Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Indonesian Feminist Journal
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
    • Booklet KAFFE
  • Podcast JP
    • Radio JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
    • Biodata Penerima Beasiswa 2025
Cerpen/Puisi Feminis

Nama yang Tersisa

20/6/2025

 
Oleh: Eli Yuliana

     Aku tidak tahu, sejak kapan emak mulai mempunyai keinginan untuk pergi ke Malaysia. Yang pasti, sekarang hampir setiap hari ia selalu berkisah tentang keinginannya. Satu demi satu, emak mulai menyusun mimpi barunya. Mimpi membangun rumah, mimpi membeli tanah dan mimpi menyekolahkanku lebih tinggi. Kadang aku tak habis pikir dengan emak, di saat usianya yang memasuki 40 tahun, emak malah lebih banyak mempunyai mimpi.
    Aku sering terdiam, saat emak mulai berbicara tentang keinginan barunya. Emak bilang, kalau emak ke Malaysia aku bisa minta apa saja. Apapun, akan ia penuhi. Aku hanya mendengarkan. Tidak menolak, tidak juga mengiyakan. Seperti sore ini, saat kita sama-sama duduk di depan televisi butut, lagi-lagi, emak mengutarakan keinginannya.

    “Nong, Nong setuju enggak kalau emak ke Malaysia?” Emak memandangku. Aku yang sedang memerhatikan siaran televisi mengalihkan pandangan. “Nanti, Emak bisa belikan macam-macam untuk kamu, Nong. Tas baru, sepatu baru. juga pernak-pernik yang kamu inginkan semaunya.” Emak menambahkan.

    Lagi-lagi, aku hanya bisa diam.

    “Nong, emak omong sama kamu ini.” Emak mengguncang bahuku.

    “Kalau Emak pergi, aku di rumah dengan siapa?” Aku bertanya enggan, sambil bangun menuju kamar mandi untuk mandi sore, meninggalkan emak yang masih banyak ingin bercerita.

    “Kan ada ende*, Nong. Ende masih bisa menemani kamu setiap harinya. Lagipun, kamu sudah cukup besar untuk emak tinggalkan.” Setengah berteriak, emak memberikan penjelasan. Aku sudah enggan berbicara banyak dengan emak.

***

    “Mak, beberapa buku dan uang SPP sudah empat bulan belum dibayar. Sebentar lagi ujian,” Aku mengemas beberapa buku untuk mata pelajaran esok hari. “Biasanya kalau mau ulangan semester bayaran yang belum lunas harus dilunasi, Mak. Kalau tidak, biasanya kita diabsen satu- satu ditunjukan mana yang belum bayar. Mak?” Aku mencolek emak, melihat emak tak bereaksi sedikitpun dengan ocehanku.

    Kebetulan, aku bersekolah di sekolah swasta. Jangan bayangkan sekolah swastaku adalah sekolah yang mahal dan bagus dengan banyak perlengkapan. Bukan. Bukan sekolah seperti itu. Sekolahku swasta murahan. Sebuah lembaga swasta, yang terkesan hidup segan mati tak mau. Jangan berharap bahwa saya terbebas dari biaya bulanan, karena dari uang kami itulah para guru honorer tersebut dibayar.

    Jangan membayangkan bahwa dari kami para pelajar itu membayar uang sekolah bulanan tepat waktu. Karena, hampir sebagian besar dari kami selalu menunggak biaya SPP. Tak hanya sebulan-dua bulan, terkadang ada yang sampai hampir setahun. Bahkan, ada yang sampai lulus pun masih menunggak bayaran uang sekolah.

    “Tuh, kalau emak kerja di Malaysia, bisa langsung kirim uang untuk bayar sekolah kamu.”

    “Apa harus ke sana dulu sampai aku bisa membayar uang sekolah, Mak? Bukannya selama ini kita juga bisa makan dan bayar sekolah tanpa harus pergi ke sana?” Aku termangu dengan jawaban Emak. Lagi-lagi, ia mengungkit tentang keinginannya untuk ke Malaysia.

    “Iya, tapi, kan emak enggak perlu capai-capai mikir seperti ini.”

