Perubahan iklim memiliki dampak yang dirasakan langsung oleh perempuan. Dalam rentang waktu lima bulan, dari Januari hingga Mei 2015 telah terjadi 881 bencana alam di berbagai wilayah di Indonesia. Terdapat keterkaitan yang erat antara bencana alam dan situasi ekonomi perempuan. Ketika bencana alam terjadi, banjir misalnya, maka perempuan petani juga perempuan nelayan akan kehilangan sumber ekonomi mereka. Jadi perubahan iklim sangat berpengaruh terhadap persoalan ekonomi sosial perempuan. Pernyataan ini diungkapkan aktivis perempuan, Wahidah Rustam, dalam acara Pendidikan Publik yang digelar Yayasan Jurnal Perempuan bekerja sama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan dan Gender (P3KG) Universitas Hasanuddin pada Senin (14/9) di Gedung Pertemuan Ilmiah, Unhas. Dalam acara yang mengambil tema “SRHR dan Perubahan Iklim” tersebut Ida juga memaparkan bahwa bencana alam berakibat pada penurunan angka harapan hidup perempuan dan peningkatan gender gap dalam masyarakat. Menurut Ida hal ini terjadi karena perempuan tidak dibiasakan untuk menolong dirinya sendiri, memikirkan dirinya dan kebutuhannya, sebaliknya perempuan dibiasakan untuk memikirkan orang lain. Maka setiap terjadi bencana dapat dipastikan yang menjadi korban terbesar adalah perempuan. Karena mereka tidak diberi kapasitas yang memadai untuk menghadapi bencana. Lebih lanjut Ida mengungkapkan bahwa BNPD (Badan Nasional Penanggulangan Bencana)sudah cukup melakukan upaya. Akan tetapi masih kurang memberikan perhatian dan kapasitas bagi perempuan hamil, perempuan lansia, juga perempuan dengan disabilitas, sehingga perempuanlah yang kemudian banyak menjadi korban. Tidak banyak perempuan yang diajar berenang. Maka ketika terjadi banjir, walaupun perempuan dan laki-laki terbawa banjir, akan tetapi laki-laki dapat selamat, sedang perempuan akan tenggelam karena tidak dibiasakan untuk mempunyai kemampuan, kapasitas untuk bisa menolong diri mereka. Persoalan berikutnya yang dihadapi perempuan terkait perubahan iklim selain bencana adalah pemenuhan air bersih dan pangan. Perubahan iklim mengakibatkan kekeringan dimana-mana. Mengingat air banyak digunakan untuk kebutuhan-kebutuhan domestik, maka tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan air dan pemenuhan pengelolaan pangan dibebankan pada perempuan karena peran gender yang dilekatkan pada diri mereka. Perempuan juga harus bekerja dua kali lebih keras dari biasanya di lahan pertanian. Selain itu meningkatnya gagal panen juga menyebabkan perempuan kesulitan menyediakan bahan pangan yang berkualitas bagi dirinya dan keluarganya. Meskipun demikian, perempuan tidak hanya menjadi kelompok rentan/korban tetapi perempuan juga mempunyai inisiatif untuk berkontribusi dalam proses adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dan keberlanjutan sumberdaya alam/agraria. Ida mencontohkan gerakan yang dilakukan Mama Aleta Baun di Molo, NTT. Juga Ibu Talo di Sulawesi Tengah yang berjuang agar tanah dia tidak diambil oleh galian C, agar gunung tidak dijadikan tempat galian C karena di sana terdapat hutan adat yang dianggap sangat sakral oleh masyarakat adat di sana. Perempuan adalah perawat, pengelola, penjaga alamnya ketika alam dicerabut dari kehidupan mereka, artinya sama dengan mematikan kehidupan mereka. Dengan kata lain perempuan juga dapat menjadi subjek atau aktor yang berperan untuk mencegah dan mengatasi dampak sosial ekonomi dan berkontribusi dalam pembangunan. (Anita Dhewy) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |