Try Suriani Loit Tualaka (Mahasiswi Semester 7, Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nusa Cendana. Try berasal dari Kota Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan). Masyarakat di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dikenal dengan sapaan “Atoin Meto” atau “Atoin Pah Meto” yang merupakan sebutan bagi masyarakat TTS dalam bahasa Dawan (Uab Meto). Secara harfiah, “Atoin” berarti “orang”, “Pah” berarti “tanah”, dan “Meto” berarti “kering”. Jadi, Atoin Pah Meto dapat diartikan sebagai “orang yang tinggal di tanah yang kering” (Ethelbert et al., 2022). Atoin Meto terdiri dari berbagai sub-suku, termasuk suku Mollo (O'Enam), Amanatun (Onam), dan Amanuban (Banam) yang berada di Kabupaten TTS, serta suku Biboki, Insana, dan Miomafo yang terdapat di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Selain itu, ada juga suku Kopas, Amfoang, Fatuleu, dan Sonba'i (Tualaka, 2018). Masyarakat Atoin Pah Meto masih sangat menjunjung tinggi budaya patriarki dalam keseharian mereka. Hal ini tercermin dari setiap kegiatan dan kebiasaan yang selalu mereka lakukan. Salah satu budaya yang menjadi ciri khas Atoin Pah Meto dikenal dengan istilah budaya mengunyah sirih pinang yang disebut dengan istilah “mama puah manus” disuguhi dalam wadah yang disebut “oko’mama”, seperti pada gambar di bawah ini. Sumber: mumolok.blogspot.com Eksistensi budaya oko’mama bukan sekadar makan sirih pinang biasa, tetapi mencerminkan identitas diri, pandangan hidup, dan sarana sosial yang telah ada sejak dulu. Penelitian yang dilakukan oleh Diaspora Tualaka tentang “Degradasi fungsi, makna dan nilai budaya oko’mama pada komunitas tutur Uab Meto” menjelaskan bahwa budaya oko’mama merupakan salah satu bentuk peninggalan leluhur atoin meto, yang menjadi salah satu simbol budaya dan merupakan simpul persahabatan dan kekerabatan sosial dalam masyarakat Atoin Pah Meto. Budaya Oko’mama dari Atoin Meto memiliki makna mendalam dalam aspek fisik dan simbolis, melambangkan kebersamaan dan keterbukaan dalam masyarakat melalui bentuk persegi yang mengisyaratkan komunikasi dari segala arah tanpa membedakan status sosial. Dinding panjang dan pendeknya menggambarkan keutuhan dan kesatuan, sementara ruang terbuka dan tertutupnya mewakili keterbukaan untuk ide dan tempat menyimpan aspirasi. Motif-motif khas pada dindingnya menunjukkan kekayaan budaya dan kemampuan memanfaatkan alam. Isian oko’mama, seperti sirih dan pinang, menyimbolkan peran gender-laki-laki dan perempuan serta kehangatan keluarga dan persatuan sosial. Warna merah dari hasil mamah sirih-pinang melambangkan hasil gotong royong yang tulus, dan kehadiran uang menjadi simbol permohonan izin penting. Dalam masyarakat Atoin Meto, budaya oko’mama juga mengangkat kesetaraan gender, di mana perempuan memiliki peran sentral dalam rumah tangga, hak atas warisan, dan pelaksanaan ritual adat, sehingga menjadi penjaga nilai dan identitas budaya komunitas. Namun, hal yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat adalah diskriminasi, adanya kelas sosial, alienasi terhadap perempuan, subordinasi gender dan masalah lain yang berbanding terbalik dengan simbol dari budaya oko’mama yang turut memperjuangkan kesetaraan gender. Melekatnya budaya patriarki di dalam masyarakat Atoin Pah Meto menjadi salah satu hambatan dalam mewujudkan gender equality. Atoin Pah Meto sering memposisikan perempuan dalam urusan dapur, ranjang, dan mengasuh anak atau dalam hal ini perempuan selalu