Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Indonesian Feminist Journal
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
    • Booklet KAFFE
  • Podcast JP
    • Radio JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
    • Biodata Penerima Beasiswa 2025

Tubuh, Adat, dan Kuasa: Subordinasi Perempuan dalam Ruang Sosial Tradisional

17/10/2025

0 Comments

 
PictureRumah adat masyarakat Sahu | Dok. Jeane Prescilia Pakka
​Jeane Prescilia Pakka
(Mahasiswa S-2 Sosiologi Agama, Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana)

​     Tubuh perempuan sejak lama menjadi ruang tempat berbagai tafsir sosial bertarung. Bukan hanya soal daging dan darah, melainkan simbol nilai, kehormatan, dan moralitas yang dikontrol oleh sistem budaya. Di banyak masyarakat tradisional, tubuh perempuan dianggap sebagai penanda keseimbangan sosial di mana tubuh yang harus dijaga, ditata, dan diawasi demi mempertahankan kehormatan komunitas. Namun, di balik penghormatan itu tersembunyi kuasa yang menundukkan. Perempuan disatu sisi dimuliakan, tetapi juga dibungkam oleh tafsir adat yang didominasi oleh suara laki-laki.

​     ​Desa Taboso merupakan salah satu wilayah adat masyarakat Sahu yang berada di Halmahera Barat. Sistem adat masyarakat setempat menjadi fondasi kehidupan sosial, di mana nilai, simbol, dan ritual diwariskan melalui lintas generasi untuk tetap menjaga keteraturan hidup bersama. Salah satu praktik yang memperlihatkan hubungan erat antara adat, bahasa, dan kekuasaan adalah Bobita atau pesan adat yang biasanya disampaikan oleh Adat Ma’sae (kepala adat) atau kepala desa pada upacara adat seperti pernikahan atau Orom Sasadu. Dalam tradisi ini, Bobita bukan sekadar ucapan, melainkan bentuk komunikasi moral sekaligus spiritual yang menegaskan nilai-nilai ketertiban, rasa syukur, dan penghormatan terhadap nilai leluhur. Namun di balik itu, Bobita juga menjadi medium yang memperlihatkan bagaimana struktur sosial bekerja, siapa yang berhak bicara dan siapa yang hanya boleh mendengar.

​     Selama proses adat berlangsung, perempuan hadir di setiap tahap mulai dari menyiapkan sesaji, mengatur hidangan, menyambut tamu, hingga memastikan jalannya upacara adat. Perempuan ada di pusat kehidupan sosial, tetapi tidak di pusat wacana. Hanya laki-laki yang berhak menyampaikan Bobita atau pesan adat karena suara mereka yang dianggap sah dan bermakna. Diam perempuan bukan karena ketidakmampuan mereka untuk berbicara, melainkan hasil dari konstruksi sosial yang menempatkan perempuan sebagai pendengar yang baik. Dalam ilmu sosiologi gender, situasi ini menunjukkan bentuk internalisasi dominasi ketika kelompok yang didominasi ikut mempercayai dan mempertahankan sistem yang menindasnya karena telah terbenam dalam kebiasaan budaya dan ikut tejebak dalam kalimat, “Sudah dari dulu adatnya begitu.”

​     Pierre Bourdieu menyebut mekanisme ini sebagai bentuk kekerasan simbolik yang berkuasa dan  bekerja secara halus melalui bahasa dan simbol, sehingga diterima begitu saja. Dalam konteks menyampaikan Bobita, kekuasaan simbolik hadir ketika hanya suara laki-laki yang dianggap pantas menyuarakan pesan adat. Bahasa adat yang dianggap suci menjadi alat legitimasi bagi siapa yang boleh mengucapkannya dianggap memiliki otoritas moral dan sosial. Sementara itu, perempuan hanya menjadi penjaga tradisi dalam ranah kerja, bukan dalam wacana. Akibatnya, pengalaman dan pandangan perempuan tidak pernah menjadi bagian dari narasi adat yang kolektif.

​     Kekuasaan simbolik bekerja tidak dengan kekerasan fisik, melainkan dengan membentuk kesadaran sosial agar ketimpangan tampak terlihat wajar dalam masyarakat adat. Ketika perempuan di Taboso mengatakan, “memang sudah begitu adatnya dari dulu,” sesungguhnya secara tidak sadar mereka sedang mengakui batas yang diciptakan oleh struktur itu sendiri. Apa yang dianggap “kodrat perempuan” dalam budaya adat tidak lain adalah hasil dari kebiasaan sosial yang terus diulang. Judith Butler menyebutnya sebagai performativity, identitas gender terbentuk bukan karena sifat bawaan, tetapi karena tindakan dan peran sosial yang dilakukan secara berulang kali hingga tampak alami. Dengan demikian, perempuan yang patuh, lembut, dan tidak berbicara dalam ruang adat bukanlah wujud kodrat, melainkan hasil pengulangan kultural yang mengukuhkan struktur patriarkal.

​     Namun, tradisi tidak selalu identik dengan penindasan. Adat, dalam pengertian yang lebih luas, adalah sistem makna yang hidup dan berubah bersama masyarakatnya. Dalam pandangan ini, membaca ulang adat bukan bentuk pemberontakan atau perlawanan untuk menghilangkan nilai adat, tetapi upaya untuk menemukan keadilan di dalamnya. Seperti dikatakan Bourdieu, kekuasaan simbolik dapat dipatahkan hanya jika ia disadari dan diinterupsi.

​     Dalam beberapa kesempatan informal, sebagai perempuan Sahu, saya sempat bertanya kepada salah satu tokoh adat dengan lembut namun tegas berkata, “kalau syukur itu untuk semua, kenapa hanya satu suara yang boleh menyampaikannya?” Pertanyaan sederhana ini sejatinya mengguncang fondasi lama yang menganggap suara perempuan tidak layak terdengar dalam ruang adat. Salah satu bentuk langkah kecil menuju keadilan simbolik dapat dimulai dengan membuka peluang bagi perempuan yang memiliki kapasitas spiritual dan sosial untuk ikut menyampaikan Bobita bersama dengan para laki-laki adat. Dengan begitu, pesan syukur yang diucapkan di bawah atap Sasadu akan sungguh mencerminkan keseimbangan spiritual dan moralitas.

​     Beberapa daerah lain di Indonesia menunjukkan bahwa pelibatan perempuan tidak mengurangi kesakralan adat, melainkan memperkaya maknanya. Di Toraja misalnya, perempuan turut menjadi penyampai pesan adat tanpa menurunkan martabat upacara adat. Hal serupa dapat dibayangkan terjadi di Taboso jika kesadaran kolektif diarahkan pada semangat kebersamaan, bukan pemisahan peran berdasarkan gender. Sebab, adat yang hidup adalah adat yang mampu menafsir ulang dirinya sendiri. Ketika perempuan diberi ruang untuk menyampaikan pesan adat atau Bobita, mereka tidak sedang mengambil alih posisi laki-laki, melainkan sedang memperluas makna spiritual dan sosial dari ritual itu sendiri. Dengan cara ini, tubuh perempuan tidak lagi menjadi simbol yang dikontrol, tetapi tubuh yang memiliki daya spiritual untuk berbicara, menafsir, dan memberi makna pada kehidupan bersama.

​     Tulisan ini tidak bermaksud untuk menentang adat-istiadat yang sudah ada dan sudah lama dijaga oleh masyarakat Sahu di Taboso, melainkan mengajak seluruh masyarakat adat untuk membaca ulang kekayaan budaya dengan pandangan yang lebih adil gender. Cinta terhadap tradisi tidak berarti memuja masa lalu tanpa kritik, tetapi berani mengoreksi agar ia tetap relevan ditengah perubahan zaman. Sebab keadilan tidak pernah lahir dari diam, melainkan dari keberanian untuk berbicara bahkan jika suara itu terdengar pelan.
Mungkin, suatu hari nanti di Taboso, Bobita akan benar-benar menjadi milik semua orang baik itu laki-laki, perempuan, tua dan muda, yang bersatu menyuarakan syukur dalam keadilan dan kasih.
 
Daftar Pustaka
Bourdieu, Pierre. Language and Symbolic Power. Cambridge: Harvard University Press, 1991.
Butler, Judith. Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity. New York: Routledge, 1990.
Connell, R. W. Gender and Power: Society, the Person, and Sexual Politics. Stanford: Stanford University Press, 1987.
Walby, Sylvia. Theorizing Patriarchy. Oxford: Basil Blackwell, 1990.
0 Comments



Leave a Reply.

    Author

    Sahabat Jurnal Perempuan

    Archives

    October 2025
    September 2025
    August 2025
    July 2025
    June 2025
    May 2025
    January 2025
    November 2024
    October 2024
    September 2024
    July 2024
    April 2024
    March 2024
    December 2023
    November 2023
    October 2023
    September 2023
    July 2023
    May 2023
    March 2023
    February 2023
    December 2022
    November 2022
    October 2022
    September 2022
    August 2022
    July 2022
    June 2022
    May 2022
    April 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021

    Categories

    All

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | [email protected]
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Indonesian Feminist Journal
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
    • Booklet KAFFE
  • Podcast JP
    • Radio JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
    • Biodata Penerima Beasiswa 2025