![]() Gloria Sarah Saragih (Mahasiswa S1 Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia) Di tengah dunia yang dikuasai kapitalisme, patriarki, rasisme, dan berbagai sistem penindasan lainnya, istirahat seringkali dipandang sebagai kemewahan atau kelemahan. Namun, bagi kelompok rentan, istirahat bukan sekadar jeda dari kerja, melainkan sebuah tindakan politis. Istirahat adalah bentuk perlawanan terhadap tekanan sistemik untuk terus berproduksi, beban ganda yang dihadapi oleh perempuan, norma-norma gender yang menindas, dan eksploitasi yang tidak berkesudahan. Istirahat melampaui kebutuhan personal dan memasuki ranah politis. Dengan beristirahat, bukan sekedar ketidakhadiran dari aktivitas, tetapi juga sebuah tindakan radikal melawan sistem yang mengkomodifikasi tubuh serta memperpetuasi kelelahan. Istirahat akan diposisikan sebagai elemen fundamental dari perawatan diri (self-care) dan keberlangsungan komunitas. Istirahat adalah Pembebasan Kapitalisme modern memaksakan tuntutan untuk terus berproduksi. Dalam dunia yang diatur oleh logika efisiensi dan keuntungan, tubuh manusia sering kali dipandang sebagai alat produksi yang harus dimaksimalkan. Kapitalisme bahkan berusaha untuk "mencuri waktu" dari manusia, yaitu dengan meminimalkan waktu istirahat dan tidur demi menambah waktu kerja dan konsumsi. Hal ini terlihat jelas dalam pola kerja yang fleksibel tapi eksploitatif, ketika batas antara waktu kerja dan waktu istirahat di masa kini semakin kabur. Pada kondisi seperti ini, memilih untuk beristirahat adalah bentuk penolakan terhadap eksploitasi tubuh. Istirahat menjadi cara untuk merebut kembali otonomi atas tubuh dan waktu, serta menolak logika kapitalisme yang mendikte nilai hidup manusia hanya berdasarkan produktivitas. Sebagai contoh, perjuangan gerakan buruh di abad ke-19 untuk delapan jam kerja sehari mencerminkan pentingnya menuntut waktu untuk istirahat. Namun, ideal ini semakin terkikis dalam masyarakat modern yang memprioritaskan kerja di atas kesejahteraan. Dalam konteks ini, istirahat adalah tindakan yang secara langsung melawan ideologi kapitalisme. Tempat atau kerja-kerja yang menyediakan ruang istirahat juga bukan berarti menjadi tempat atau kerja yang memberi kebebasan. Hadirnya ketersediaan ruang istirahat di tempat kerja bisa jadi bertujuan agar tubuh menjadi lebih produktif setelah waktu istirahat. Tidak hanya itu, bisa pula merupakan upaya tempat kerja menyiasati biaya kesehatan yang tinggi akibat kelelahan kerja itu sendiri. Apa yang ingin dikemukakan dengan beristirahat adalah tubuh manusia bukanlah mesin produksi, bahkan jauh melampaui itu.