diidentikan dengan pekerjaan domestik, sehingga kesempatan perempuan untuk menempuh pendidikan tinggi sangat terbatas. Di sisi lain, kita juga berbicara tentang kesetaraan gender sebagai salah satu tujuan global yang sangat penting dalam membangun masyarakat yang adil dan inklusif. Kesetaraan gender menjadi salah satu tujuan dalam Sustainable Development Goals (SDGs), perhatian serius dari kesetaraan gender dalam SDGs didasari atas keterbatasan dalam perbaikan ketimpangan gender selama lima belas tahun era Millennium Development Goals (MDGs). Kesetaraan gender terdiri dari target-target penting yang perlu dicapai, yakni mengakhiri segala bentuk diskriminasi terhadap semua perempuan dan anak perempuan; mengurangi segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan pada ruang publik dan privat, termasuk perdagangan orang dan seksual dan bentuk eksploitasi lainnya; menghapuskan bentuk-bentuk praktik yang membahayakan, seperti perkawinan anak, dini, paksa dan sunat pada perempuan; memastikan semua perempuan berpartisipasi penuh dan mendapat kesempatan yang sama untuk kepemimpinan pada semua level pengambilan keputusan dalam kehidupan politik, ekonomi dan publik; memastikan akses universal dan inklusif terhadap kesehatan seksual dan reproduksi; dan menghargai pelayanan dan kerja domestik yang tidak dibayar melalui penyediaan pelayanan publik, seperti Pedoman Teknis Penyusunan Rencana Aksi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau SDGs. Selempang sebagai Perpanjangan Tangan dari Simbolik Birokrasi Banyak sekolah dan institusi pendidikan, termasuk lembaga swasta dan lembaga pemerintah, yang membuat program sekolah untuk perempuan maupun laki-laki. Salah satunya adalah Sekolah Perempuan yang dilaksanakan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Kabupaten TTS. Program ini dikembangkan dari Kebijakan Pengarusutamaan Gender (PUG) yang diimplementasikan untuk mewujudkan kesetaraan gender. Sekolah Perempuan atau dalam Bahasa Dawan dikenal dengan istilah “Skol Bifemeto” di awali dengan sosialisasi dan pembentukan, lalu pelatihan-pelatihan, dan di akhiri dengan wisuda Sekolah Perempuan. Hingga saat ini, sudah ada 20 sekolah perempuan yang dibentuk oleh Dinas PPPA Kabupaten TTS yang terpencar di berbagai kecamatan. Wisuda dalam kegiatan Sekolah Perempuan ini menjadi salah satu tradisi wisuda dengan penggunaan pakaian adat dan dipadukan dengan salempang yang bertuliskan “Wisuda Sekolah Perempuan”, seperti pada gambar di bawah ini. Bagi perempuan Timor atau bife meto di Kabupaten TTS menganggap program Sekolah Perempuan yang berakhir dengan wisuda ini membuat kesenangan dan kebanggaan tersendiri bagi mereka. Karena dengan mengikuti program ini, mereka bisa merasakan wisuda seperti yang dirasakan oleh lebih banyak laki-laki yang berpendidikan tinggi. Sejarah selempang dalam dunia pendidikan awalnya diperkenalkan sebagai simbol kehormatan dan prestasi akademik yang diraih. Secara simbolis, selempang ini melambangkan perjalanan panjang yang telah ditempuh oleh seseorang untuk mencapai pendidikan dan pemberdayaan diri. Namun, dalam konteks kesetaraan gender di Kabupaten TTS, keberadaan selempang wisuda Skol Bifemeto terkadang terjebak dalam narasi simbolis semata tanpa mempengaruhi perubahan mendasar yang diharapkan. Jika ditelaah lebih dalam, simbol-simbol seperti selempang wisuda belum tentu benar-benar efektif dalam memperjuangkan kesetaraan gender, karena hal ini merujuk pada bentuk simbolik birokrasi belaka.
