Panca Lintang Dyah Paramitha (Mahasiswi S1 Filsafat, Universitas Gadjah Mada) Kekerasan menjalar dalam keseharian gang miskin kota. Moda bertahan hidup dalam negara yang dikendalikan oleh kapitalisme adalah uang, sedangkan akses kepada uang yang dapat menghidupi kami dengan layak adalah pemberi pekerjaan yang lebih berkuasa, dan mereka tidak menerima orang-orang tak bersekolah dan tak berijazah. Di manakah mencari pekerjaan yang layak di tengah riuhnya pergerakan hidup kota Jakarta dan tak ada lahan kosong tanpa real estate? Sementara perempuan hanya bisa diterima ketika mengurus pekerjaan rumah, dan pabrik-pabrik sudah penuh tak ada lowongan. Mengurus rumah dan anggota keluarga dengan gaji yang habis dimakan biaya listrik, sewa kontrakan, kebutuhan sekolah—menyulitkan kami memutar uang untuk membeli bahan pangan. Beras begitu mahal. Cabai begitu mahal. Gas begitu mahal. Meminjam uang pada saudara yang punya akses terhadap uang sudah tak bisa begitu diandalkan, tak terbayar pula utangnya. Berjualan juga tak begitu ada untungnya, yang ada memperbesar utang untuk modal. Kami terlilit pada utang bank plecit harian, koperasi pinjaman keliling, yang tak pernah selesai dilekang waktu. Tubuh perempuan muda menjadi laku di tengah kota yang riuh ini. Bukan dengan kesadaran yang benar-benar penuh kami bekerja sebagai penjaja tubuh, ini adalah pilihan mentok untuk mengakses uang paling menjanjikan, supaya laki-laki yang punya akses terhadap uang itu bisa menghidupi keseharian kami. Pilihan mentok untuk terburu-burunya hari yang harus dipenuhi perutnya dan kebutuhan lainnya. Kami adalah materi eksploitasi paling menggiurkan dalam pasar kapitalisme. Karenanya, utang negara yang sebenar-benarnya bukan pada negara lain, melainkan pada kami! Tulisan ini diawali dengan perspektif pengalaman personal atas kompleksnya kehidupan sosial dan ekonomi di tengah miskin kota Jakarta Utara. Saya sebut sebagai dramaturgi gang miskin kota—sebuah koreografi sosial miskin kota yang menjadi ‘pertunjukan’ kapitalisme. Sebab buruh pabrik, pekerja harian lepas, pekerja seks komersil, menikah usia dini, menjadi pilihan mentok dan given kepada banyak perempuan di tengah kota sana, pun di tengah keluarga saya. Melalui kerangka feminisme, saya ingin menjabarkan dramaturgi gang miskin kota yang saling silang dengan kecacatan negara dalam menjalarkan ideologi kapitalisme global, dan menjalarkan kekerasan struktural dalam institusi paling sederhana—keluarga.
Kekerasan Seksis Struktural dalam Gang Berangkat dari memori saya pada gang yang hampir setiap hari mempertunjukan kekerasan berbasis gender. Begitulah setiap pagi, siang, malam dimulai, teriakan sumpah serapah selalu terdengar sampai ujung gang. Perkelahian istri-suami, kakak-adik, bapak-anak, mamak-anak, tukang paket-kustomer, menjadi suatu pergelaran biasa di sempitnya jalanan dan berdempetan rumah. Paling sering ribut ketika hari menjelang pembayaran utang bank plecit saban seminggu sekali. Semua ibu-ibu debitur bersembunyi di dalam rumah. Atau justru kalau tertangkap basah, ibu-ibu akan menantang dengan suara lantang kepada si penagih debitur. Ketika sedang terjadi pergelaran kekerasan itu, kadang semua orang keluar dari rumah untuk menonton, bergeming, hingga ucapan membunuh dilontarkan barulah semua tetangga melerai, memanggil ketua RT/RW. Kekerasan semacam itu dianggap sebagai pertengkaran yang privat dan tidak mesti dicampurtangani oleh orang lain. Dramaturgi gang miskin kota semacam itu memiliki pola yang serupa. Institusi keluarga heteroseksual dengan kehidupan jauh di bawah kemapanan, akan menciptakan suami yang melakukan kekerasan terhadap istri dan anak, kemudian istri akan menumpahkan kekerasannya juga kepada anak. Ruang gang sebagai kolektifitas rumah tangga heteroseksualitas sepenuhnya merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah yang ingin menundukkan perempuan dalam ruang “rumah” yang diprivatisasi dan difeminisasi. Gang yang memiliki ruang sempit itu bisa dilihat sebagai perluasan dari ruang privat yang ‘dikelola’ perempuan secara kolektif, sebab ruang publik laki-laki berada jauh di luar gang; di dunia kerja yang jauh bisa ditelusur olehnya. Sementara ibu-ibu dalam gang memiliki gerakan yang terbatas dalam ruang, tidak punya akomodasi untuk bepergian dan tersekat kegiatannya untuk mengurus anak, rumah, dan kehidupan gang; sehingga gang sebagai penjelmaan ruang privat yang difeminisasi juga rentan terhadap dominasi maskulinitas. Pun dominasi terhadap anak, yang tak punya kuasa atas hierarki orang tua, kekerasan yang dialaminya adala proyeksi kekerasan seksisme dalam struktur keluarga yang menaturalisasi maskulitas sebagai sumber otoritas. Sekolah yang tidak memiliki kurikulum tentang kekerasan berbasis gender, juga akhirnya menjadi ruang main kekerasan antar anak-anak dengan ketimpangan dominasi. Begitulah kekerasan dalam gang miskin kota pada akhirnya menjadi rantai struktural yang terekam secara generasional. Kondisi-kondisi kekerasan seksisme kemudian menjadi niscaya jika diperhadapkan dengan sistem kapitalis dan neo-liberalisme yang menekankan finansialisasi di segala lini kehidupan, dengan perputaran keuangan dan perhutangan yang difeminisasi. Perempuan dijadikan ujung tombak perputaran uang dalam ranah privat keluarga, sehingga dalam kondisi yang mau-tidak-mau, utang adalah suatu hal yang niscaya untuk memutar kondisi keuangan yang tidak cukup membiayai sekeluarga dalam kehidupan sehari-hari yang semakin tak masuk akal harganya. Bank formal bukanlah permainan masyarakat miskin, sebab agunan terlalu tinggi, jumlah pinjaman harus besar, dan persyaratan begitu banyak, yang cuma bisa dimainkan oleh kelas menengah ke atas yang memiliki modal awal. Bank lintah darat, atau bank plecit, dan sekarang merebak dalam bentuk koperasi pinjaman yang memiliki suku bunga yang sangat tinggi, menjadi jawaban untuk memangkas kesulitan ibu-ibu dalam membiayai kehidupan sehari-hari. Tanpa adanya modal, dan melalui pendekatan ‘antropolog’ dengan menimbrung bersama ibu-ibu untuk mengorek informasi kesulitan ekonomi di dalam gang, bank plecit ini dapat menawarkan pinjaman secara tunai tanpa modal. Dengan begitu, suku bunga yang bisa mencapai 40-50 persen ini dapat menjebak ibu-ibu dalam situasi ‘gali lobang tutup lobang’. Ditambah komisi aneh dan mahal, tuntutan pidana karena keterlambatan pembayaran, dan selusin tuntutan lainnya, yang menjadikan biaya pinjaman kecil menjadi bunga terakumulasi yang dalam beberapa kasus mencapai lebih dari 120 persen. Dalam beberapa kasus perempuan kepala rumah tangga, menjadi pekerja seks komersial (PSK) adalah hal yang paling memungkinkan untuk memutar uang yang sebagian besarnya sudah disita dalam siklus utang. Banyaknya perempuan muda yang belum tamat sekolah atau baru saja tamat sekolah kemudian menjadi PSK ini menandakan adanya ketimpangan dominasi, dimana perempuan hanya memiliki pilihan yang mentok untuk mengeluarkan hidupnya dari kemiskinan. Pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan PSK tidak pernah tidak rentan, dan akan selalu memperkuat prekariat. Akan selalu bergantung pada hukum yang tiba-tiba bisa saja mengkriminalisasikan prostitusi, atau justru menderegulasinya, sehingga kekerasan dan eksploitasi terjadi rentan sekali. Sebuah kekerasan struktural yang dilakukan negara pada perempuan miskin, kekejaman ekonomi kapitalis yang mengeksploitasi alam, tubuh, dan waktu untuk mempertukarkan nilai rupiah. Gang sebagai Revolusi Kehidupan Sehari-Hari: Adaptasi Manifesto Dalam buku A Feminist Reading to Debt (Cavarello, L. & Gago, V., 2021 : 37) menyatakan situasi utang sebagai kontra-revolusi kehidupan sehari-hari. “Utang adalah cara mengelola krisis: tidak ada yang meledak tetapi semuanya hancur. Di dalam, di keluarga, di rumah tangga, di tempat kerja, di lingkungan sekitar, kewajiban finansial membuat hubungan menjadi semakin rapuh dan tidak aman karena tekanan utang yang terus-menerus. Struktur utang massal yang telah ada selama lebih dari satu dekade adalah yang memberi kita petunjuk tentang bentuk krisis saat ini: sebagai tanggung jawab individu, sebagai peningkatan dalam apa yang disebut kekerasan “dalam rumah tangga”, sebagai ketidakpastian hidup yang lebih besar… Berapa lama kita akan bertahan dengan kondisi penuh kekerasan yang diperlukan agar kapital dapat bereproduksi dan menghargai dirinya sendiri saat ini? Dimensi subjektif yang menandai batas-batas kapital merupakan elemen kunci dari utang massal.” Kehidupan sehari-hari berhubungan dengan kerja perawatan sudah difinansialisasi oleh pasar kapitalisme. Gang sebagai perputaran kehidupan sehari-hari yang mencekik karena harus membayar segala layanan dasar, bisa menjadi akar dalam memunculkan metode perjuangan oleh para ibu dan perempuan yang bekerja dalam perawatan. Arisan dan tabungan yang dikumpulkan secara kolektif untuk memutar pembayaran utang yang mencekik, menabung untuk keperluan anak sekolah tahun depan, saling membantu memberikan bahan pangan pokok, rewang ketika ada hajatan, adalah upaya-upaya akar rumput di dalam gang memiliki kekuatan besar dalam melawan pasar kapitalisme. Tidak mempermasalahkan latar belakang dan seberapa sulit kondisi keluarganya, ibu-ibu berpraktik gotong royong di dalam gang melakukan revolusi ekonomi mikro, dengan memanfaatkan perputaran uang koperasi pinjam. Menurut Cavarello dan Gago, pada saat yang sama di mana utang menjadi penghambar otonomi ekonomi yang difeminisasi, utang memungkinkan terjadinya gerakan. Seluruh pekerjaan dalam perawatan oleh perempuan di dalam gang miskin kota mesti dipolitisasi, dan menjadi titik berangkat melawan kekerasan struktural yang berusaha menundukkan tubuh perempuan. Aksi feminisme dalam gang miskin kota belum terjamah begitu banyak. Karenanya, menjadi pemantik kesadaran saya secara personal yang tumbuh dalam gang miskin kota, untuk memantik semangat kekuatan perempuan dalam gang, yang bahkan sampai saat ini belum berkurang juga angka perkawinan muda, utang, dan kekerasan dalam rumah tangga. Serikat pekerja perempuan dalam gang dimulai dengan manifesto dalam buku Cavarello dan Gago: “Keuangan, melalui utang, merupakan bentuk eksploitasi langsung terhadap tenaga kerja, potensi vital, dan kapasitas perempuan untuk berorganisasi dalam rumah tangga, lingkungan, dan wilayah. Feminisasi kemiskinan dan kurangnya otonomi ekonomi yang disebabkan oleh utang membuat kekerasan laki-laki semakin kuat… Gerakan perempuan telah mengukuhkan dirinya sebagai aktor sosial yang dinamis dan transversal yang mampu membawa berbagai bentuk eksploitasi ekonomi ke garis depan. Kita berhenti menjadi sekadar korban justru karena kita mampu membuat cara-cara mereka mengeksploitasi kita, serta tindakan kolektif kita terhadap berbagai bentuk perampasan, menjadi lebih mudah dipahami,... Kami menyerukan agar pekerjaan perawatan dipolitisasi dan pekerjaan yang dikelola sendiri diakui. Dalam konteks ini, kami percaya bahwa perlu untuk melangkah lebih jauh dalam mengkaji bentuk-bentuk eksploitasi baru yang memiskinkan kondisi kehidupan kita dan membuat keberadaan kita tidak menentu…. Sebagai produsen nilai, kami berkata: Tidak Ada Lagi Perempuan yang Hilang, Kami Ingin Tetap Hidup dan Bebas dari Utang!” Dengan mengadaptasi manifesto pergerakan feminisme di Argentina, ‘konsolidasi’ melalui arisan dan perkumpulan ibu dan perempuan mesti digerakkan untuk meningkatkan kesadaran melawan ketertindasan dan penundukan. Politisasi pekerjaan perawatan, edukasi dalam perkumpulan ekonomi mikro ibu-ibu gang sebagai suatu ‘konsolodasi’, dan aktif menciptakan kontra-produksi kapitalisme dalam kegiatan gotong royong menjadi suatu pandangan yang sangat mungkin dan sangat kuat dalam menciptakan tandingan alternatif kepada negara demokrasi. Tidak ada lagi negara dengan pasar kapitalisme yang mengeksploitasi tubuh dan waktu pekerja. Not One Woman Less, We Want To Stay Alive and Debt Free! Rerefensi: Cavallero, L., & Gago, V. (2021). A Feminist Reading of Debt (L. Mason-Deese, Trans.). Pluto Press. Hewer, R. M. (2021). Sex-Work, Prostitution and Policy: A Feminist Discourse Analysis. Springer International Publishing. MacKinnon, C. A. (2007). Sex Equality. Foundation Press.
1 Comment
9/10/2024 12:41:53 pm
What dramaturgical techniques are used to highlight the struggles of women in gangs and their experiences with violence and debt?
Reply
Leave a Reply. |
AuthorSahabat Jurnal Perempuan Archives
September 2024
Categories |