    “Lho, jadi selama ini Emak sudah penat dan bosan mengurus aku dan ende? Dulu siapa yang nyuruh aku sekolah? Emak bukan? Emak yang ingin aku sekolah tinggi-tinggi biar aku enggak ngikutin jejak Emak jadi kuli?”

    “Emak ke Malaysia juga biar emak bisa menyekolahkanmu tinggi-tinggi.”

    Aku diam. Malas berdebat lagi dengan emak kalau sudah mengungkit kepergiannya ke negeri tetangga. Selama ini aku memang masih bergeming dengan keputusan emak yang ingin menjadi pekerja migran. Aku tahu, beberapa tetanggaku pergi ke sana dan mereka hidup sukses setelahnya. Tapi, ah, entahlah… Aku sayang emak, aku tak mau jauh darinya. Di rumah hanya ada ende, ibunya emak yang sudah tua. Apakah emak tega meninggalkan kami berdua? Sementara bapak sudah menghadap-Nya sejak beberapa tahun lalu.

    Aku beranjak ke kamar tidur meninggalkan emak yang masih terdiam. Aku masuk ke kamar, mengunci pintu. Menyahut sekilas saja saat ende memanggilku untuk makan malam terlebih dahulu.

    Mimpi emak menyekolahkanku tinggi-tinggi bukan baru kemarin sore. Tapi, sejak ayahku masih hidup. Saya ingat, ketika saya masih duduk di SD menjelang kelulusan, ayah dan emak berbincang sangat serius. Mereka membicarakan akan ke mana setelah aku lulus SD waktu itu. Ayah, dengan sejuta mimpinya ingin sekali aku belajar sampai jenjang kuliah. Samar-samar, emak pun begitu mendukung keinginan ayah. Ayah sangat ingin aku masuk ke SMP favorit di kecamatan. Kata ayah, kalau aku sekolah di SMP Negeri, jalanku ke depannya akan mudah.

    Tapi, takdir manusia siapa nyana. Beberapa bulan sebelum lulus SD, ayahku meninggal. Mulanya, saya berkeras masuk ke SMP favorit seperti kemahuan almarhum ayah. Tapi, emak dengan banyak pertimbangan melarangku untuk melanjutkan di SMP favorit tersebut. Dengan berat hati, saya mau mengikuti keinginan emak. Belum setahun saya bersekolah, sekarang emak akan meninggalkanku. Sungguh, aku sangat keliru memahami emak.

***
​

    “Kalau bisa saya pinjam uang dulu, Wak. Untuk bayaran sekolah si Kasih.”

    ​“Kamu mau pinjam berapa?”

    “Secukupnya, Wak. Sekalian untuk bekal si Kasih sama endenya Kasih di rumah beberapa bulan."

    "Lima juta cukup?”


    “Cukuplah, Wak. Nanti kalau saya sudah di sana saya akan kirim lewat Uwak.”

    Saya memasang telinga dekat-dekat ke pintu, mendengar perbincangan emak entah dengan siapa seorang lelaki yang tak kukenali. Tapi, emak memanggilnya uwak. Mungkinkah itu uwak Karim yang sudah dikenali umum menjadi perantara orang-orang di desa ini untuk dibawa ke Malaysia? Ah, aku tak menyangka emak akan senekat ini. Rupanya, tekad emak sudah semakin bulat untuk berangkat ke negeri tetangga.

    Uwak Karim dikenali sebagai calo di kampung kami. Aku tidak tahu sepak terjang uwak Karim, karena selama ini saya betul-betul tak ambil tahu.

    Aku duduk di tepi tempat tidur, mengais-ngaiskan kakiku di lantai semen yang masih kasar. Luluh sudah harapanku untuk mempertahankan emak supaya tak jadi berangkat, ada yang mengiris- ngiris ulu hatiku, perasaanku sayu tiba-tiba. “Mak, setega itukah Emak meninggalkanku hanya dengan ende?” Akhirnya aku terisak…

***

    Besoknya, aku membatu tak membuka suara dengan emak. Tak menjawab saat emak bertanya, tak menyahut pula saat emak mengarahkan perintah supaya aku menjamah nasi goreng kosong sarapan pagi seperti biasanya.