Realita di balik penggunaan salempang wisuda Skol Bifemeto sebagai simbol dapat diartikan sebagai penghargaan atas pencapaian pendidikan. Penggunaannya sering kali lebih menekankan aspek estetika dan seremonial. Banyak institusi pendidikan perempuan menggunakan simbol ini untuk menunjukkan bahwa mereka mendukung pemberdayaan perempuan, tetapi di balik upaya tersebut, kondisi kesetaraan gender di lapangan masih jauh dari harapan. Meski selempang menjadi bagian dari ritus pencapaian, hal tersebut tidak selalu mencerminkan peningkatan akses terhadap kesempatan yang setara di dunia kerja, atau peran perempuan dalam pengambilan keputusan penting di berbagai sektor. Pada akhirnya, upaya mencapai kesetaraan gender harus dibarengi dengan kebijakan yang nyata, bukan hanya sekadar simbolik yang menarik perhatian publik. Ketika selempang wisuda Sekolah Perempuan hanya digunakan sebagai formalitas dalam upacara wisuda tanpa adanya langkah nyata untuk memajukan peran perempuan dalam masyarakat, maka kita menghadapi apa yang bisa disebut sebagai simbolik birokrasi. Ini mengacu pada praktik di mana institusi secara formal mengadopsi simbol-simbol kesetaraan gender, tetapi tidak mengimplementasikan kebijakan atau tindakan nyata yang efektif untuk mencapai tujuan tersebut. Hal ini menjadikan penggunaan selempang wisuda Skol Bifemeto sebagai contoh dari simbolik birokrasi ketika maknanya hanya berhenti pada seremoni. Institusi mungkin tampak berkomitmen pada kesetaraan gender dengan mengadopsi elemen visual seperti selempang, tetapi tanpa strategi pendidikan yang benar-benar mendukung perempuan untuk berkembang, simbol-simbol tersebut kehilangan esensinya. Dalam menapaki setiap perjalanan menuju kesetaraan yang nyata di Kabupaten TTS, keadilan gender di bidang pendidikan perempuan harus diwujudkan melalui kebijakan yang jelas, seperti mendorong keterlibatan perempuan dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan kepemimpinan. Hal ini harus dimulai dari pembenahan kurikulum, pemberian akses yang setara pada program-program pendidikan, hingga menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi perempuan untuk berkembang. Oleh karena itu, penggunaan simbol seperti selempang wisuda harus dilihat sebagai pelengkap, bukan pengganti dari tindakan nyata yang dibutuhkan untuk mewujudkan kesetaraan gender. Jika tidak, simbol ini hanya akan menjadi ornamen seremonial yang tidak memberikan dampak nyata pada pemberdayaan perempuan di masyarakat. Selempang wisuda di sekolah-sekolah perempuan memang memiliki makna simbolis yang dalam, tetapi dalam konteks kesetaraan gender, kita harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam simbolisme birokrasi semata. Upaya mencapai kesetaraan gender harus mencakup langkah-langkah konkrit yang memungkinkan tidak saja kaum perempuan tetapi juga laki-laki untuk mengakses pendidikan, pekerjaan, dan peran-peran strategis yang setara. Dengan demikian, selempang wisuda akan benar-benar mencerminkan prestasi dan kemajuan nyata, bukan sekadar simbol tanpa aksi nyata. Referensi Ethelbert, Y. K., Pratama, M. R., & Dhosa, D. D. (2022). Tradisi Nono, Ume Dan Uf Atoin Meto Di Timor Dan Relevansinya Terhadap Budaya Organisasi Sektor Publik. Jurnal Ilmiah Dinamika Sosial, 6(2), 192–206. https://doi.org/10.38043/jids.v6i2.3591 Pedoman Teknis Penyusunan Rencana Aksi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Tpb)/ Sustainable Development Goals (SDGs). (n.d.). Tualaka, D. (2018). Degradasi Fungsi, Makna Dan Nilai Budaya Oko’ Mama Pada Komunitas Tutur Uab Meto’. Januari, 4(1), 51.
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorSahabat Jurnal Perempuan Archives
October 2024
Categories |