Jumat (14/12) bertempat di Gedung YTKI, Gatot Subroto, Jakarta Selatan, organisasi Solidaritas Perempuan memperingati hari jadi yang ke-28. Acara yang diberi tema “Rembug Perempuan: Perempuan Bangkit, Bersolidaritas, Berdaulat” turut dihadiri oleh para perempuan pejuang dampingan Solidaritas Perempuan, serta staf Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Acara yang dimoderatori oleh Dinda Nuurannisaa Yura (Koordinator Program Solidaritas Perempuan) bertujuan untuk memberitahu publik tentang aktivisme dan perjuangan para perempuan dampingan Solidaritas Perempuan. Dinda menyatakan bahwa selama ini perempuan di daerah tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan kebijakan. Kemudian, ia menjelaskan bahwa pengrusakan alam demi mewujudkan cita-cita investor tambang dan perkebunan sawit berimplikasi pada kesejahteraan perempuan yang menggantungkan hidupnya pada hutan tempat mereka tinggal. “Hilangnya mata pencaharian perempuan membuat mereka beralih profesi menjadi buruh migran, alih-alih sejahtera justru menjadikan mereka celaka”, tutur Dinda. Selain isu tentang ruang hidup, Dinda juga menekankan soal isu kekerasan seksual di ruang kerja selalu dihadapi oleh perempuan yang masih belum menjadi prioritas kebijakan. Ratna (Buruh Migran) dalam forum ini mengungkapkan alasan kepergiannya menjadi buruh migran yaitu karena tidak tersedianya lapangan kerja di daerahnya. Ratna menuturkan bahwa selama ia menjadi buruh migran, ia mengalami berbagai jenis kekerasan bahkan sejak berada di Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Kekerasan tersebut antara lain, ketidaksesuaian kontrak kerja, penyiksaan majikan, bekerja di bawah tekanan, dan disitanya surat tanah oleh PJTKI. Berbeda dengan apa yang dijanjikan oleh Perseroan Terbatas (PT), Ratna harus tidur di gudang dan membersihkan jendela bagian luar apartemen di lantai 13 tanpa pengaman. Dalam menanggapi testimoni Ratna, Dinda selaku moderator menekankan bahwa kekerasan di ruang kerja terjadi akibat adanya relasi kuasa antara majikan, penyalur kerja dan pekerja perempuan. Sementara itu, Baiq Nuril (Guru) memiliki kisah yang sempat viral pada beberapa bulan belakangan. Baiq mengungkapkan bahwa pelecehan seksual sering ia alami, bukan hanya dalam bentuk sentuhan tetapi pembicaraan yang tidak pantas dari rekan kerjanya. Baiqi pun merekam kejadian tersebut untuk meminta pembelaan, alih-alih dilindungi, Baiq justru dipenjara karena melawan atasan. Akan tetapi, Baiq terus melakukan perlawanan hingga akhirnya ia terbebas dari hukuman tersebut. Baiq mengaku menyayangkan karena pelaku tidak diberikan sanksi sama sekali. “Perempuan harus menyuarakan pelecehan yang dialaminya, saya tahu ini berat untuk dilakukan, tetapi kita harus terus menyuarakan pelecehan yang terjadi kepada kita”, tutur Baiq. Berbeda dengan Baiq yang menyuarakan pelecehan seksual, Ramlah (Perempuan Pesisir Makassar) bersuara untuk menolak reklamasi. Ia menuturkan bahwa saat ini pemerintah hanya peduli dengan pembangunan infrastruktur padahal banyak manusia yang tersakiti atas pembangunan infrastruktur yang tidak berkeadilan. Lebih jauh, Ramlah berpendapat bahwa pembenahan infrastruktur itu baik, tetapi perlu adanya perhatian atas manusia yang hidup di wilayah sekitarnya. “Kemana rakyat kecil seperti kami harus mengadu? Jika tanah diambil, laut diambil, lalu mengusir kami, mengapa pemerintah tidak membunuh kami saja agar tidak kesulitan melakukan reklamasi”, tutur Ramlah. Selama ini perempuan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan atas tanahnya. Padahal perempuan adalah kelompok yang paling berdampak pada lokasi pembangunan infrastruktur. Kerusakan terjadi pada lingkungan, lapangan pekerjaan untuk perempuan pun hilang. Hal tersebut menyebabkan perempuan harus beralih profesi menjadi buruh migran yang terpapar langsung pada kekerasan fisik, mental maupun seksual. (Iqraa Runi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |