Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Indonesian Feminist Journal
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Podcast JP
    • Radio JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
    • Biodata Penerima Beasiswa 2025

Menyemai Perlawanan: Peran Strategis Gerakan Akar Rumput untuk Advokasi Penghapusan Kekerasan Seksual di Tingkat Pendidikan Tinggi

3/6/2025

0 Comments

 
PictureDok. Ningdyah Lestari
Ningdyah Lestari
(Mahasiswa S-1 Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia)

     Kekerasan seksual telah menjadi persoalan pelik yang menghantui berbagai sendi masyarakat Indonesia, tak terkecuali lingkungan pendidikan tinggi. Kampus, yang semestinya menjadi ladang ilmu dan ruang aman untuk tumbuh dan mengembangkan potensi, sering kali justru menjadi area praktik-praktik kekerasan yang tersembunyi di balik tabir akademik. Menurut data dari GoodStats, per 12 Desember 2024, kasus kekerasan seksual di ranah perguruan tinggi mencapai 78 persen dari total keseluruhan kasus yang termasuk dalam kategori "tiga dosa besar" pendidikan (kekerasan seksual, perundungan, dan intoleransi) antara tahun 2021–2024. Data ini menunjukkan bahwa perguruan tinggi menjadi lingkungan pendidikan dengan kasus kekerasan seksual terbanyak.

     Persoalan kekerasan seksual di pendidikan tinggi tidak dapat dilihat secara satu dimensi. Mengenai hal ini, kekerasan seksual bukan sekadar persoalan moral individu, melainkan persoalan struktural yang membutuhkan pembacaan kritis dan respons kolektif. Untuk itu, dalam perjalanannya, telah dilakukan berbagai upaya untuk menanggulangi kasus kekerasan seksual, khususnya di ranah pendidikan tinggi. Salah satu langkah signifikan adalah melalui pengeluaran Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi. Upaya signifikan selanjutnya juga dilakukan melalui disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada tahun 2022, yang menjadi payung hukum lebih luas dalam penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di Indonesia. Peraturan-peraturan tersebut memberikan definisi kekerasan seksual yang cukup progresif, mencakup berbagai bentuk tindakan yang melanggar integritas tubuh dan kehendak korban, serta secara eksplisit memperhitungkan relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban, sebuah aspek yang selama ini kerap diabaikan.

     Selain itu, sebagai tindak lanjut dari peraturan-peraturan tersebut, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mendorong pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) di setiap perguruan tinggi. Satgas ini memiliki mandat untuk menyusun kebijakan internal, menerima laporan kasus, melakukan investigasi awal, serta merekomendasikan tindakan penanganan. Keberadaan Satgas diharapkan menjadi garda depan dalam menciptakan ruang aman di lingkungan akademik.

     Kendati demikian, meski perangkat hukum dan institusional telah disusun dan ditetapkan, masih terdapat persoalan yang lebih terselubung dan mengakar. Dalam praktiknya, banyak perguruan tinggi yang belum sepenuhnya menerapkan kebijakan secara konsisten dan menyeluruh. Pada banyak situasi, kekerasan seksual direduksi menjadi isu administratif atau reputasional semata, sehingga mengabaikan dimensi hak asasi dan keadilan yang seharusnya menjadi pijakan utama. Mengenai hal ini, ada beberapa faktor kunci yang kerap kali melanggengkan situasi tersebut.

Kurangnya Konsistensi Implementasi: Mandeknya Satgas karena Minimnya Dukungan Institusional

     Meskipun keberadaan Satgas PPKS di berbagai perguruan tinggi telah diatur secara normatif melalui Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021, implementasinya di tingkat institusi masih menghadapi berbagai tantangan serius. Salah satu persoalan mendasar adalah inkonsistensi pelaksanaan tugas dan fungsi satgas akibat kurangnya dukungan institusional yang memadai, baik dalam bentuk sumber daya, legitimasi kelembagaan, maupun keberpihakan politis dari otoritas kampus.

     Contoh konkrit dari situasi ini dapat dilihat dalam kasus di Universitas Indonesia. Pada tahun 2023, tahun 2024, hingga tahun 2025, Satgas PPKS UI sempat tidak berfungsi secara aktif dalam kurun waktu tertentu. Hal ini menciptakan kekosongan mekanisme formal yang sangat berbahaya, karena tidak hanya memperlambat proses pelaporan dan penanganan kasus, tetapi juga menjadi indikasi bahwa isu kekerasan seksual bukanlah prioritas utama bagi institusi. Tanpa dukungan administratif dan politik yang kuat dari pimpinan universitas, keberadaan Satgas bisa menjadi simbol kosong yang tidak berdampak signifikan. Padahal, keberlangsungan satgas bukan sekadar soal prosedur, tetapi merupakan indikator komitmen institusi terhadap keadilan bagi kelompok rentan dan hak asasi manusia di lingkungan akademik.

     Dalam kerangka teoritis feminis, fenomena ini dapat dibaca sebagai bentuk institutional inertia, yakni resistensi institusi terhadap perubahan struktural yang menyentuh relasi kuasa dan dominasi simbolik (Connell, 2005). Konsep ini menekankan bahwa lembaga-lembaga formal sering kali mempertahankan status quo karena struktur internal dan nilai-nilai dominan yang sudah terlegitimasi secara mendalam. Dalam konteks pendidikan tinggi, institutional inertia bekerja melalui birokrasi, budaya organisasi, dan politik institusional yang enggan mengadopsi pendekatan berbasis keadilan gender secara menyeluruh.

     Feminisme radikal, seperti dijelaskan oleh MacKinnon (1989), menekankan bahwa kekerasan seksual bukanlah anomali individu semata, melainkan bagian dari struktur dominasi laki-laki atas perempuan yang terlegitimasi dalam sistem sosial, hukum, dan pendidikan. Kekerasan seksual, dalam pandangan ini, merupakan alat kekuasaan patriarkal untuk mempertahankan subordinasi gender, yang kemudian dinormalisasi melalui diamnya institusi. Dalam kerangka ini, mandeknya kerja satgas tidak hanya menjadi persoalan teknis atau administratif, tetapi mencerminkan logika kekuasaan yang secara sistemik menolak untuk digugat secara fundamental.

Mahasiswa sebagai Agen Perubahan Struktural

     Dalam menghadapi stagnasi institusional dan resistensi terhadap perubahan, kehadiran gerakan akar rumput oleh mahasiswa menjadi elemen yang krusial. Ketika institusi cenderung mempertahankan status quo melalui berbagai bentuk institutional inertia, mahasiswa memiliki posisi strategis untuk menjadi pengganggu produktif (productive disruptors) terhadap ketimpangan struktural tersebut. Hal ini tidak hanya karena mahasiswa merupakan bagian langsung dari ekosistem kampus, tetapi juga karena mereka membawa pengalaman yang beragam, termasuk sebagai individu dari kelompok rentan yang paling terdampak oleh praktik kekerasan seksual. Dalam konteks ini, penting untuk dipahami bahwa perubahan yang berarti tidak hanya dapat dihasilkan dari intervensi struktural akar rumput semata, melainkan juga dari pembangunan kesadaran kolektif di tingkat komunitas. Upaya ini mencakup edukasi kritis, solidaritas antarindividu dan kelompok, hingga pembentukan ruang-ruang aman yang mampu melawan narasi dominan yang menyudutkan korban.

     Selain itu, gerakan akar rumput oleh mahasiswa juga memegang peran strategis sebagai aktor pengawas institusional yang tak terpisahkan dari proses demokratisasi di lingkungan kampus. Sebagai bagian dari komunitas akademik yang memiliki legitimasi sosial dan politik dalam struktur universitas, mahasiswa memiliki kapasitas unik untuk menuntut pertanggungjawaban dari institusi. Dalam konteks kekerasan seksual, tekanan kolektif dari mahasiswa menjadi krusial dalam advokasi penyusunan kebijakan yang berpihak pada korban, penguatan dan keberlanjutan kerja Satgas PPKS, serta mekanisme evaluasi berkala terhadap implementasi regulasi. Hal-hal tersebut merupakan bentuk intervensi kritis yang lahir dari kesadaran akan ketimpangan struktural.

