipil yang kuat, yaitu masyarakat sipil yang berperspektif keadilan sosial dan keadilan gender. Karenanya, kita harus memperkuat perempuan sebagai bagian yang terpenting dari masyarakat sipil sebab untuk konteks Indonesia, kita harus mengakui bahwa 57% masyarakatnya adalah perempuan. Dari jumlah ini, artinya manakala kita bicara proses demokratisasi, maka mau tidak mau kita harus memperkuat dan memberdayakan perempuan. JP: Dari kegiatan pendidikan alternatif untuk perempuan, Kapal Perempuan memilih pendidikan yang diberikan pada ibu rumah tangga. Mengapa demikian? YM: Kapal Perempuan mencoba melawan arus dengan cara memperkuat dan mengorganisasi ibu rumah tangga yang selama ini dianggap sebagai kelompok yang tidak militan dan sulit diorganisasi, padahal mereka itu, kan, mayoritas. Makanya, kami coba mengorganisasi ibu-ibu rumah tangga di dua wilayah, yaitu di Ciliwung dan di Kampung Jati, Klender. Dan, ternyata setelah satu tahun, mereka berhasil mendirikan Sekolah Perempuan di dua wilayah tersebut. JP: Apa saja program yang dimiliki di Sekolah Perempuan itu? YM: Kita mencoba mengintegrasikan tiga pendekatan sekaligus. Pendekatan pertama adalah bagaimana meningkatkan kesadaran perempuan sekaligus meningkatkan cara berpikir yang kreatif dan kritis, namun di saat bersamaan kita juga tahu bahwa faktor ekonomi juga merupakan sebuah masalah yang tidak bisa kita tinggalkan. Pendekatan ekonomi saja memang tidak cukup. Artinya, perempuan sebetulnya perlu pula pengetahuan, itu mengapa kami masuk dengan pendekatan apa yang disebut pemerintah sebagai “keaksaraan fungsional”, yaitu mereka dapat membaca, menulis, dan berhitung. Nah, ketiga hal itu coba kami gabungkan dengan metodologi yang berusaha tidak memisahkan ketiga hal ini. Misalnya, ketika kami mengajar membaca, maka yang dibaca adalah persoalan mereka. Setelah itu dianalisis, kemudian bagaimana menjawab pertanyaan dan menggali jawabannya. Nah, dari situlah muncul kebutuhan pentingnya berorganisasi, bersolidaritas sehingga hasil proses itu kemudian menghasilkan organisasi yang mereka inginkan. JP: Jadi, berdasarkan pengalaman perempuan itu kemudian timbul kebutuhan akan pengetahuan-pengetahuan tersebut? YM: Persis, berdasarkan pengalaman merekasendiri lalu mereka bisa merumuskan kebutuhan mereka. JP: Adakah kendala dalam pengorganisasian Sekolah Perempuan tersebut? YM: Ada, yaitu dari masyarakat sendiri, dan sebetulnya masyarakat kita memang sudah terkotak-kotak. Maka, ketika kami datang ke dua wilayah tersebut, yang keluar adalah isu penyebaran agama. Kita sempat dianggap melakukan penyebaran agama. Dan, kendala kedua, banyak yang berpikir kami bawa bantuan karena selama ini, orang datang ke mereka untuk bawa bantuan fisik. Jadi, menurut kami, materi yang nantinya disampaikan pada kelompok ibu rumah tangga ini adalah tema pluralisme juga, yaitu bagaimana saling menghargai dan bagaimana saling menerima perbedaan yang ada dalam masyarakat, dan di antaranya adalah perbedaan agama. JP: Apa perubahan yang terjadi di kelompok pendidikan alternatif bagi perempuan tersebut? YM: Mereka bisa lebih terbuka dan berani mengekspresikan pikiran mereka sendiri. Misalnya, di Ciliwung, kami terkena isu agen penyebaran agama, ternyata ibu-ibu yang sekolah di tempat kami menolak isu itu dengan mengatakan itu mengada-ada dan bohong belaka. Reaksi itu sebenarnya hasil proses penguatan bahwa mereka berani mengatakan dan bertindak atas nama diri mereka sendiri. Akhirnya, posisi tawar mereka dalam masyarakat itu pun lalu menjadi lebih baik. JP: Artinya Kapal Perempuan berhasil memfasilitasi Sekolah Perempuan di dua wilayah itu, apakah memang ada kebutuhan sekolah alternatif di sana? YM: Tentu ada, sebab kalau kita mau bicara soal Indonesia yang adil dan sejahtera serta demokratis, tentu harus ada pengawasan, monitoring, dan input dari masyarakat. Masyarakat miskin tentu saja ada di dalamnya, berikut perempuan- perempuan miskin. Mungkin sebagai salah satu contoh, inisiatif LSM untuk membantu, seperti yang dilakukan Kapal Perempuan, tetapi sebaiknya itu adalah keinginan atau diinisiatifkan oleh mereka sendiri. Dan, harapan ke depan, proses-proses pengorganisasian itu dapat didorong oleh kita semua, khususnya oleh pemerintah. Dorongan itu bukan sekadar omongan, melainkan juga terjamin di APBD dan APBN, bahwa usaha-usaha yang tersistematisasi memang pendanaannya ada dari pemerintah. Mengorganisasi ibu-ibu agar mereka kuat dan mampu mengekspresikan aspirasi dan pendapat mereka itu, kan, penting. Misalnya, saat pemilu lalu, hampir semua pihak memberikan pendidikan politik, padahal seharusnya yang diberikan adalah pendidikan kewarganegaraan dan itu harusnya memang dilakukan oleh negara. JP: Berbalik pada kelompok perempuan, dalam hal ini ibu rumah tangga yang dianggap tidak militan, pengalaman Kapal Perempuan sendiri bagaimana? YM: Ya, ternyata mereka militansinya tinggi sekali karena pada tingkatan tertentu tidak ada itu namanya riil ibu rumah tangga. Banyak di antara mereka menjadi buruh cuci dan pengusaha kecil. Pengalaman kami ternyata, mereka cukup mampu untuk membangun komunitasnya. Saya hanya ingin membandingkan ketika saya pulang dari Manila, di situ ada