    “Kasih,”

    Aku membisu.

    “Kasih,” suara emak lembut. Aku tak beringsut.

    “Kasih,”

    Tak ada suara.

    “Kasih! Emak memanggilmu, emak omong sama kamu. Kamu ini emak sekolahkan bukannya mengerti sopan!” Suara emak meninggi.

    “Kasih, tak baik berbuat begitu dengan emakmu,” ende muncul dari kamarnya. “Bicaralah dengan emakmu, ikhlaskan kepergiannya ke Malaysia, karena itu untuk kebaikanmu juga.”

    ​“Bukankah tanpa kesepakatan maupun keikhlasanku, Emak akan pergi juga ke sana?” Aku menjawab datar, entah kepada siapa, air mataku mengalir deras. Emak terdiam. Suaranya hilang begitu saja setelah tadi meneriaki aku sekuat-kuatnya.

    “Aku berangkat dulu, Nde, Mak” Aku mendekati emak dan ende, mengulurkan salam. Saat menyentuh tangan emak, emak langsung meraih tubuhku, memelukku erat-erat.

    “Kasih, emak sayang Kasih. Kalau emak memaksa pergi, bukan emak tak menyayangi Kasih lagi, tapi emak ingin membahagiakan Kasih.” Emak terisak, memelukku semakin kuat. Aku balas memeluk emak. Saya terdiam, tak menjawab apa pun kepada emak.

    “Saya berangkat dulu, Mak. Nanti terlambat ke sekolah.”

***

    Harinya sudah tiba, akhirnya meski dengan keterpaksaan aku merelakan emak berangkat ke Malaysia. Minggu pagi, emak sudah bersiap-siap, setelah malam sebelumnya emak memasukan beberapa lembar baju secukupnya saja. Aku memaksakan untuk tersenyum melepas kepergian emak.

    Mobil hitam milik uwak Karim sudah sampai di tepi jalan. Emak menyalami ende dan memeluknya, kemudian berganti memelukku juga menciumi wajahku. Wajah emak basah. Yah, akhirnya ketegaran emak luluh sudah saat akan berangkat meninggalkan kami. Para tetangga juga berdiri di depan rumah, menunggu emak untuk sekedar mengulurkan salam.

    Deru mobil uwak Karim dan asapnya baru saja meninggalkan kami semua. “Nde, aku mau ke bukit sebentar.”

    “Jangan lama-lama.”

    Entah apa yang ende ucapkan aku tak lagi mendengar. Aku sudah berlari menuju bukit yang tak jauh dari kampung. Aku berlari sekuat-kuatnya, ingin sampai ke atas bukit. Karena dari atas bukit itulah, aku bisa melihat mobil yang membawa emak meninggalkanku sampai tak terlihat lagi.

    “Emak!” Sampai di atas bukit, mobil uwak Karim masih bisa aku lihat, aku berteriak sekeras- kerasnya memanggil emak. “Mak! Aku akan jadi anak baik, Mak. Menjaga ende dan rajin belajar!” Aku melambai-lambaikan tangan. Saya yakin, emak tak mendengar suaraku.

    Samar-samar, mobil semakin mengecil dan tak terlihat. Suaraku, terbang dibawa angin. Dan bayangan emak, menari-nari di kepala. Aku lunglai. Matahari mulai naik di kepala dan terasa panasnya. Perlahan, saya menuruni bukit dengan perasaan tidak karuan. Terbayang bagaimana nanti emak di luar negeri sana. Tergambar juga, bagaimana aku hidup di sini nantinya.

    Ende sudah terlalu tua untuk mengurus keperluan rumah tangga. Kaki dan tangan sepuhnya tak lagi cekatan seperti dulu ketika aku kecil.

    Wajah ayah pun tiba-tiba muncul. Sebelum ia meninggal, keluarga kami baik-baik saja. Ayah bekerja di pabrik sebagai karyawan biasa. Gajinya tidak besar, tapi cukup menghidupi kami berempat. Ayah anak tunggal, kedua orang tuanya sudah tiada. Sementara, emak tiga bersaudara. Dua saudara lelakinya kini berada di luar kota bersama keluarganya. Dan ende, ibu dari emak kini bersama kami.

    Kedua kakak emakku selalu mengungkit, jika emak anak bungsu, maka ia wajib menjaga ende. Begitulah. Setelah kepergian ayah, emak lintang pungkang menghidupi kami bertiga. Hingga akhirnya emak mencari jalan pintas. Menjadi pekerja migran.

***

    Sebentar lagi, saya naik ke kelas tiga sekolah menengah pertama. Tak pernah terbayangkan sebelumnya jika emak betul-betul meninggalkanku. Hariku-hariku terasa berat. Ende terlihat berjuang sangat keras. Ia yang tak pernah pergi ke kebun, kini kembali ke kebun mencari apa pun yang bisa untuk diolah. Kedua anak lelakinya, hanya sekali menjenguk saat Idulfitri tiba. Itu pun, hanya sebentar saja. Kabarnya, bisnis restoran keluarga mereka semakin lancar. Itu menjadi alasan mereka untuk tinggal berlama-lama di kampung halaman.

    Yang aku syukuri, mereka meninggalkan uang ketika datang waktu itu, meski tak banyak, itu bisa menyambung hidup kami. Rengekan ende meminta mereka untuk tinggal lebih lama di kampung tak dihiraukan. Sepertinya, mereka memang sudah tak kerasan lagi tinggal di kampung kami. Lebih tepatnya, di rumah kami yang sangat sederhana ini.

***

    Dua tahun berlalu.

    Setahun kepergian emak, ende pergi meninggalkanku untuk selamanya. Selama itu emak tak ada kabar, bahkan sampai dua tahun menjelang tak pernah sekalipun ia memberi kabar. Aku hanya berhasil menyelesaikan sekolah sampai kelas tiga sekolah menengah pertama, ijazahku sampai saat ini belum diambil karena belum membayar uang ujian dan masih menunggak SPP berbulan-bulan. Saya pun lupa, berapa bulan lagi uang sekolahku belum terbayarkan.

    Jangan ditanya bagaimana aku berjuang sendirian setelah ketiadaan ende. Dua anak lelaki ende datang ketika ende meninggal saja. Setelah itu, aku betul-betul menjadi sebatang kara.

    Utang emak semakin menumpuk, ternyata uwak Karim selain seorang calo juga seorang rentenir. Sungguh, saya tidak tahu menahu tentang utang-piutang tersebut.

    Aku termangu memandangi emak yang baru pulang dua minggu lalu. Yah, emak memang sudah pulang, tapi ia seperti orang yang tak kukenali lagi. Emak ada, tapi hanya jasad dan namanya saja. Emak bukan lagi seorang pemimpi seperti awal-awal kepergiannya. Tak ada keterangan, tak ada pula membawa uang seperti keinginannya.
"Mak, mau makan?"

    Begitulah, selama dua minggu ini saya berusaha berinteraksi dengan emak. Mengajaknya berbincang, menyuapinya dan terkadang mengajak jalan-jalan di sekitar rumah. Sesekali, saya bertanya juga kenapa emak tak pernah memberikan kabar berita kepadaku. Ada juga, saya bertanya kepada emak di mana dia ditempatkan bekerja. Ah, malangnya, sebanyak apapun soalan kutanya, emak pasti tidak menjawabnya.



*Ende: panggilan untuk nenek di Cilegon.

***
​
Eli Yuliana, bloger yang sesekali menulis fiksi. Purna migran yang lebih sering menulis opini mengenai dunia tenaga kerja di Kompasiana. Tinggal di Jakarta. Bisa dihubungi di [email protected].

Comments are closed.

    Author

    Kumpulan Cerpen 

    Archives

    June 2025
    October 2024
    July 2024
    November 2023
    July 2023
    March 2023
    September 2022
    August 2022
    July 2022
    April 2022
    October 2021
    September 2021
    August 2021
    June 2021
    November 2019
    October 2019
    September 2018
    June 2017
    February 2017
    October 2016
    August 2016
    June 2016
    April 2016
    February 2016

    Categories

    All

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | [email protected]
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Indonesian Feminist Journal
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
    • Booklet KAFFE
  • Podcast JP
    • Radio JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
    • Biodata Penerima Beasiswa 2025