     Lebih dari itu, keterlibatan mahasiswa tidak hanya berperan dalam menekan institusi dari luar, melainkan juga menjembatani antara ranah pengalaman personal korban (mikro) dengan konteks struktural yang lebih luas (makro). Hal ini penting karena kekerasan seksual tidak dapat dipahami secara terisolasi, melainkan sebagai produk dari relasi kuasa dan budaya patriarkal yang terlembaga. Dalam kerangka teoritis Antonio Gramsci, mahasiswa dapat berperan sebagai intelektual organik, yakni subjek yang mampu mengartikulasikan pengetahuan, pengalaman, dan kesadaran kritis menjadi kekuatan sosial-politik yang mampu menantang hegemoni dominan. Peran ini menjadi vital dalam menggoyahkan narasi-narasi mapan yang sering kali menormalisasi budaya kekerasan dan mereduksi suara korban. Dengan demikian, penguatan peran mahasiswa dalam advokasi penghapusan kekerasan seksual bukan sekadar tindakan reaktif atau bersifat instrumental, melainkan merupakan bagian dari proyek resistensi yang lebih luas terhadap struktur sosial yang menindas. 

Menyemai Perlawanan Akar Rumput melalui Pendirian Badan Otonom “FIB UI Anti Kekerasan Seksual” oleh Mahasiswa

     Di tengah ketidakpastian keberlanjutan Satgas PPKS UI dan lemahnya dukungan institusional, inisiatif mahasiswa untuk membentuk struktur alternatif menjadi bukti konkrit dari kapasitas gerakan akar rumput dalam mengisi kekosongan perlindungan di ranah kampus. Salah satu contoh yang signifikan dari inisiatif ini adalah inisiatif mahasiswa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia  untuk mendirikan FIB UI Anti Kekerasan Seksual (FIB Anti KS) sebagai badan otonom mahasiswa yang dibentuk pada awal tahun 2025 sebagai respons langsung terhadap inkonsistensi mekanisme formal.

Picture
Gambar: Pamflet untuk Dukungan Pengesahan FIB UI Anti KS sebagai Badan Otonom – Dok. Ningdyah Lestari

     FIB Anti KS bukan hanya merupakan respons taktis terhadap kevakuman mekanisme perlindungan formal di kampus, tetapi juga merupakan proyek politis dan kultural yang membawa nilai-nilai esensial dalam perjuangan melawan kekerasan seksual. Badan otonom ini merepresentasikan bentuk perlawanan akar rumput yang sadar secara politis, terorganisir secara kolektif, dan berpijak pada pengalaman konkret komunitas kampus. Dalam kerangka tersebut, FIB Anti KS mengusung lima nilai utama:
  1. Reseptif (menerima dan mendengarkan)
  2. Inklusif (merangkul semua yang terdampak)
  3. Akomodatif (memberikan bantuan yang sesuai kebutuhan)
  4. Akuntabilitas (menjamin pertanggungjawaban)
  5. Emansipatoris (mendorong perubahan yang lebih besar untuk masa depan)

     Nilai-nilai tersebut diwujudkan dalam program kerja yang konkret dan terorganisir, yang secara garis besar meliputi tiga pilar utama: edukasi, advokasi, dan pendampingan kasus kekerasan seksual. Kegiatan edukasi dapat dilakukan secara langsung melalui penyuluhan tatap muka di kelas-kelas untuk para mahasiswa. Pendekatan ini tidak hanya bersifat informatif, tetapi juga transformatif, yakni bertujuan membongkar asumsi-asumsi keliru yang telah terinternalisasi dalam budaya kampus terkait kekerasan seksual. Penyuluhan tatap muka memungkinkan terjadinya dialog dua arah yang kritis, membuka ruang bagi mahasiswa untuk tidak hanya menerima informasi, tetapi juga merefleksikan pengalaman dan posisi mereka dalam relasi kuasa yang ada. Dalam hal ini, kegiatan edukasi diposisikan sebagai medan perjuangan ideologis dimana nilai-nilai yang menindas dapat dilawan melalui pembentukan kesadaran kolektif.
Picture
Gambar: Mahasiswa FIB UI di Kegiatan Penyuluhan tentang Kekerasan Seksual oleh FIB Anti KS – Dok. Ningdyah Lestari

     Di sisi lain, kampanye media sosial dimanfaatkan sebagai strategi perluasan jangkauan edukasi dan normalisasi wacana tentang kekerasan seksual di ruang publik digital. FIB Anti KS memanfaatkan platform ini untuk menjangkau audiens yang lebih luas, melampaui batasan geografis dan struktural kampus, serta menciptakan ruang diskursif alternatif yang tidak selalu tersedia dalam ruang-ruang akademik yang formal. Lebih dari sekadar alat penyebaran informasi, kampanye media sosial berfungsi sebagai medium politis yang mampu menantang narasi dominan yang menindas. Dengan bahasa yang inklusif, visual yang menarik, dan pendekatan berbasis empati, kampanye ini berperan penting dalam membentuk budaya baru yang menolak normalisasi kekerasan dan membangun solidaritas kolektif secara horizontal.
Picture
Gambar: Logo FIB Anti KS – Dok. FIB Anti KS
Picture
Gambar: Akun Instagram FIB Anti KS sebagai Medium Kampanye Media Sosial – Dok. Ningdyah Lestari