persatuan orang tua yang isinya ibu rumah tangga dan mereka memulai aktivitas pendidikan pre-school di setiap komunitasnya dengan konsep dari mereka untuk mereka, dan ternyata gerakan ini cukup kuat, begitu pula di daerah miskin kota. Saya langsung membayangkan bagaimana mereka bisa melakukan itu dan apakah mungkin diterapkan di negara kita. JP: Dapat digambarkan apa yang dilakukan mereka di sana? YM: Seperti di Filipina, Indonesia juga saya rasa, kadang anak tidak disekolahkan, selain faktor biaya, jarak yang jauh, mungkin juga tidak ada tempat atau ibu- ibunya menganggap tidak penting. Maka, kelompok ibu-ibu rumah tangga ini bersatu dan mengumpulkan uang, menyewa satu ruangan, dan membuat satu sekolah di situ. Di sana mereka sekaligus dididik untuk menjadi guru TK dan mereka dapat bergantian menjadi guru TK di sana. Bagi yang tidak punya biaya tidak perlu membayar. JP: Apa pendapat Anda mengenai persoalan pendidikan di Indonesia? YM: Indonesia memang sudah meratifikasi deklarasi education for all, yaitu ‘pendidikan untuk semua’ dan juga berdasarkan UUD ‘45 yang diamandemen, pendidikan dasar 9 tahun seharusnya gratis, bermutu, dan aman. Karena itu, tidak mungkin bila Indonesia tidak memikirkan persoalan pendidikan ini, apalagi persoalan perempuan yang jelas separuh lebih dari penduduk di Indonesia ini. Ya, kita harus terus menjalankan metode pendidikan alternatif ini sebelum semuanya menjadi semakin runyam dan negara ini tidak menjadi apa-apa di mata dunia. (Sofia Kartika) Catatan Belakang: Tulisan ini dibuat pada tahun 2005 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 44, 2005 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Menjalani masa kanak-kanak dan remaja di Pematang Siantar, Sumatera Utara, Rainy mengawali karier menulis sejak SMP dengan mempublikasikan karyanya berupa kolom pengalaman Kotak Wasiat dan beberapa cerpen anak di majalah Si Kuncung. “Untuk anak SMP, pemuatan tulisan di Si Kuncung, walau sekadar Kotak Wasiat, tentu berpengaruh besar pada diri saya. Rasa bangga melambung dan dorongan untuk menulis semakin kuat, apalagi ada honornya,” kenangnya. “Ayah saya sudah meninggal sewaktu usia saya enam tahun dan ibu membesarkan lima orang anaknya seorang diri. Suatu kali saya melihat boneka anjing yang menggemaskan di etalase. Kalau saya minta ke Ibu, pasti tak dikabulkan karena gajinya terlalu kecil untuk memanjakan anak-anaknya dengan mainan. Saya lalu terpikir untuk menulis kolom Kotak Wasiat di Si Kuncung, sebuah kolom pengalaman yang lucu. Tulisan itu dimuat dan honornya kalau tak salah Rp5.000 lalu saya belikan boneka anjing,” paparnya. Semenjak belia, Rainy memang sudah jatuh cinta kepada dunia menulis. Hal ini bermula dari kesukaannya mendengarkan cerita-cerita ibunya. Ketika memasuki masa remaja, cerita bergeser dari dongeng atau legenda ke cerita-cerita tentang silsilah marga-marga Batak dan asal muasalnya; juga pahlawan di Tanah Batak, seperti Singamangaraja dan tokoh-tokoh masyarakat Batak yang dikenal ibunya. Namun, pengalaman lain yang paling berkesan adalah sewaktu di Taman Madya (setingkat SMP) di Taman Siswa, Pematang Siantar. Guru sejarahnya, Bu Asni Lubis, adalah seorang pencerita yang ulung. Sang Guru pandai bercerita seolah- olah Diponegoro, Cut Nyak Dien, Teuku Umar, atau Jenderal Sudirman itu sahabat- sahabatnya. Pengalaman masa kanak-kanak dan remaja inilah yang berkaitan dengan dorongan dalam dirinya untuk menulis. Bakat menulisnya mulai terasah ketika SMA ia diajak ibunya ke sebuah majalah gereja yang diterbitkan oleh sebuah kantorpusatgerejawi. Ibunya memperkenalkan Rainy pada salah seorang redakturnya. Rainy diajak menulis cerita bersambung. Walau honornya sangat kecil, ia semangat menulis karena merasakan kebanggaan dan kepuasan tertentu. Kata ibunya, ajakan itu kesempatan baik untuk berlatih menulis. Dorongan dari ibu penting, sebab membuatnya menyadari bahwa menulis itu suatu prestasi. Selain cerita, Rainy juga mencoba menulis beberapa puisi di sebuah koran lokal ternama waktu itu. Masih ketika SMA, Rainy ke Jakarta diajak belajar soal redaksional pada sebuah penerbit. Ia berkenalan dan bergaul dengan banyak cerpenis dan penyair, di antaranya Darwis Khudori, Hamsad Rangkuti, Veven Sp. Wardhana, Ags. Arya Dwipayana, Arwan Tuti Artha, Budi Sarjono, dan banyak lagi. Rainy suka main ke rumah Pramoedya Ananta Toer di Utan Kayu, diperkenalkan oleh komponis Subronto Kusumo Atmojo. Selain bertemu Pram, ia beberapa kali bertandang ke rumah Mochtar Lubis di dekat Tugu Proklamasi. Lingkungan pergaulannya dengan para cerpenis membuatnya terpengaruh untuk memilih menulis cerpen. Di samping itu, baginya pergulatan menulis cerpen juga tak sepanjang menulis novel. Rainy tipe penulis yang membutuhkan mood saat menulis fiksi. Ia agak obsesif dengan apa yang ditulisnya. Baginya, lebih cocok menulis cerpen. Menulis novel memerlukan konsentrasi khusus walau suatu saat ia ingin bisa menulisnya. Sebenarnya, saat belajar redaksional di penerbit itu, ia pernah menulis sebuah novel remaja. Novel itu ia serahkan ke seorang rekan jurnalis di Surabaya. Sayangnya, sesudah itu ia kehilangan kontak dengan jurnalis itu, sedangkan ia tak memiliki copy naskah