Perjuangan Wollstonecraft: Melawan Pernikahan Dini dan Menuntut Hak Pendidikan Anak Perempuan25/6/2025 Dok. Penulis Khairullah Arsyad ( Mahasiswa S2 Universitas Hasanuddin) Pernikahan dini sebagaimana menjadi kenyataan pahit yang dialami oleh jutaan anak perempuan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Di balik alasan adat, moralitas, dan kesopanan, praktik ini terus hidup dan merampas masa depan anak-anak yang seharusnya sedang duduk di bangku sekolah. Angin segar perlahan mendera dengan melihat data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia yang menunjukkan bahwa angka perkawinan anak menurun menjadi 6,92 persen pada tahun 2023, melampaui target RPJMN sebesar 8,74 persen (Kemen PPPA, 2024). Namun, itu bukan salah satu alasan selesainya problematika pernikahan dini yang semakin hari timbul ke permukaan. Dampak pernikahan dini sangat luas dan mendalam. Anak-anak perempuan yang menikah muda sering kali harus putus sekolah, kehilangan hak atas pendidikan, dan terpaksa menjalani peran sebagai istri dan ibu sebelum mereka matang secara fisik dan psikologis. Secara kesehatan, mereka berisiko tinggi mengalami komplikasi kehamilan dan persalinan karena tubuh yang belum berkembang sepenuhnya. Selain itu, ketidaksiapan mental untuk menjalani kehidupan rumah tangga dapat menyebabkan stres, depresi, dan rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Dari sisi ekonomi juga, anak perempuan yang menikah dini cenderung terperangkap dalam lingkaran kemiskinan karena tingkat pendidikan dan keterbatasan akses terhadap pekerjaan yang relevan apalagi dikatakan layak. Keputusan ini bukan diambil oleh mereka sendiri, melainkan dipaksakan oleh keluarga karena tekanan ekonomi, norma budaya, atau alasan kehormatan keluarga (Ahadyah, 2025). Pernikahan dini, dengan demikian, bukan sekadar persoalan pribadi; ia adalah bentuk kekerasan struktural yang dilembagakan oleh masyarakat dan sistem hukum yang lemah.
Secara hukum, Indonesia memang telah mengalami kemajuan. Pada tahun 2019, Undang-Undang Nomor 16 tentang Perkawinan direvisi, menaikkan batas usia minimal pernikahan bagi perempuan dari 16 menjadi 19 tahun, menyamakan dengan batas usia bagi laki-laki. Namun, celah besar masih terbuka melalui mekanisme dispensasi kawin di pengadilan agama, dapat dilihat bahwa permohonan dispensasi nikah ke Pengadilan Agama naik hingga 200 persen dalam beberapa waktu terakhir. Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah, mengungkapkan bahwa terdapat beberapa alasan yang menyebabkan orang tua mengajukan dispensasi tersebut. Pertama, tradisi atau budaya yang masih memandang perempuan yang telah menstruasi dianggap siap menikah. Kedua, sering kali orang tua mengajukan dispensasi untuk menutupi "aib" akibat kehamilan di luar nikah (BBC News Indonesia, 2023). Melihat kenyataan ini, penting untuk kita untuk mengingat kembali tokoh perempuan yang telah memperjuangkan hak anak perempuan untuk bebas dari belenggu patriarki. Salah satunya adalah Mary Wollstonecraft, filsuf dan penulis Inggris yang menulis karya revolusioner berjudul A Vindication of the Rights of Woman (1792). Wollstonecraft menyampaikan pemikiran yang sangat radikal pada masanya, bahwa perempuan bukanlah makhluk inferior yang diciptakan hanya untuk melayani laki-laki, tetapi manusia rasional yang memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan dan menentukan jalan hidupnya. Mary Wollstonecraft mengkritik budaya pernikahan dini terutama dalam konteks