     Dalam kerangka gerakan sosial, keberadaan FIB Anti KS menunjukkan bahwa transformasi tidak hanya harus datang dari atas, melainkan dapat dimulai dari bawah, yakni dari komunitas yang terlibat langsung dalam pengalaman ketidakadilan. Sementara itu, dalam istilah Gramscian, FIB Anti KS dapat dibaca sebagai ruang artikulasi hegemoni tandingan (counter-hegemony), sebuah proyek intelektual dan moral yang bertujuan untuk menantang dominasi ideologis patriarki di dalam institusi pendidikan tinggi. Dengan mengusung nilai-nilai reseptif, inklusif, akomodatif, akuntabel, dan emansipatoris, FIB Anti KS tidak hanya menangani kekerasan seksual sebagai krisis individu, tetapi juga sebagai krisis sistemik yang menuntut perubahan mendasar.

     Dalam menghadapi kekerasan seksual sebagai persoalan struktural yang dilegitimasi oleh kultur institusional yang permisif, gerakan akar rumput mahasiswa muncul sebagai kekuatan transformasional yang signifikan. Ketiadaan dukungan institusional yang memadai, seperti nonaktifnya Satgas PPKS di berbagai perguruan tinggi, menunjukkan pentingnya inisiatif dari akar rumput untuk mengisi kekosongan perlindungan dan keadilan bagi korban. Pendirian FIB Anti KS oleh mahasiswa Universitas Indonesia menjadi contoh konkret bagaimana gerakan akar rumput mampu menghadirkan alternatif kelembagaan yang berakar pada pengalaman komunitas serta berpijak pada nilai-nilai reseptif, inklusif, akomodatif, akuntabel, dan emansipatoris. Melalui kerja-kerja edukasi, advokasi, dan pendampingan yang menyasar ruang fisik maupun digital, badan otonom ini tak hanya menjadi pelindung, tetapi juga penggugat terhadap narasi-narasi dominan yang menormalisasi kekerasan. Dalam kerangka ini, perlawanan yang disemai oleh mahasiswa bukanlah bentuk resistensi sesaat, melainkan bagian dari perjuangan jangka panjang untuk membangun ruang akademik yang adil, setara secara struktural, dan merdeka dari kekerasan dalam bentuk apapun.

​

Referensi
Budiman, M., Lestari, A., & Muzayyanah, I. (2024, April 18). Ini sederet alasan Satgas PPKS UI mengundurkan diri, kapan kampus serius berbenah? Konde.co. Diakses dari https://www.konde.co/2024/04/ini-sederet-alasan-satgas-ppks-ui-mengundurkan-diri-kapan-kampus-serius-berbenah/

Connell, R. W. (2005). Masculinities (2nd ed.). University of California Press.
GoodStats. (2024, Desember 12). Tiga dosa besar perguruan tinggi pada 2021-2024. GoodStats Data. Diakses dari https://data.goodstats.id/statistic/tiga-dosa-besar-perguruan-tinggi-pada-2021-2024-WLnvg

Gramsci, A. (1971). Selections from the prison notebooks (Q. Hoare & G. Nowell Smith, Eds. & Trans.). International Publishers.
​

MacKinnon, C. A. (1989). Toward a feminist theory of the state. Harvard University Press.

​​​
0 Comments



Leave a Reply.

    Author

    Sahabat Jurnal Perempuan

    Archives

    June 2025
    May 2025
    January 2025
    November 2024
    October 2024
    September 2024
    July 2024
    April 2024
    March 2024
    December 2023
    November 2023
    October 2023
    September 2023
    July 2023
    May 2023
    March 2023
    February 2023
    December 2022
    November 2022
    October 2022
    September 2022
    August 2022
    July 2022
    June 2022
    May 2022
    April 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021

    Categories

    All

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | [email protected]
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Indonesian Feminist Journal
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Podcast JP
    • Radio JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
    • Biodata Penerima Beasiswa 2025