(Coordinator of Education and Review Support Group and Resurce Center on Sexuality Studies-SGRC)
fathulpurnomo10@gmail.com

Apa yang ibu saya lakukan sebenarnya jamak kita temui di berbagai kesempatan, seorang ibu pergi ke pasar menggunakan sepeda motor sambil menggunakan rok panjang, atau banyak daerah di Jawa bahkan masih menggunakan kain Jarik. Tak ada yang aneh sampai kita menyadari bahwa mengenakan rok panjang ataupun Jarik merupakan hal yang berbahaya manakala digunakan sambil berkendara motor. Tidak hanya dalam berkendara, rok panjang sejatinya juga membatasi pergerakan perempuan dalam kegiatan sehari-hari. Kain Jarik yang digunakan oleh para perempuan Jawa terlihat luar biasa ketatnya. Anda bisa tonton bagaimana prosesi pernikahan adat Jawa. Lenggak-lenggok sang mempelai perempuan berbalut Jarik ketat berjalan dengan begitu pelan, dan sekaligus imbasnya adalah agar tercipta kesan ayu ala masyarakat Jawa. Pada level inilah sebenarnya sebuah ideologi bekerja, meminjam istilah Karl Marx disebut sebagai false consciousness. Bahkan pada baju yang kita anggap sebagai sesuatu yang netral dan tidak merepresentasikan apapun. Kain-kain Jjarik Jawa bercerita dengan lantang mengenai pengekangan perempuan.
Pengekangan ini kemudian diturunkan lewat berbagai varian aspek kesadaran individu. Dalam hal ini seperti pada pandangan estetis seorang perempuan, jika anda adalah seorang perempuan dan menggunakan celana, bagi ibu saya itu adalah tindakan tidak terpuji. Pandangan ini masih bekerja kuat di berbagai daerah, terlebih lingkungan yang banyak dikelilingi pesantren, faktanya ada 27.230 pesantren di seluruh Indonesia berdasarkan data yang dilansir Kemenag per tahun 2012, dan 78,60% diantaranya bertempat di Jawa, perpaduan pas antara feodalisme jawa dengan ajaran agama yang masih seringkali menomorduakan perempuan.
Masyarakat akar rumput menilai tidak elok seorang perempuan menggunakan celana. Karena ketika menggunakan celana, perempuan dengan mudah membuka selangkangannya, dan mengapa perempuan harus selalu berposisi menyamping ketika menumpang naik motor? Ada apa dengan perempuan yang membuka lebar kakinya saat meeting di kantor, haruskah perempuan selalu menyilangkan kakinya agar nampak anggun memesona (baca: estetis) dan etis? Jawabannya satu karena wacana estetis yang sedang berkembang menghendaki perempuan tampil anggun, tak boleh membuka kedua kakinya di muka umum, tak seperti para pria yang biasa duduk dengan kaki terbuka lebar. Membuka lebar kedua kaki diartikan sebagai yang tidak etis, hanya perempuan tidak baik yang membuka lebar kakinya (baca: menikmati seksualitasnya). Dalam keluarga bercadar dan berjubah panjang seperti dalam keluarga saya, menggunakan celana hampir-hampir mustahil dilakukan bagi perempuan.
Kekangan ini tidak hanya terjadi pada masyarakat rural, namun juga pada masyarakat urban. Nampak dari penggunaan high heels. Sepatu hak tinggiyang sejarahnya adalah diperuntukkan bagi para prajurit Persia agar ketika mengendarai kuda bisa lebih cekatan, kini bergerak dan menjadi fashion di kalangan perempuan. Pergerakan fashion dalam kancah budaya adalah sesuatu yang wajar, sehingga perkembangan fashion yang kemudian menjadikan high heels sebagai bagian identik dari perempuan adalah sesuatu yang tak perlu dipertanyakan. Namun saya melihat hal ini tidak murni karena hanya pergerakan budaya. Ada upaya tertentu dari beberapa kalangan untuk mengarahkan mode ini ke perempuan. Karena anda harus diakui dengan high heels, perempuan memiliki pergerakan yang lebih lamban dari laki-laki—penggunaan high heels pada prajurit laki-laki Persia justru mempercepat laju mereka dengan kuda-kuda pacuannya. Betul bila high heels juga membebani pergerakan elite kerajaan yang saat itu menggunakannya. Namun perlu diingat bahwa para raja adalah manusia yang memang tak pernah bergerak, mereka sudah mendapatkan segala kemewahan, dan ditambah dengan bantuan high heels untuk menyokong kepongahan mereka. Pergerakan mode ini tidak tiba-tiba, perempuan yang selama ini terdomestikasi dan tidak beraktivitas di publik ditambal dengan penggunaan high heels. High heels sangat cocok dengan keadaan perempuan yang masih dipersempit pergerakannya. Maka dari itu, high heels sebagai fashion perempuan bertahan jauh lebih lama dibanding laki-laki—pria pada umumnya dahulu juga menggunakan high heels. Isu high heels sendiri sudah ada sejak 1970-an, dimana ada dorongan untuk pembebasan perempuan dari kebakuan definisi cantik yang dalam hal ini dibentuk lewat high heels.
Namun juga tidak etis, manakala anda tiba-tiba datang dan melarang s dan high heels. Fakta bahwa dua hal tersebut memperlambat pergerakan perempuan memang benar, namun memaksakan kebebasan bagi mereka adalah sesuatu yang absurd pula. Maka ketika ibu saya kemudian akhirnya pergi menggunakan baju panjangnya—entahlah, saya tak tahu jenis baju apa ini—tetap saya hargai.
Karena merubah pandangan seperti ini tidak mudah, hal ini akan mencerabut sedimentasi dari paham estetika sebagai perempuan yang selama ini telah terbentuk. Belum lagi identitas yang selama ini terbangun dengan penggunaan high heels dan Jarik tersebut. Termasuk, fungsi sosial yang mengiringi dua benda tersebut. Lebih jauh lagi, kain Jarik dan high heels mungkin belum seberapa, rambut perempuan yang selama ini selalu identik dengan panjang juga sebetulnya tak pernah secara alamiah ditakdirkan bagi perempuan—semua bayi terlahir dengan rambut pendek. Rambut panjang tercipta manakala perempuan mulai terdomestikasi. Bagaimana laki-laki berambut pendek adalah hasil dari efisiensi ketika berburu di hutan, tentu anda akan kesusahan berburu dengan harus terus berkali-kali menata rambut panjang nan tergerai bak di iklan sampo. Berbeda dengan laki-laki, perempuan yang tak harus memotong rambutnya karena tidak berburu di hutan dan kemudian membiarkan rambutnya tumbuh terurai panjang. Namun sayang, hal ini lagi-lagi berdampak pada pandangan estetis dan etis masyarakat. Bagaimana di kampung-kampung perempuan berambut pendek adalah mereka yang tidak umum, aneh, perempuan tidak baik-baik, dsb. Rambut panjang tercipta awal dari dimulainya sejarah panjang pembekukan perempuan.
Bagaimana aspek estetis ternyata banyak berpengaruh terhadap aspek etis (baca: praksis). Permasalahan ini nyata, karena fashion yang anda gunakan ternyata tak pernah benar-benar netral. Bukankah industri turut membentuk citra cantik? Dan pemerintah Soeharto juga berupaya keras mencetak perempuan dengan wacana keibuannya. Estetika adalah hasil bentur-benturan politik, industri, dan berbagai kepentingan kelompok tertentu. Karena hal tercepat yang akan teringat dalam otak kita manakala membicarakan perempuan adalah aspek estetisnya. Maka perebutan wacana estetika dalam spektrum perbincangan perjuangan perempuan bukan hanya milik kalangan feminis kelas menengah ke atas. Seluruh varian feminis wajib berjuang bersama merebut wacana estetika.
Daftar Pustaka:
"Analisis dan Interpretasi Data pada Pondok Pesantren, Madrasah Diniyah (Madin), Taman Pendidikan Qur’an (TPQ) Tahun Pelajaran 2011-2012". http://pendis.kemenag.go.id/file/dokumen/pontrenanalisis.pdf