novelnya sendiri. Rainy kemudian tumbuh menjadi cerpenis yang diperhitungkan. Beberapa kali karyanya dimuat di Kompas dan salah satu cerpennya berjudul “Aaa! Iii!...Eee! Ooo!” yang mengisahkan seorang gadis cantik yang menderita mental terbelakang, masuk antologi cerpen pilihan Kompas 1999 Derabat. Sastra Kitab Suci Rainy belia kemudian memilih kuliah jurusan teologi di STT Jakarta. Inilah alasannya memilih bidang teologi, karena ingin belajar sastra sekaligus kitab suci. Tetapi, ketika ia masuk, program di STT Jakarta sudah berubah menjadi untuk kependetaan. Kurikulum dipadatkan dari enam tahun menjadi lima tahun. Dan ternyata, sastra kitab suci hanya sebagian mata kuliah. Masih ada lagi mata kuliah lain, seperti dogmatika, pastoral, yang kurang ia minati, tetapi harus dipelajari. Untungnya, di sana para mahasiswa juga ditugaskan untuk membaca kitab suci agama-agama lain, seperti Hindu dan Islam. Selain itu juga ada pelajaran filsafat yang terkait dengan perkembangan sastra, seperti Nietzsche dan Sartre. Mata kuliah sastra berlangsung hanya untuk semester 1—4. Bagusnya, di sana ia bebas memilih pengarang yang karyanya harus dibaca, namun terkait dengan filsafat. Baginya, siapa pun yang membaca kitab suci pasti akan terbentur menghadapi teks-teks patriarki. Orang yang kritis, akan terusik rasa keadilannya, marah, dan tak betah oleh bias gender atau diskriminasi terhadap perempuan, mulai dari kitab suci, organisasi agama, dogma/ajaran, dan ritus. Inilah yang terjadi pada Rainy, apalagi skripsinya di bidang Biblika, Perjanjian Baru. Rainy kemudian memilih women’s studies karena tuntutan bidang studi dan pekerjaan. Waktu itu, ia melakukan riset buruh di sejumlah pabrik dan juga riset isi media. Belum lagi menyusun modul pelatihan, di tempat kerjanya (Yakoma- PGI) mengintegrasikan penyadaran gender. “Saya, kan, mesti berhadapan dengan para narasumber dan fasilitator yang pengetahuannya tentang kajian perempuan cukup maju. Lalu, kalau tak nyambung bagaimana? Pengetahuan saya tentang analisis gender minim, apalagi untuk riset buruh dan media. Saya berhadapan dengan konsep-konsep seperti women in development, gender and development… wah, dulu saya tak paham membedakannya. Internet waktu itu belum populer sehingga saya tak bisa mencari informasi. Memang, ada teman yang bersedia membantu, tetapi, kan, tetap saja belum memadai. Lalu, saya putuskan untuk mengikuti Kajian Wanita di UI untuk memperdalam dan sekaligus menopang studi teologi saya. Kajian wanita penting bagi mereka yang berkiprah di bidang pelatihan media seperti saya, pengelolaan publikasi dan riset, apalagi dalam organisasi agama,” katanya. Jalan Sendiri-Sendiri Ketika ditanya mengenai perkembangan gerakan perempuan, Rainy mengakui rada tersendat, terutama merujuk pada pengalaman di lingkungan gerejanya. Di lingkungan gereja, gerakan perempuan berjalan tersendat-sendat. Secara umum, menurut pengamatannya, mulai ada perubahan. Pada beberapa sinode gereja, perempuan telah menduduki kursi pengambilan keputusan tertinggi. Beberapa sinode juga telah membangun rumah damai (crisis center) bagi perempuan korban kekerasan. Memang jumlahnya masih terbatas, tetapi sudah memperlihatkan kemajuan. Hanya saja, menurut Rainy, yang dinamakan gerakan bersama belum terwujud. Lembaga terkait perempuan di lingkungan Kristen cenderung jalan sendiri- sendiri—untuk tidak mengatakan terkotak-kotak. Bahkan, di antara para aktivis perempuan sendiri ada berbagai persoalan. Ini sangat disayangkan karena dengan demikian, kaum perempuan tidak menawarkan perspektif power relation dan sisterhood yang berbeda dengan laki-laki. Hasilnya, tentu saja tak maksimal. Hanya pada momen penting, seperti pengesahan UU Pornografi dan Pornoaksi, misalnya, gerakan perempuan lintas agama bersatu. Ini memang menggembirakan, tetapi tanpa momen khusus yang mendesak, sehari-hari jalan sendiri-sendiri, tidak bersinergi. Tak Pernah Memandang Diri sebagai Difabel Rainy menjadi seorang difabel ketika ia menginjak bangku SMA. “Di SLA baru terasa, dan saya pernah mencoba MRI (Magnetic Resonance Imaging) di RS Cipto, Jakarta, hasilnya tak ada apa-apa. Saya juga pernah terapi akupuntur di beberapa tempat, terasa membaik, tetapi tak lama kembali pada kondisi semula. Akhirnya, saya memutuskan untuk berhenti memperlakukan telinga saya sebagai ‘pesakitan’ dan menerima kenyataan bahwa saya memang difabel,” paparnya. Meski demikian, ia tak pernah memandang diri sebagai “orang cacat”. Rainy merasa sama saja seperti orang-orang lain, sama seperti mereka yang pakai kacamata karena matanya rabun atau berat tubuhnya berlebih. Ibunya juga tak pernah memperlakukan dirinya berbeda dengan yang lain. Tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya sama dengan adik-adiknya. Tak ada perlakuan lebih dan tak ada perlakuan kurang. Lingkungan keluarga, terutama ibu dan adik- adiknya sangat penting untuk membangun konsep diri. Menurutnya kalau orang- orang di sekeliling kita memandang kepada kita dengan optimis, maka kita pun akan optimis. Ibunya pernah marah besar pada seorang tetangga ketika dikatakan bahwa setamat SMA sebaiknya Rainy dikawinkan saja. Ia memang tak mendengar langsung percakapan Ibu dengan tetangga itu, tapi Ibu menceritakannya kepada saya dengan nada marah. “Dikiranya kau tak punya masa depan! Cuma di dapur!” kata ibunya. Sampai sekarang, bila mengingatnya, emosi Ibu terasa berdenyut di hatinya. Menerima dirinya sebagai difabel, Rainy berkeras untuk mengatasi kekurangan dirinya dengan belajar. Dalam berkomunikasi, Rainy membaca gerak bibir orang yang berbicara kepadanya. Sewaktu SMA dan semasa kuliah, Rainy selalu memilih duduk di baris bangku terdepan. Dari pengalamannya belajar, ia menyimpulkan bahwa bila kita punya kekurangan, kita mesti meraih kelebihan yang lain. Rainy tak pernah berterus-terang bahwa pendengarannya kurang. Orang baru tahu setelah bergaul dengannya. Dalam pergaulan, Rainy tak pernah “pasang tampang” bahwa ia difabel. Di lingkungan kampusnya dulu, ukurannya bukan difabel atau nondifabel, melainkan intelektualitas. “Kalau mampu, kita menjadi tempat orang untuk berkonsultasi atau bertanya,” jelas Rainy. Memang, ada beberapa mahasiswa yang memandang sebelah mata, tetapi tak sampai mengusik keasyikan kuliahnya di kampus. Rainy belia juga jadi pengurus senat dan ikut mengelola majalah dinding kampus sehingga ia tak lagi memikirkan kekurangan yang ada dalam dirinya. Baginya, seorang difabel harus mengenali keterbatasan dirinya dan memilih bidang yang cocok dengan minat dan kemampuannya. “Saya tak mungkin menduduki posisi public relation karena keterbatasan pendengaran, misalnya. Sebaliknya, saya cocok di bidang terkait publikasi dan riset serta pelatihan- pelatihan, khususnya pembuatan modul dan pengadaan materi. Pengalaman mengajarkan, jika kita difabel, maka kita harus ‘dua kali lebih’ dari yang lain agar diperlakukan setara dan dihargai,” katanya. Bagaimana dengan perlakuan diskriminasi? Ia yakin, semua difabel pernah mengalami diskriminasi. Ia pernah mengatakan pada dirinya walau tak sampai menyurutkan semangat hidup bahwa saya difabel dan seorang perempuan! Ini untuk mengingatkan kerentanan dua hal akan diskriminasi dan eksploitasi. Rainy yakin, semua difabel pernah mengalami diskriminasi, juga eksploitasi. Disuruh mengerjakan macam-macam pekerjaan di luar pekerjaan kantor, urusan pribadi, dan kalau menolak diancam akan di-PHK. Dulu Rainy menulis makalah untuk atasan dan memakai nama atasan, juga penelitian dengan memakai nama atasan. Periode lampau ia cukup sering menulis makalah, tetapi bukan atas nama dirinya. Seorang penulis terkenal pernah mengiriminya SMS bahwa ia adalah benchmark yang dipasang di tempat kerjanya. Dalam batas tertentu, ia bisa menerima bahwa perlakuan diskriminasi itu sifatnya manusiawi. Misalnya, orang-orang berbincang dengan suara perlahan, tidak memperhitungkan kehadirannya yang berpendengaran kurang. Dalam situasi seperti ini, kita harus bersabar. Sebagai informasi, indra telinga berkaitan dengan keselarasan emosi. Mereka yang pendengarannya kurang, harus mampu mengolah emosi sedemikian rupa agar stabil. Banyak membaca akan menolong mengenali diri dan mengatasi persoalan psikis maupun kehidupan sehari-hari di lingkungan kerja. Sulit Berharap pada Pemerintah Rainy merasa sulit berharap banyak kepada pemerintah untuk lebih memperhatikan difabel dalam pembangunan infrastuktur, misalnya trotoar jalan, jembatan penyeberangan, dan zebra cross. Dengan kondisi infrastruktur jalan seperti ini, orang buta sulit berjalan sendirian, apalagi para pengguna kursi roda. Para pengendara sepeda saja tak punya tempat di jalan raya, apalagi difabel. Harapan terpaksa dibatasi sebatas membuka peluang kerja bagi para difabel. Di era globalisasi dan pasar bebas, menurutnya, persaingan yang dihadapi para difabel akan semakin hebat. Angka pengangguran di Indonesia tinggi, membuat peluang difabel untuk memenangkan persaingan di dunia kerja semakin sulit. Di sinilah intervensi pemerintah diperlukan, misalnya, dengan memberi keringanan tertentu bagi pihak swasta yang mempekerjakan difabel. Rainy melihat, ke depan isu difabel akan dilihat sama penting dengan isu pemanasan global dan perubahan iklim yang mengancam kehidupan di planet bumi. (Donny Anggoro) Catatan Belakang: Tulisan ini dibuat pada tahun 2011 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 69, 2011 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Latifah Iskandar, Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) dipercaya memimpin tim perumus, tim sinkronisasi, tim lobi, dan sejumlah tim kecil lainnya yang tergabung dalam Tim Pansus RUU PTPPO pada tahun 2006. Bersama pemerintah yang diwakili oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Menteri Hukum dan HAM, mereka merampungkan pembahasan yang dijanjikan selesai paling lambat Desember 2006. Masyarakat waktu itu gelisah menantikan undang- undang yang sudah lama ditunggu-tunggu ini. Apa jawaban Latifah? Apakah RUU usul inisiatif DPR itu nantinya hanya akan menjadi “macan kertas” atau memang benar-benar sudah sebagaimana yang diharapkan masyarakat? Berikut wawancara jurnalis Jurnal Perempuan, Henny Irawati. JP : Sudah sejauh mana perkembangan RUU PTPPO? Latifah Iskandar (LI): Bulan Juli kemarin draf terakhir sudah kita kirim. Pada tanggal 14 Agustus 2006, presiden sudah menjawab dan menerbitkan surat yang menunjuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan (KPP) dan Menteri Hukum dan HAM untuk bersama DPR membicarakan RUU itu. Dan, 7 September 2006 rapat internal Pansus akan memutuskan mekanisme pembahasan bersama pemerintah. Di situ akan disebutkan jenis-jenis rapat, bagaimana pengambilan keputusannya, siapa yang berhak membahas, apakah menteri atau wakilnya. Semua itu nanti akan dibahas di rapat pleno yang akan saya pimpin. Dan, menurut informasi yang saya terima dari KPP, pemerintah juga sedang menyiapkan DIM (Daftar Isian Masalah—red.) yang insya Allah akhir September akan selesai dan DIM itu akan disampaikan ke DPR untuk dibahas bersama-sama di (rapat) paripurna. JP : Mengapa butuh rentang waktu yang cukup lama dalam menyelesaikan pembahasan RUU ini? LI: RUU ini termasuk cepat. Kalau saya boleh sombong atau bangga sedikit, sejak Januari dibahas, selama 7 bulan itu sudah selesai di Pansus. Sekarang sedang menuju presiden. Bandingkan dengan RUU yang lain. Alhamdullilah, ada mekanisme yang membuat waktu itu jadi relatif. Konkretnya, di DPR itu cuma dua hari saja untuk melakukan rapat Pansus, selebihnya ada rapat komisi, rapat paripurna. Dalam pembahasan, panjang-pendek, efisiensi, dan leadership itu sangat berpengaruh untuk membuat kinerja Pansus menjadi optimal. Kalau dikatakan lama, itu dululah (versi usulan pemerintah). Saya tidak bicara itu. Saya bicara yang dikerjakan Pansus periode ini. Dan, Alhamdullilah, dibandingkan dengan RUU APP yang belum apa-apa. JP : Hambatan-hambatan apa yang ditemui tim Pansus selama pembahasan? LI: Kalau hambatan itu, mungkin pada bagaimana menyinkronkan dengan produk- produk perundang-undangan yang lain. Itu masalah yang cukup besar. Pada pembahasan kemarin, kita juga menghadirkan pakar-pakar hukum yang lain supaya UU kita ini implementasinya tidak mengalami kendala yang berarti. Kaitannya dengan kekhawatiran banyak pakar hukum, bahwa KUHP yang menjadi acuan pertama UU ini nanti akan kehilangan kekuatan hukumnya. Tetapi, saya melihat bahwa kendala utama produk ini adalah bisa sinkron tidak dia dengan perundang-undangan yang lain. Jadi, pembahasan yang agak lama itu pada bagaimana pakar-pakar itu memberikan masukan pada Pansus untuk bisa melahirkan UU yang tidak tiba-tiba lahir, tiba-tiba masuk mahkamah konstitusi. JP : Belum adanya UU untuk menjerat pelaku trafficking membuat aparat kesulitan menegakkan hukum, bagaimana menurut Ibu? LI: Ya, memang benar. Meskipun kalau untuk anak-anak sudah ada UU Perlindungan Anak, itu juga masih kurang. Efek jeranya masih kurang. Setiap hari di media ada siaran tentang pelaku trafficking yang dipegang polisi, tetapi belum tahu hukumannya bagaimana karena masih di tingkat kepolisian. Di tingkat kehakiman dan kejaksaan, kita juga belum tahu bagaimana. Datanya masih sangat sedikit. Hasil kunjungan kerja kami ke propinsi-propinsi dan kabupaten, kota, banyak penegak hukum yang belum bisa menangani kasus- kasus trafficking ini. Ya, memang belum ada UU-nya. Mudah-mudahan UU ini dapat terimplementasikan dengan baik, tentunya penegak hukumnya harus punya komitmen. JP : Lantas mengapa DPR baru mengusulkan RUU PTPPO ini sekarang? LI: Jadi begini, membuat UU itu bisa dari pemerintah atau dari DPR. Kita melihat UU dari DPR itu relatif lebih cepat dibanding UU dari pemerintah. Kenyataannya memang demikian. Dulu, waktu zaman Megawati, UU ini sudah pernah diajukan. Tetapi, sampai Megawati selesai masa jabatannya, UU itu belum selesai. Dan, UU itu tidak bisa dilanjutkan, harus dibahas mulai dari awal lagi. Pada saat kita rapat dengar pendapat dengan KPP, menginvetarisasi, DPR juga menginventarisasi, Komisi VIII juga menginventarisasi, UU mana yang sangat dibutuhkan. Nah, kita lihat UU PTPPO ini. Waktu rapat dengan menteri, kita sepakati strateginya menjadi RUU usul inisiatif DPR. Jadi, betul- betul ini strategi yang dipilih untuk mempercepat UU yang sangat ditunggu. Kalau ukurannya lama dibahas, sejak dulu sampai sekarang, iya. Kalau hasil pembahasannya mau dinilai, sudah cukup, kok, ini. September ada DIM dari pemerintah. Mekanismenya sudah disepakati. Kita punya waktu sebagian September. Oktober kita reses, tidak boleh menggelar rapat. Bulan November, kalau tidak ada kontroversi, tinggal mengatur beberapa hal yang terkait, misalnya bagaimana agar pasal-pasal tersebut implementasinya mudah, bagaimana tanggung jawab pemerintah. Nanti UU-nya sudah ditetapkan, tapi karena tidak jelas, tidak bisa diimplementasikan. Sebagai ketua Pansus, saya optimis. Tentunya dari semua sisi juga diharapkan bantuannya untuk mengomunikasikan hasil ini. JP : Bagaimana dengan efek jeranya? Apa Ibu yakin bahwa itu sudah cukup memberatkan pelaku? LI: Harus yakin. Kita membuat UU ini untuk menindak pelaku trafficking yang kita tahu semakin hari semakin meningkat. Dan, itu akan sukses di tangan penegak hukum yang punya komitmen tinggi. Saya tidak bisa menjamin. Tetapi, saya harus optimis karena produk ini harus diimplementasikan. Kepolisian itu meminta kepada saya, “Tolong, dong, cepat, kita butuh sekali UU ini karena (sekarang kita) ingin menangkap dengan hukum apa?” Di KUHP hanya disebutkan perdagangan. Perdagangan apa? Diterjemahkan seperti apa? Perdagangan manusia sekarang ini sangat canggih, modusnya juga bermacam- macam. Saya tidak bisa menjamin, tapi saya yakin UU ini sudah dibahas secara optimal dan harus dipegang penegak hukum yang baik. JP : Kapan targetnya? LI: Paling lama Desember. Mudah-mudahan Novembersudah bisadisempurnakan. (Henny Irawati) Catatan Belakang: Tulisan ini dibuat pada tahun 2006 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 49, 2006 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Pada 30 November 2008, Cucu Saidah yang saat itu aktif di Handicap Surakarta dengan Faisal Rusdi, pelukis yang menggunakan mulut, menikah. Meski tanpa kehadiran orang tua dan keluarga besarnya, Cucu tetap bahagia. Gores kebahagiaan mereka, ia tunjukkan kepada Jurnal Perempuan yang menyambangi kediamannya tepat di Hari Raya Idul Adha akhir November 2009 yang lalu. Foto pernikahan, film dokumenter tentang aktivitas mereka, turut menggenapi kekosongan ruang itu. Pada tahun 1998, Cucu Saidah yang baru menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Persada Indonesia, Bandung melakukan sesuatu yang berani. Ia berupaya menularkan apa yang telah dipelajarinya dengan menjadi guru honorer di Yayasan Penyandang Anak Cacat (YPAC). Tekadnya untuk berbagi dan meningkatkan kesadaran kepada sesama difabel tak surut oleh honor yang hanya sebesar Rp80.000 per bulan kala itu. Genap empat tahun ia mengabdikan ilmunya, Cucu mendapat kesempatan mengikuti pelatihan kepemimpinan difabel se-Asia Pasifik di Jepang. “Di pelatihan itu kita diperkenalkan dengan sistemnya, perjuangan, dan pergerakan mereka hingga bisa mendapat layanandari pemerintah. Kalau di Indonesia, jangan dibandingkan lah.” Ketika Cucu memulai pelatihan di negeri Sakura, banyak hal menjadi proses titik balik baginya. Aktivitas selama sepuluh hari menginap di Centre Independent Living (serupa LSM di Jepang-red) menjadi arena menempa mental dan kesadaran dirinya. “Ada satu staf di sana yang cacatnya lebih parah dari Faisal (suami Cucu). Ia Cerebral Palsy (gangguan pada otak kecil yang mengakibatkan gangguan motorik dari leher ke bawah) berat. Bicara pun ndak jelas, makan dengan nasi tim dan disuapi. Padahal, usianya sudah 40 tahunan,” kata Cucu. Walhasil, setiap hari Cucu harus makan bersama dengan peserta lain termasuk staf itu. Meja bundar menjadi salah satu media interaksi dan komunikasi dalam pelatihan tersebut. “Jadi, kemana-mana pasti ketemu muka. Makananku selalu tak habis. Dan kalau ditanya aku selalu bilang ndak lapar.” Sambil memotong semangka sebagai suguhan, Cucu kembali menuturkan pengalamannya selama pelatihan di Jepang. “Satu dua hari hilang nafsu makanku dan guruku (dengan pendekatan peer conseling) mendekatiku. Dia membaca kalau aku ndak biasa dan belum terbiasa dengan meja bundar itu,” kata Cucu. Yayasan Talenta Surakarta menggunakan metode pemahaman karakter diri dengan menggambar orang. Beberapa psikolog melakukan tes dengan gambar THP (Tree, Home, People) untuk mengetahui karakter seseorang. Sementara itu, sebuah Center Independent Living di Jepang menggunakan meja bundar sebagai alat bantu untuk mengenali tingkat hegemoni kenormalan seseorang. Selama berjam-jam Cucu berbincang dengan salah seorang peer conseling di sana. Pertanyaan mendalam tentang pemahaman diri, seperti apa hakikat kita menjadi manusia, kenapa kita dilahirkan, apa hakikat kita sebagai makhluk sosial, hingga bagaimana seandainya kalau kita yang duduk di kursi roda itu, menyesaki rongga kesadaran Cucu. “Jadi, lama-lama aku mikir, iya, ya, bagaimana pun kita, warna apa pun, kita manusia, sama.” Hari berikutnya sudah bisa ditebak, Cucu mulai menyapa dan bertatap muka dengan staf tersebut. Cucu pun mulai menikmati hidangan yang disuguhkan di pelatihan itu. “Meski semeja sama dia, tapi aku ndak melihat ke arah dia.” Esoknya, ia mulai menyapa staf itu, “Konichiwa.” Ia menyambut dengan bahagia (konichiwa). “Di situ, saya kembali berpikir, bagaimana pun kita bersaudara,” kata Cucu. Beragam kegiatan Cucu ikuti di sana, termasuk pembangunan karakter diri melalui peer conseling. “Bagaimana kita bertindak sebagai pemimpin, bukan pemimpin sebuah lembaga, organisasi atau institusi, tapi bagaimana kita bisa memimpin diri kita sendiri,” ungkap Cucu. “Seorang pemimpin yang baik itu seperti apa? Yang paling penting, punya hati,” jelasnya. Cucu menjelaskan bahwa hakikat manusia harus bisa membawa diri sendiri lebih dulu untuk menjadi seperti apa. Sebaliknya jika manusia menjadi sosok yang palsu, maka ia tak akan pernah bisa menemukan dirinya. “Artinya, kalau hanya palsu, tapi diri kita sendiri tidak tahu mau dibawa kemana, ya, tidak bisa jadi diri sendiri.” Pada tahun 2003 ketika Cucu kembali ke Indonesia, rasa kaget menyergapnya. “Di sana dengan bebasnya aku bisa ke mana-mana dengan kursi roda elektrik. Aku bisa kemana pun, mulai dari ke penginapan sampai naik kereta, aku bebas. Sampai di sini aku terbentur lagi dengan pelayanan publik yang ada,” kata Cucu. Rendahnya akses publik di Indonesia tak mematahkan semangat Cucu untuk bergerak dan berbagi konsep dengan sesamanya. Segala yang Cucu peroleh dari perjalanannya ke negeri Sakura tak sia-sia. Ia pun menjadi leader di antara sesama