bagaimana perempuan sering menjadi korban ketidakadilan dan ketergantungan akibat pernikahan yang dipaksakan atau tanpa persetujuan penuh, yang membuat mereka terjebak dalam kesengsaraan dan hilangnya kebebasan. Hal ini terlihat dalam narasi tentang seorang gadis yang dijodohkan oleh ayahnya dan kemudian mengalami penderitaan karena kehilangan dukungan dan kebebasan, serta bagaimana pernikahan tanpa persetujuan dapat menimbulkan penderitaan yang besar bagi perempuan (Wollstonecraft, 1792). Perjuangan Wollstonecraft dapat menjadi pedoman untuk dibawa kembali ke dalam ranah Indonesia. Di berbagai daerah, praktik pernikahan dini masih dilegitimasi oleh tafsir budaya dan agama nan konservatif. Anak-anak perempuan dianggap sebagai beban ekonomi yang harus segera dinikahkan agar tidak menjadi “aib” atau “beban” keluarga. Akhirnya pendidikan mereka dikesampingkan, impian mereka dikorbankan atas nama tradisi. Sayangnya, sistem hukum Indonesia belum cukup berpihak kepada anak-anak perempuan. Proses pengajuan dispensasi kawin tidak cukup ketat dan sering kali mengabaikan kepentingan terbaik bagi anak. Anak bahkan tidak diberi ruang untuk menyampaikan pendapat. Ini adalah bentuk normalisasi terhadap praktik yang seharusnya sudah ditinggalkan. Hukum memang berubah, tetapi tanpa pengawasan, edukasi masyarakat, dan perubahan sosial yang menyeluruh, praktik pernikahan dini akan terus berulang seperti tidak ada perubahan. Penegasan dengan menaikkan batas usia pernikahan, negara harus hadir dengan melarang pernikahan di bawah usia 18 tahun, perizinan dispensasi kecuali hanya keadaan luar biasa itupun secara ketat. Pemerintah juga perlu memperkuat program pendidikan bagi anak perempuan, terutama di daerah-daerah terpencil dan tertinggal. Stakeholder harus dilibatkan aktif dalam membentuk narasi baru yang mengedepankan kesetaraan gender dan penghormatan terhadap hak anak, khususnya perempuan. Jauh dari itu, perlu kesadaran cara pandang. Kita harus berhenti melihat anak perempuan sebagai objek yang harus dijaga kehormatannya dengan jalan nikah muda. Seyogyanya, melihat mereka sebagai individu yang punya hak, potensi, dan masa depan yang sama dengan laki-laki dan anak seusianya. Setiap anak perempuan berhak untuk bermimpi, belajar, dan tumbuh tanpa rasa takut bahwa suatu hari nanti hidupnya akan diputuskan oleh orang lain atas nama hukum dan stigma sosial. Melawan pernikahan dini merupakan aspek dari perjuangan panjang menuju masyarakat adil dan setara. Seperti Mary Wollstonecraft yang berani menulis dan melawan tatanan sosial zamannya yang patriarkal, perempuan pun harus berani mengatakan bahwa pernikahan dini adalah bentuk kekerasan yang tidak bisa lagi ditoleransi. Pernikahan dini bukan takdir, melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan sebagai hak yang justru diberikan oleh tuhan. Referensi: Ahadyah, S. (2025, 28 Mei). Kenali Dampak Pernikahan Dini. Radio Republik Indonesia. Diakses melalui https://www.rri.co.id/nunukan/lain-lain/1546446/kenali-dampak-pernikahan-dini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. (2024, Mei 1). Menteri PPPA: Angka Perkawinan Anak Turun Menjadi 6,92 Persen, Lampaui Target RPJMN. Siaran Pers Nomor: B-116/SETMEN/HM.02.04/05/2024. Diakses melalui https://www.kemenpppa.go.id/page/view/NTE3MA==# Wollstonecraft, M. (1792). A vindication of the rights of woman. Feedbooks.
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorSahabat Jurnal Perempuan Archives
October 2025
Categories |

RSS Feed