Sebagai bentuk perlawanan, istirahat harus didefinisikan ulang sebagai bentuk penolakan untuk berpartisipasi dalam sistem produktivitas yang tidak pernah berhenti. Penolakan ini mencerminkan kritik Marxis terhadap kerja, dimana kebutuhan biologis tubuh untuk istirahat bertentangan dengan tuntutan kapitalisme untuk menghasilkan tanpa henti. Dalam hal ini, istirahat menjadi klaim atas waktu—waktu untuk diri sendiri, penyembuhan, dan perawatan kolektif. Feminisme, Istirahat, dan Interseksionalitas Audre Lorde menyatakan, "Caring for myself is not self-indulgence, it is self-preservation, and that is an act of political warfare". Tulisan Lorde menunjukkan bagaimana istirahat beririsan dengan isu-isu ras, gender, dan kelas. Bagi perempuan kulit hitam, yang sering menanggung beban ganda dari rasisme, seksisme, dan klasisme, istirahat menjadi bentuk perlawanan yang vital. Bagi perempuan, terutama perempuan kulit berwarna, istirahat juga merupakan pembebasan dari beban ganda. Beban ini merujuk pada tanggung jawab domestik yang harus dijalankan di samping pekerjaan formal. Menurut Combahee River Collective, perempuan kulit hitam sering kali berada di garis depan perjuangan melawan rasisme, seksisme, dan klasisme, sambil tetap harus menjalankan peran tradisional sebagai pengasuh dan penyokong keluarga. Melanie Lindsay dalam kajiannya terhadap feminisme kulit hitam, menunjukkan bagaimana Lorde dan Maya Angelou memandang perawatan diri sebagai tindakan individual dan kolektif. Mereka memosisikan istirahat sebagai bagian dari kerangka pembebasan kulit hitam, menantang komodifikasi perawatan diri yang hanya berorientasi pada individu atau konsumsi. Dalam konteks ini, istirahat adalah tindakan feminis yang melawan struktur patriarki dan rasis yang mendiskreditkan serta mengeksploitasi tubuh-tubuh yang terpinggirkan. Gerakan pembebasan kulit hitam telah lama memusatkan istirahat dan perawatan sebagai elemen esensial dari perlawanan. Harriet Tubman, Sojourner Truth, dan aktivis modern seperti Patrisse Cullors menekankan pentingnya pelestarian diri di tengah penindasan sistemik. Dehumanisasi tubuh kulit hitam selama perbudakan dan kapitalisme didasarkan pada kerja paksa dan pengingkaran atas hak untuk beristirahat. Gerakan kontemporer seperti Black Lives Matter merebut kembali istirahat sebagai bentuk otonomi tubuh dan penolakan terhadap sistem yang mengkomodifikasi kehidupan kulit hitam. Dengan cara ini, istirahat menjadi alat untuk bertahan hidup dan pemberdayaan kolektif. Istirahat sebagai perlawanan juga menentang ideologi ableisme dan homofobia yang mempromosikan produktivitas dan heteronormativitas sebagai ideal sosial. Kapitalisme yang mengidealkan tubuh "produktif" meminggirkan individu yang tidak mampu atau tidak ingin memenuhi standar ini, termasuk komunitas disabilitas dan queer. Istirahat sebagai Praktik Kolektif dan Radikal Dimensi kolektif dari istirahat menyoroti potensinya untuk mentransformasi. Dalam upaya membongkar sistem penindasan, istirahat harus dipahami sebagai praktik yang dibagi bersama. Perawatan komunitas menyediakan model untuk melawan isolasi dan membangun ketergantungan yang saling menguntungkan, memastikan bahwa istirahat dapat diakses oleh semua orang. Istirahat tidak terbatas pada kasur dan bantal, istirahat bisa menyerupai bentuk apapun, seperti melakukan penyembuhan atau perawatan diri, menyelenggarakan support group, menulis, crocheting, dan sebagainya yang bertujuan untuk mengambil jarak dari pekerjaan produktif yang menindas. Maka, istirahat lebih dari sekadar tindakan pribadi; itu adalah tindakan politis yang menantang fondasi sistem penindasan. Dalam merebut kembali istirahat, kita menegaskan nilai intrinsik kemanusiaan di luar produktivitas dan menolak komodifikasi waktu dan tubuh. Dengan merebut kembali istirahat, kita merawat diri sendiri dan komunitas, sambil membongkar struktur yang menyebabkan kelelahan dan eksploitasi. Istirahat adalah perlawanan radikal yang menawarkan harapan akan dunia yang lebih adil, manusiawi, dan penuh kasih. Referensi Lindsay, M. M. (2022). An exploratory analysis of how Maya Angelou, Audre Lorde, and Patrisse Cullors radicalized the meaning and practice of self-care. ProQuest Dissertations & Theses Global. Rogers, E. L. (2016). Review of 24/7: Late capitalism and the ends of sleep, Becoming Insomniac: How Sleeplessness Alarmed Modernity, Dangerously Sleepy: Overworked Americans and the Cult of Manly Wakefulness, & The Slumbering Masses: Sleep, Medicine, and Modern American Life by J. Crary, L. Scrivner, A. Derickson, & M. J. Wolf-Meyer. Dialectical Anthropology, 40(3), 305–318.
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorSahabat Jurnal Perempuan Archives
January 2025
Categories |