teman difabel di Bandung, tempat ia menghabiskan masa kecil hingga dewasa melalui diskusi demi diskusi. Ia memulai berbincang dengan sesama difabel semasa di SLB (Sekolah Luar Biasa) hingga membentuk barisan volunter bersama beberapa mahasiswa di Bandung. “Mulailah aku berbagi tentang konsep independent living itu seperti apa, lewat peer conseling dan peer support.” Hingga pada tahun 2005, Cucu, Faisal Rusli, dan beberapa difabel lain membentuk komunitas bernama BILIC (Bandung Independent Living Centre). Keduanya tak keberatan ketika Jurnal Perempuan mengutarakan maksud hendak berbincang tentang mereka berdua. Di sela perbincangan, sesekali tampak Cucu memandangi Faisal suaminya yang tengah serius menyimak perbincangan kami. Mereka pasangan difabel yang sungguh mandiri. Mereka berteman sejak di SLB. Cucu di SLB D dan Faisal di SLB D1. Kepada Jurnal Perempuan Cucu menjelaskan, SLB D diperuntukkan bagi mereka yang dikatakan tidak mengalami gangguan intelektual, tetapi hanya fisik, misalnya polio. Perlakuan guru juga hampir sama seperti di sekolah biasa. Sementara, SLB D1 justru yang lebih banyak mendapatkan diskriminasi. “Kalau yang D1 seperti suami saya, sering mendapatkan diskriminasi. Karena secara fisik ndak berfungsi, maka dianggapnya intelektual juga tergangggu, padahal tidak,” ungkap Cucu. Cucu memang tak mendapatkan diskriminasi langsung selama di SLB. Namun, itu tidak mengurung sensitivitasnya menyaksikan diskriminasi yang dialami teman-temannya, hal yang makin jelas ia lihat saat bergabung mengajar di YPAC. “Perlakuan guru-guru di SLB banyak yang tidak manusiawi. Anak-anaknya lebih banyak digoblok-goblokin. Dianggapnya mereka mempunyai gangguan intelektual sehingga perlakuannya tidak disesuaikan dengan usianya. Misalnya, usia sebenarnya 15 tahun tapi masih diperlakukan kayak anak-anak usia 5 tahun. Ketika menjadi honorer di YPAC, aku lebih banyak dekat dengan remaja (SMP— SMA) karena pendekatanku lebih banyak pendekatan teman daripada guru dan murid. Dan, aku menyaksikan teman-teman diperlakukan seperti anak kecil. Itu yang membuat aku miris.” “Aku cacat dari lahir,” kata Cucu. Meski mitos seputar kelahirannya menjadi gunjingan tetangga, Cucu bersyukur karena orang tuanya bukan orang yang percaya akan hal itu. “Kakakku sering cerita kalau kelahiranku sempat jadi cemoohan. Bahkan, dari saudara dekat juga sempat mencemooh. ‘Mungkin karena bapaknya terlalu galak,’ terus anak cacat mau jadi apa?” Ketika Cucu menuturkan kisahnya, ia tampak terharu. Ia ungkapkan perasaan bangga kepada orang tuanya yang tidak menyembunyikan kehadirannya. “Justru mereka mencoba agar anaknya yang bungsu ini harus seperti orang lain, seperti kakak-kakakku yang lain. Mereka berpikir bahwa anak-anaknya harus sekolah. Karena orang tua ndak bisa membekali anak-anaknya dengan materi, tapi ilmu.” Kendati begitu, Cucu sadar benar jika orang tua dan keluarga pasti mengalami proses untuk berbesar hati menerima kehadirannya di tengah keluarganya. Sungguh beruntung Cucu terlahir dari orang tua yang sangat mengasihinya. Ia mengenyam pendidikan dasarnya di SLB di Bandung sejak SD umum di Garut (tempat kelahirannya) enggan menerima Cucu. Usianya baru lima tahun saat orang tuanya meminta Cucu tinggal bersama kakaknya yang tengah merampungkan kuliah di Bandung. Seminggu sekali orang tuanya berkunjung. “Sedih juga kalau mengingat itu. Negatifnya, aku dijauhkan dari orang tua saat usia kanak. Positifnya, aku menjadi orang, menjadi diriku sendiri. Kebayang kalau orang tuaku menyembunyikanku. Mungkin aku akan ngesot-ngesot di rumah.” Tak jauh berbeda dengan orang lain, Cucu pun berhasil menuntaskan pendidikannya hingga S1, jenjang pendidikan yang masih sangat jarang di daerah asalnya, Garut. Kini ia pun bisa menunjukkan bahwa dirinya juga bekerja layaknya orang “normal.” Suatu hari, ketika ia memutuskan untuk menikah dengan Faisal Rusdi, orang tua dan keluarganya menolak keputusannya; menolak Cucu menikah dengan Faisal yang kondisinya lebih “berat” dari Cucu. Bagi Cucu, hal ini mungkin membangkitkan luka lama orang tuanya. Luka lama bagaimana keluarga dan orang tua dicemooh tetangga dan saudara. Luka lama tentang bagaimana orang tuanya berjuang menerima kehadiran Cucu di tengah keluarga. Berkat perjuangan, kesabaran, dan ketekunan keduanya meyakinkan orang tua, kini orang tua menerima apa pun pilihan dan keputusan Cucu. Tak banyak difabel—apalagi perempuan difabel—yang seberuntung Cucu; mendapat kesempatan pendidikan hingga memperoleh ruang untuk mengaktualisasikan diri melalui pekerjaan. “Secara umum, perempuan difabel akan menerima perlakuan diskriminasi ganda. Kalau secara personal, di zaman sekolah di SLB, mungkin aku juga pernah mengalami, tapi karena aku masih kecil jadi belum menyadari.” Ia mengatakan, dalam rumah tangga pun, suaminya begitu menghormati. Kedudukan mereka setara. “Memang suamiku difabel, tapi dalam kehidupan, menuangkan cinta, mengambil keputusan, dan sebagainya, kita selalu berkomunikasi. Justru suamiku lebih bisa memahami aku.” Meski demikian, pengalaman tidak menyenangkan bukannya tak ada. Waktu SMA ketika Cucu hendak naik ke angkutan umum, ia dianggap tidak bisa naik sendiri. “Terus aku dipegang bagian belakangnya. Aku bilang, eh, jangan pegang- pegang. Dia bilang, kan, mau nolong. Ya, tapi tanya dulu, dong, jawabku,” begitu cerita Cucu. Berbincang tentang fasilitas publik yang ada di negeri ini seperti menegakkan benang basah. Fakta tersebut menjadikan Cucu enggan menggunakan kursi roda, apalagi sejak kecil Cucu merasa lebih nyaman menggunakan kruk dibanding kursi roda, hanya pada saat-saat tertentu ia menggunakan kursi roda. “Semua pelayanan publik memang bermasalah. Misalnya, orang yang mau menolong, tidak tahu gimana cara menolongnya. Jadi, aku suka gereget melihatnya. Harusnya, mereka tanya dulu bagaimana kenyamanan si difabelnya.” Pengalaman lain yang Cucu alami adalah menghadapi layanan di bandara. Ia menjelaskan bahwa kebijakan bandara kini justru makin memarginalkan difabel. Begitu juga perempuan hamil dan orang sakit, harus lebih dulu menyerahkan surat keterangan dokter. Khusus penumpang domestik yang memerlukan asistensi, mereka (pihak bandara-red) menetapkan bahwa asistensi disepakati dalam selembar kertas bermaterai Rp6000 yang harus ditandatangani oleh penumpang. Kertas tersebut menyatakan bahwa penumpang itu sakit dan maskapai tidak bertanggung jawab jika terjadi apa-apa. “Jadi, dianggapnya kita ini penghambat. Misalnya terjadi apa-apa, kita bukan orang yang pertama ditolong.” Atas daya kritis Cucu terhadap kebijakan bandara, sering kali ia harus terbentur dengan persoalan tersebut ketika hendak melakukan perjalanan. Bahkan, akibat soal surat asistensi itu, ia pernah membuat Garuda menunda penerbangannya selama satu jam. Pada tahun 2007, Cucu dan lima orang temannya dari tim IDPs Norwegia hendak ke Yogyakarta. Ia satu-satunya difabel dalam rombongan tersebut. Karena ia enggan menandatangani surat asistensi, pihak Garuda mendatangkan pilot dan sekretaris general manager Garuda. Atas dalih kebijakan, pihak Garuda tetap tak mengizinkan Cucu untuk terbang. Walhasil, datanglah seorang penumpang yang juga terlambat. “Kalau enggak salah, dia dari Komnas HAM atau staf dari kepresidenan, saya lupa. Dia bilang, ‘Anda bayangkan kalau ini terjadi pada ibu Anda. Ibu Anda harus melakukan perjalanan dan tidak diperbolehkan.’ Pihak Garuda tetap ngeyel, ini peraturan. Dan, bapak itu berkata, ‘Kalau ibu ini tetap tidak diperbolehkan, saya akan lapor presiden saat ini juga.’ Akhirnya, kita bisa melenggang melewati orang-orang yang sudah duduk enak di kelas bisnis.” “Di hampir seluruh bandara di Indonesia, kecuali Solo dan Yogyakarta. Lagi-lagi karena masalah surat, sampai aku dibilang orang gila oleh staf Adam Air waktu itu. Jadi, saya pikir, kebijakan bandara itu (surat asistensi-red) berlaku untuk semua. Tapi, banyak difabel yang belum menyadari. Jadi, ketika disodorkan kertas mereka tanda tangan saja.” Masih berkaitan dengan kebijakan bandara, Cucu juga pernah protes karena saat ia dan dua temannya dari Jepang serta tiga volunter sebagai pendamping tiba di bandara Surabaya, pihak bandara malah mendatangkan ambulans di luar pesawat, bukannya kursi roda. Cucu bercerita, “Berbicara fasilitas publik, sangat menyedihkan. Waktu ngurus pembuatan SIM, dipanggil nama, Cucu Saidah, polisinya malah ngelihatin dari atas ke bawah. ‘Ibu mau bikin SIM?’ ‘Ya, iya, Pak, masa mau minta sumbangan.’ ‘Oh… SIM apa, Bu? Ibu bisa nyetir?’ ‘Ya, lagi belajar, Pak.’ ‘Mobilnya ada?’ ‘Pak, kalau saya ndak punya mobil, tentu saya ndak bikin SIM.’” Sejak Cucu memutuskan untuk pindah dan menetap di Solo, pengalaman tak lantas selesai. Meski konon Solo kerap dianggap sebagai kota yang ramah bagi difabel, nyatanya Cucu sering kali dianggap sebagai penghuni RC (Rumah Cacat, nama lain dari BBRSBD-Balai Besar Rehabilitasi Sosiali Bina Daksa). “Ceritanya kita belanja ke mal, lalu ketemu seorang ibu dan bertanya,‘Dari RC, ya?’ ‘Enggak, saya dari Bandung.’ ‘Baru masuk ke RC? Sekolah atau kerja?’ ‘Enggak, saya kerja.’ ‘Kerja di mana, di RC?’ ‘Eggak, saya di Helen Keller International.’ ‘Oh, kenapa ndak kerja di RC aja. Suami saya juga kerja di sana. Bagus di sana.’ ‘Ndak, terima kasih, saya ndak berminat.’ ‘Kenapa? Kan, di sana juga ada asrama.’ ‘Ndak, Bu, saya sudah punya pekerjaan.’ ‘Kan, orang cacat di sana semua.’ ‘Enggak, Bu, terima kasih. Saya manajer program di Helen Keller Internasional. Silakan Ibu datang ke kantor saya.’” Bahkan, ketika jurnalis Jurnal Perempuan menemani Cucu belanja ke sebuah mini market dalam sebuah perjalanan ke Yogya, kasir malah seolah-olah melayani jurnalis ini, padahal jelas-jelas Cucu yang mengeluarkan uang untuk pembayaran. “Perlakuan manusiawi dan kembali kepada diri masing-masing,” harap Cucu. Bagi Cucu, PR terbesarnya adalah membuat teman-teman sesama difabel bangga atas dirinya sendiri. “Bagaimana kita bisa menerima diri kita sendiri,” kata Cucu. Ia juga percaya bahwa kebutuhan bagi difabel maupun nondifabel adalah sama, menginginkan hidup yang layak dan berkecukupan, baik dari sisi ekonomi maupun profesional, untuk dirinya sendiri maupun keluarga. Catatan Belakang: Tulisan ini dibuat pada tahun 2010 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 65, 2010 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. |
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |