Urgensi Reformasi Layanan Kesehatan yang Akomodatif dan Aksesibel bagi Penyandang Disabilitas16/9/2024
Stigmatisasi terhadap penyandang disabilitas masih begitu terinternalisasi di tengah masyarakat Indonesia. Terlebih pada sektor kesehatan yang memarginalisasi hak penyandang disabilitas. Hal ini disebabkan kerangka berpikir kebijakan tidak dilandaskan keberpihakan pada kerentanan kelompok disabilitas. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 masih menjadi kerangka acuan dalam melihat besarnya jumlah perempuan penyandang disabilitas sekitar 51 persen, dan dalam tingkat kemiskinan 18,3 persen dibanding perempuan non-disabilitas yaitu sebanyak 11,4 persen. Perempuan penyandang disabilitas yang memiliki identitas interseksional dalam kemiskinan kemudian rentan mengalami marginalitas berlapis dalam mengakses layanan kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi, yang tidak akomodatif. Dalam rangka memulai advokasi peningkatan aksesibilitas layanan kesehatan bagi penyandang disabilitas, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), berkoalisi dengan Perkumpulan Inisiatif, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), dan didukung oleh International Budget Partnership telah melaksanakan seminar nasional. Seminar bertajuk “Diseminasi Hasil Penelitian dan Audit Sosial Pelayanan Kesehatan bagi Warga Penyandang Disabilitas” ini dilaksanakan di Jakarta (9/9/2024) secara bauran.
Seminar dibuka oleh sambutan berbagai pemangku organisasi yang berkoalisi, yang menyatakan bahwa penyandang disabilitas mengalami marginalitas berlapis, karena gender dan disabilitasnya. Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2021, setidaknya terdapat empat kategori hambatan yang dialami penyandang disabilitas; hambatan sikap, fisik, komunikasi, dan sumber daya. Hambatan sikap yang berasal dari budaya pemahaman yang diskriminatif oleh masyarakat, termasuk di dalamnya tenaga kesehatan tidak inklusif. Hambatan fisik penyandang disabilitas tidak didukung oleh infrastruktur publik yang aksesibel, sehingga penyandang disabilitas dalam kelompok miskin tidak terakomodasi pada tataran layanan puskesmas. Komunikasi yang terbatas karena disabilitas sensorik dan mental. Serta sumber daya finansial dan non-finansial yang tidak mendukung pembanungan pelayanan kesehatan dengan standar equity bagi penyandang disabilitas. Beberapa regulasi sudah melindungi hak-hak penyandang disabilitas dalam layanan kesehatan, seperti pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan; PP Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung; Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Lingkungan Puskesmas; dan PP Nomor 70 Tahun 2019 tentang Perencanaan, Penyelenggaraan, dan Evaluasi Terhadap Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. Namun, hambatan yang diklasifikasi WHO kemudian menjadi penyumbat paling besar dalam mengimplementasikan regulasi di tiap daerah. Kajian yang didiseminasikan pada seminar kali ini mencakup tiga penelitian, yakni Analisis Ekonomi Politik dan Tata Kelola Anggaran Kesehatan Reproduksi bagi Perempuan Penyandang Disabilitas; Audit Sosial Pelayanan Kesehatan Reproduksi di Puskesmas bagi Penyandang Disabilitas; dan Data Collection Identity Marker for Gender Intersectionality. Pemaparan kajian disampaikan oleh Rina Prasarani selaku Ketua II HWDI Bidang Advokasi dan Peningkatan Kesadaran dan dimoderatori oleh Sonya Hellen selaku Jurnalis Kompas. Temuan dari kajian Data Collection Identity Marker for Gender Intersectionality adalah perempuan disabilitas mengalami marginalisasi berlapis karena gender dan disabilitasnya, yang diperparah pada identitas interseksionalitasnya. Misalnya, interseksional perempuan disabilitas ganda, disabilitas intelektual, yang tinggal di daerah pedasaan, panti jompo sosial, komunitas adat, berasal dari keluarga miskin. Pada perencanaan penganggaran di ruang keputusan, perempuan disabilitas tidak pernah terlibat partisipatif karena ruang maskulin