Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Indonesian Feminist Journal
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Podcast JP
    • Radio JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
    • Biodata Penerima Beasiswa 2025

Belajar dari Baduy: Merawat Alam, Menumbuhkan Kesetaraan

12/6/2025

0 Comments

 
PictureDok. Jihan Nur Salsabila
Jihan Nur Salsabila
(Mahasiswa S-1 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
​

     Dalam realitas hari ini, kita dihadapkan pada kerusakan dan ketimpangan yang semakin menjalar setiap harinya. Hutan yang rimbun dengan pepohonan disulap menjadi tambang hanya dalam waktu yang singkat. Mesin-mesin besar mengeruk tanah sedalam-dalamnya, mencari untung di dasar bumi. Hewan-hewan kehilangan ruang hidupnya dan dipaksa musnah. Pabrik-pabrik besar mengirim limbahnya ke sungai-sungai sumber kehidupan. Kebutuhan pangan tidak lagi dihasilkan dari kebun sendiri, melainkan dari toko-toko yang disuplai oleh kapitalis. Perlahan, narasi tentang alam sebagai sumber kehidupan terasa semakin samar dalam keseharian.


     Beriringan dengan alam yang rusak, relung-relung kehidupan juga turut dipenuhi oleh ketidakadilan. Relasi kuasa yang menubuh dalam kehidupan, membuat hukum berpihak pada pemilik modal, sementara rakyat, masyarakat adat dicekik oleh kertas-kertas sertifikat saat mempertahankan hutan jantung kehidupan. Di jalanan kota sekalipun, turut serta memampang kelas-kelas sosial yang membuat ketimpangan semakin jelas. Sepanjang jalan, gedung-gedung tinggi dengan kaca mengkilat menyembunyikan perkampungan sesak yang dialiri sungai berisikan sampah.

     Di sisi lain, tubuh perempuan terus dijadikan pemuas para patriarki dan sumber keuntungan bagi kapitalis—sistem yang sama, yang menindas alam dan rakyat. Penampilan perempuan diatur sedemikian rupa oleh lingkungan yang mengobjektifikasinya. Seluruh tubuh perempuan diberikan standar yang tidak realistis, kecantikan dibentuk beriringan dengan penghilangan pengetahuan perempuan melalui alam yang rusak. Sejarah panjang memperlihatkan hal-hal yang berhubungan dengan perawatan, seperti meramu dan meracik, sebagai pengalaman sah perempuan.

     Dalam hal ini, perempuan menguasai pengetahuan atas tumbuh-tumbuhan serta alam itu sendiri. Sehingga, rusaknya alam—hilangnya biodiversitas, secara otomatis juga menghilangkan pengetahuan perempuan akan hal tersebut. Dengan keadaan yang semacam itu, perempuan tidak punya pilihan, selain membeli produk-produk kapitalis dalam melakukan perawatan. Semakin rusak alam, semakin besar peluang kapitalis untuk menciptakan produk-produk. Mulai dari rambut sampai ujung jari kaki perempuan, bagian tubuh mana yang tidak ada produk ‘perawatannya’? 

     Semua itu dilakukan demi tercapainya satu kata yang disebut sebagai ‘keuntungan’. Namun, ‘keuntungan’ yang dibentuk oleh ketamakan ini tidak diperuntukkan bagi kita—rakyat miskin, masyarakat adat, perempuan, kelompok rentan, serta alam. ‘Keuntungan’ ini hanya milik mereka yang mengadopsi nilai patriarkis, kapitalis, dan antroposentris, yang melancarkan siasatnya melalui sistem. Siasat ini bergerak untuk menghasilkan profit sebesar-besarnya sembari menggerogoti hak-hak kitaalam dan rakyat yang tidak berkuasa atas patriarki dan kapitalis. Ini bukan lagi strategi, tetapi kelicikan antripoosentris yang dikukuhkan oleh patriarki dan kapitalis.

     Relasi konseptual yang terbentuk dalam berbagai wujud ketidakadilan ini berkaitan erat dengan logika dominasi (a logic of domination). Premis-premis yang membentuk logika dominasi ini memaparkan perbedaan substansial antara dua hal, yang kemudian membangun suatu pandangan yang membenarkan perbedaan tersebut sebagai alat bagi satu hal untuk mendominasi yang lain. Karen J. Waren dalam tulisannya yang berjudul “The Power and Promise of Ecological Feminism” memaparkan logika dominasi perihal manusia atas alam, sebagai berikut:

  1. Manusia secara sadar mempunyai kapasitas untuk mengubah dan membentuk komunitas tempat tinggal, sementara tumbuhan—alam, tidak memiliki kapasitas ini.
  2. Segala sesuatu yang mempunyai kapasitas tersebut dianggap superior secara moral dibandingkan dengan yang tidak memilikinya.
  3. Manusia lebih superior secara moral daripada alam.
  4. Untuk setiap dua hal (X dan Y), apabila X secara moral superior dibanding Y, maka X dibenarkan untuk mendominasi Y.
  5. Manusia dibenarkan untuk mendominasi alam.

​     Asosiasi dari logika dominasi manusia atas alam tersebut, menurut Karen, juga diberlakukan untuk pembenaran dominasi laki-laki terhadap perempuan. Namun, sejatinya logika dominasi yang demikian tidak hanya melegitimasi dominasi antara manusia atas alam dan laki-laki atas perempuan saja, tetapi juga menjadi dasar dari seluruh bentuk ketidakadilan sosial dalam seluruh aspek kehidupan. 

     Cara pandang superioritas memungkinkan terjadinya praktik-praktik eksploitatif yang mewujud dalam berbagai tindak kekerasan terhadap yang inferior. Dalam hal ini, logika dominasi menempatkan alam, perempuan, rakyat, masyarakat adat, dan kelompok rentan menjadi lakon yang inferior. Penganut logika dominasi ini melancarkan siasatnya melalui alam yang rusak dan menindas yang rentan untuk mendapatkan keuntungan. Kebertautan ini memperlihatkan bahwa menyoal kesetaraan, berarti juga vital membahas alam. 

Nilai Setara dalam Relasi Alam dan Manusia di Baduy

     Tumbuh dalam realitas kehidupan hari ini, kita seperti tidak diberikan jeda untuk sekadar bernapas tanpa kabar-kabar perihal ketimpangan dan kerusakan alam. Dari pembahasan di atas, kita sudah melihat berbagai bentuk ketidakadilan sosial yang ternyata turut berkaitan dengan kerusakan alam. Kolaborasi dari pandangan antroposentris, patriarki, dan kapitalis, menjalankan logika dominasi yang membawa kehidupan pada kondisi yang jauh dari kata setara. Di tengah kenyataan yang pelik ini, apa kiranya yang dapat kita lakukan untuk tetap bertahan dan berkelanjutan?

     Saya teringat penggalan kalimat dari Ibrahim Abdul Matin yang mengatakan: Sometimes the answer to our energy problems is found in a way of life that is completely different from our current lifestyle. You can call it “going back to nature.” Perjalanan ke Baduy, banyak membuat saya mengamini perkataan Matin tersebut, bahwa gaya hidup “back to nature”—kembali ke alam, dapat menjadi praktik hidup yang mungkin untuk kita terapkan dalam keseharian.  Apabila dalam praktik hidup modern kita telah melihat kerusakan alam memberi dampak pada bentuk-bentuk ketidakadilan sosial, maka di Baduy kita akan melihat hal yang sebaliknya. Dari Baduy, kita akan belajar bahwa alam yang lestari, turut melestarikan keadilan dan kesetaraan dalam kehidupan.

     Kedekatan masyarakat Baduy dengan alam menjadi salah satu hal yang menyentuh perhatian. Sebab, ketika berbicara perihal alam di Baduy, kita bukan hanya membahas alam sebagai tempat tinggal, tetapi juga alam sebagai sesuatu yang hidup. Alam dalam pandangan masyarakat Baduy dianggap sebagai subjek yang utuh, entitas yang berjiwa dan memiliki daya, seperti halnya manusia. Berbeda dengan logika dominasi yang menempatkan alam sebagai yang tersubordinasi secara moral, masyarakat Baduy justru menumbuhkan pertimbangan moral (moral consideration) terhadap alam. Sehingga, dalam berinteraksi dengan alam, masyarakat Baduy mempertimbangkan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan terhadap alam. Pemaknaan alam yang demikian, dirawat secara turun temurun dan terimplementasi dalam setiap tindakan sehari-hari masyarakat Baduy. 

     Realisasi dari nilai kesetaraan terhadap alam di Baduy dapat kita temukan salah satunya melalui praktik berkebun yang dilakukan masyarakat Baduy. Dengan alam yang subur dan lestari, masyarakat Baduy dapat dengan mudah menanam berbagai jenis tanaman. Namun, dalam praktiknya, masyarakat Baduy cukup selektif dalam bercocok tanam. Hal ini terlihat dari keengganan masyarakat Baduy untuk menanam kopi. Dari penjelasan Ayah—sebutan orang tua laki-laki di Baduy—kopi berpotensi pada keserakahan dan kerusakan alam. Maksudnya, tanaman kopi memungkinkan pembukaan lahan secara masif, yang itu berarti akan merampas lahan adat sekaligus merusak keragaman ekosistem. Sebab, tanaman kopi cenderung ditanam secara monokultur dan berpotensi sebagai tanaman komoditas dalam jumlah yang besar.

     Keselektifan dalam bercocok tanam juga ditunjukkan masyarakat Baduy dalam penanaman padi. Masyarakat Baduy menanam padi huma, yaitu jenis padi yang ditanam di ladang atau lahan kering. Padi jenis ini sepenuhnya mengandalkan air hujan sebagai pengairannya, sehingga tidak memerlukan sistem irigasi buatan. Proses penanaman padi juga hanya dilakukan sekali dalam setahun, disesuaikan dengan musim hujan. Hal ini bertujuan agar tanah memiliki waktu untuk pulih secara alami sebelum ditanami kembali. Pemberian waktu tanah untuk pulih ini membantu dalam menjaga produktivitas dalam jangka panjang. Selain itu, hal tersebut dilakukan sebagai bentuk pemberian hak kepada tanah untuk istirahat, sebab selayaknya manusia, tanah sebagai yang hidup juga butuh beristirahat.

     Baduy terkenal sebagai penghasil madu murni yang berkualitas tinggi. Masyarakat Baduy juga menjual madu murni ke luar sebagai sumber penghasilan mereka. Meskipun demikian, kita tidak akan melihat satupun kotak-kotak sarang lebah penghasil madu di tanah Baduy. Sebab, madu oleh suku Baduy bukan hasil dari budidaya, tetapi didapatkan dari hutan—dari sarang-sarang lebah yang ditemukan di pohon dan kayu-kayu.  Di Baduy, tidak ada satu hewan pun yang diternakkan, lebah dan hewan-hewan lain dibiarkan hidup dengan kebebasan alamiahnya.

     Hewan yang dipelihara, seperti ayam kampung, kucing, dan anjing tidak hidup dalam kungkungan kandang yang sempit. Akan tetapi, hewan-hewan tersebut dibiarkan bebas berjalan di sepanjang jalan setapak dan di halaman rumah. Ayam kampung yang dipelihara juga bukan untuk konsumsi sehari-hari, tetapi hanya akan disembelih ketika upacara adat saja. Begitu pula dengan telur yang dihasilkan oleh ayam kampung tersebut juga dilarang untuk dikonsumsi, telur tersebut akan dierami oleh induk ayam sampai menetas. 

     Di Baduy, kita akan menemukan sumber air bersih yang mengalir di tiap perkampungan dan ladang-ladang. Sungai-sungai itu sama sekali tidak tersentuh oleh sabun ataupun bahan kimia lainnya. Masyarakat Baduy menggunakan batang honje, yaitu tanaman kecombrang dalam bahasa Sunda, untuk mandi dan juga mencuci. Memandang sungai-sungai yang mengalir jernih, dan batang honje yang membersihkan tanpa mencemari, membuat saya kembali mengingat betapa liciknya kapitalis menyusup dalam setiap cara hidup kita hari ini—modernitas. 

     Produk-produk kapitalis diciptakan dengan siklus yang berkelindan dengan perusakan terhadap alam. Rusaknya alam memungkinkan kapitalis menciptakan produk. Beriringan dengan itu, produk yang diciptakan juga memungkinkan terjadinya pencemaran terhadap alam. Di tengah kelindan produk-produk kapitalis, masyarakat Baduy hanya membutuhkan tanaman honje untuk membuat tubuh, alat rumah tangga, dan alam tetap terjaga. Melihat itu, dapatkah kita katakan bahwa produk-produk kapitalis itu kalah dari sebatang honje?

     Beberapa relasi antara manusia dan alam di atas hanyalah sebagian kecil dari banyaknya praktik hidup selaras dengan alam yang ada di masyarakat Baduy. Namun, dari beberapa hal tersebut, kita dapat memaknai tentang kesetaraan dalam berelasi, bukan hanya dengan ruang hidup, tetapi juga dengan entitas non-manusia sebagai subjek kehidupan. Masyarakat Baduy memandang alam bukan sebatas tempat untuk tinggal, melainkan sebagai partner dalam keberlangsungan hidup. Sehingga, menumbuhkan kesalingan dan penghargaan terhadap satu sama lain—manusia dan alam, menjadi hal fundamental dan vital. Nilai semacam inilah yang tidak kita temui dalam gaya hidup modern hari ini, di mana logika dominasi menguasai pikiran mayoritas.

Harmonisasi Kesalingan: Mewujudkan Relasi Setara Antar Manusia Melalui Alam yang Lestari

     Sering kali luput dari perhatian kita, bahwa narasi alam dan kesetaraan dianggap dua hal yang berbeda atau tidak berkorelasi. Namun, dari Baduy kita belajar bahwa alam yang lestari turut melestarikan kesetaraan. Hak-hak dasar kebutuhan manusia atas alam, seperti menghirup udara sehat, mengakses air bersih, memakan makanan hasil kebun yang sehat, dan lain sebagainya akan didapatkan, begitu pula hak alam untuk tetap lestari juga terpenuhi. Bagaimana bisa kita menyoal kesetaraan jika hak kebutuhan dasar kita tidak dipenuhi dengan baik? Dan dapatkah kita berada dalam kesetaraan jika alam kita rusak?

     Lebih jauh, alam yang lestari juga membentuk relasi setara antar sesama manusia. Di Baduy, relasi antara manusia dengan alam, dan manusia dengan sesamanya merupakan satu kesatuan yang saling berkoneksi, keduanya menyatu dan berharmonisasi. Dari hal tersebut, memungkinkan kesetaraan eksis dalam kehidupan Baduy, termasuk dalam relasi kesetaraan gender. Alam yang lestari merupakan upaya dari seluruh masyarakat Baduy, baik laki-laki maupun perempuan berperan dalam kerja-kerja pelestarian alam. Praktik berkebun dilakukan secara bersama-sama oleh ayah dan ambu, sebutan ibu di Baduy, sehingga laki-laki dan perempuan memiliki andil yang sama dalam pelestarian alam. 
Keterlibatan perempuan dalam berkebun dan pelestarian alam ini merupakan bentuk kedaulatan perempuan atas pangan. Sebab, ambu sebagai penyedia makanan di rumah memiliki kuasa atas pangan yang disajikan ke keluarga. Ambu secara penuh berpengetahuan atas nutrisi dan kualitas dari pangan yang ia hidangkan. Peran ambu ini sangat dihargai dan diekspresikan melalui penghargaan atas makanan itu sendiri. Dari penuturan salah satu ayah, setiap makanan harus dihabiskan, dan apapun yang disediakan oleh ambu harus dimakan. Hal ini menunjukkan betapa peran-peran perawatan yang dilakukan oleh perempuan diberikan nilai dan penghormatan.

     Dalam relasi suami istri, masyarakat Baduy memiliki pandangan yang memberi penghargaan pada hubungan tersebut, khususnya pada perempuan. Hal tersebut terlihat melalui bangunan rumah di Baduy yang hanya memiliki satu pintu dan satu kamar, yang bermakna bahwa hanya ada satu istri di keluarga tersebut. Hal ini menunjukkan suatu nilai kesetiaan dalam berhubungan yang dijunjung tinggi dan dihidupkan melalui simbol-simbol. Dalam hal ini, rumah sebagai simbol dari kesetiaan dalam berpasangan di Baduy. 

     Alam dalam pandangan masyarakat Baduy diyakini sebagai sesuatu yang hidup dan berdaya. Hal itu menumbuhkan kepercayaan masyarakat Baduy terhadap kuasa alam itu sendiri—ini yang mereka sebut sebagai hukum alam. Dalam konteks ini, hukum alam merupakan aturan tidak tertulis yang menautkan alam, manusia, leluhur, dan Sang Pencipta. Kepercayaan terhadap hukum alam ini mengakar dalam kehidupan dan mempengaruhi seluruh tindakan masyarakat Baduy. Sehingga, dalam berelasi dengan sesama manusia, masyarakat Baduy juga melibatkan kepercayaan terhadap hukum alam ini. Sederhananya, hukum alam ini adalah pembalasan baik-buruk, apabila kita melakukan perbuatan yang baik, maka alam akan baik juga kepada kita. Sedangkan, jika kita berbuat sesuatu yang buruk, maka alam juga akan menghukum kita dengan keburukan pula.

     Kepercayaan masyarakat Baduy dengan hukum alam menciptakan praktik hidup yang luhur, yang jauh dari kekerasan. Bahkan, senjata yang dibuat bukan diperuntukkan untuk bertarung atau melukai, melainkan digunakan untuk keperluan dalam berkebun. Praktik hidup yang luhur ini menciptakan kehidupan yang rukun antar sesama. Hal ini dicontohkan oleh salah satu ayah melalui kedamaian antar tetangga di perkampungan Baduy. Di Baduy, seluruh tanah merupakan tanah ulayyat atau tanah adat, dan kepemilikan atas tanah menjadi kepemilikan adat.​ Sehingga, di Baduy tidak ada perebutan lahan antara satu sama lain. Hal ini sangat berbeda dengan fenomena bertetangga di daerah lain yang kerap bertentangan perihal lahan.

     Masyarakat Baduy memperlihatkan bentuk nyata dari harmonisasi kehidupan yang melibatkan seluruh aspek. Alam dan manusia bukan dipandang dengan nilai berbeda, yang menitikberatkan pada siapa yang lebih kuasa. Akan tetapi, alam dan manusia dinarasikan sebagai sesuatu yang berkesalingan, setara, dan terhubung satu sama lain.  Dari Baduy kita belajar bahwa menghidupkan praktik selaras dengan alam berarti pula menumbuhkan kesetaraan dengan sesama manusia. 

Referensi:

Warren, Karen J. “The Power and the Promise of Ecological Feminism,” Environmental Ethics, 12(2), 1990.

Warren, Karen J. Ecological Feminism. London and New York: Routledege, 1994.

Matin, Ibrahim Abdul. Greendeen: What Islam Teaches About Protecting the Planet. 1 ed.  Berret-Koehler Publisher, 2010
0 Comments



Leave a Reply.

    Author

    Sahabat Jurnal Perempuan

    Archives

    June 2025
    May 2025
    January 2025
    November 2024
    October 2024
    September 2024
    July 2024
    April 2024
    March 2024
    December 2023
    November 2023
    October 2023
    September 2023
    July 2023
    May 2023
    March 2023
    February 2023
    December 2022
    November 2022
    October 2022
    September 2022
    August 2022
    July 2022
    June 2022
    May 2022
    April 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021

    Categories

    All

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | [email protected]
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Indonesian Feminist Journal
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Podcast JP
    • Radio JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
    • Biodata Penerima Beasiswa 2025