dari budaya patriarki. Seringkali perempuan disabilitas dianggap sebagai beban oleh negara sehingga suaranya seolah terwakilkan oleh ruang maskulinitas itu. Pada akhirnya, akses kesehatan tidak pernah mengakomodasikan hak perempuan disabilitas. Terlebih pada saat pandemi COVID-19 kemarin, ketika bencana hadir, akses kesehatan bagi perempuan disabilitas akan semakin rentan, dan memarginalisasikan aspek kesehatan reproduksi. Data penelitian ini menyatakan sebanyak 98 persen perempuan disabilitas tidak puas terhadap layanan kesehatan serta fasilitasnya. Sebab mulai dari perancangan penganggaran tadi tidak pernah menimbang kebutuhan perempuan disabilitas. “Layanan kesehatan tidak pernah mempertimbangkan kebutuhan perempuan penyandang disabilitas, baik pada infrastruktur maupun layanan sumber daya manusia. Kebijakan regulasi yang merata untuk semua dengan dalil tidak membeda-bedakan, justru menurut kami pada saat distribusinya harus ada hal yang memastikan bahwa perempuan penyandang disabilitas juga bisa menikmati hak yang sama dengan cara yang murah,” ujar Rina. Pada kajian Analisis Ekonomi Politik dan Tata Kelola Anggaran Kesehatan Reproduksi bagi Perempuan Penyandang Disabilitas, temuan kunci yang disampaikan adalah terkait mekanisme akuntabilitas publik yang secara vertikal maupun horizontal masih belum memberikan perhatian khusus bagi perempuan penyandang disabilitas pada hak kesehatan reproduksi. Terdapat kesenjangan sistemik dalam berbagai hal. Peraturan dan turunannya belum bisa mengimplementasikan kebijakan secara penuh, sehingga masih terdapat kesenjangan antara kebijakan dan anggaran. Hak perempuan penyandang disabilitas tercabut karena stigmatisasi pemangku kebijakan yang tercermin dalam regulasi. Adapun hasil audit yang dilakukan di sejumlah 35 puskesmas provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat, menyatakan kebijakan dan sarana prasarana yang belum memadai dan tidak aksesibel bagi penyandang disabilitas secara umum. Ketimpangan hasil audit antara puskesmas yang memenuhi standar infrastruktur dan layanan kesehatan bagi penyandang disabilitas menandakan adanya penyumbatan sistem, kebijakan anggaran, akuntabilitas, dan pola pikir yang tidak berkeadilan. Menurut Diah Satyani Saminarsih dari Center For Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) sebagai penanggap, seharusnya pembuat kebijakan pada layanan kesehatan menggunakan prinsip equity (berkeadilan) dan bukan bersandar pada populasi pada umumnya. Perempuan dengan keterbatasan fisik, gender, dan identitas interseksionalitasnya yang begitu rentan, semestinya bisa menjadi landasan prioritas kebijakan kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi. Dwi Rahayuningsih sebagai perwakilan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, mengungkapkan bahwa implementasi regulasi penganggaran inklusif disabilitas pada level daerah masih terhalang oleh stigma dan kultur masyarakat desa yang patriarki dan membatasi pergerakan perempuan disabilitas. Oleh karenanya, advokasi yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam menangani kesenjangan sistemik layanan kesehatan bagi perempuan penyandang disabilitas adalah mengombinasikan regulasi PP No. 70 tahun 2019 dan PP No. 17 tahun 2017 untuk perencanaan penganggaran inklusif disabilitas yang lebih ajeg. Dengan demikian, diharapkan adanya langkah bersama yang tanggap dalam menghadapi urgensi transformasi layanan kesehatan yang lebih aksesibel bagi penyandang disabilitas, khususnya perempuan penyandang disabilitas. Regulasi yang sudah ada harus diperkuat implementasinya dengan keberpihakan utama pada kelompok rentan disabilitas interseksional. Hambatan dan sumbatan dari kesenjangan yang sistemik dimulai dari pola pikir yang harus membatalkan budaya stigmatisasi terhadap penyandang disabilitas, supaya terwujud equity pada layanan kesehatan sebagai hak dasar seluruh warga negara. (Panca Lintang Dyah Paramitha) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |