Pada Senin (12/8/2024) lalu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak (KPPPA) bersama UN Women menyelenggarakan kegiatan lokakarya “40 Tahun Implementasi CEDAW: Memperkuat Sinergi Perlindungan Hak Perempuan di Indonesia” secara tatap muka di Hotel Shangri-La, Jakarta, dan secara daring melalui siaran Zoom dan YouTube. Lokakarya ini dimaksudkan sebagai refleksi bagi perjalanan pra dan pasca ratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 1984. Adi Winarso dari Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) membuka lokakarya dengan mengingatkan audiens akan perjuangan ratifikasi CEDAW. Menurutnya, proses ini memerlukan langkah strategis dan harus terus dikawal untuk mengimplementasikan keadilan gender di Indonesia.
Bintang Puspayoga selaku Menteri PPPA turut hadir secara virtual. Dalam pidato pembukanya, ia menyerukan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan sebagai amanat UUD 1945. Ia juga mendukung penguatan praktik-praktik baik di kalangan akar rumput untuk menghapuskan diskriminasi, tentunya dengan memaksimalkan kekuatan hukum UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). sambutan berikutnya diisi oleh Dwi Yuliawati Faiz dari UN Women, yang mempresentasikan perjalan CEDAW di Indonesia yang cukup berliku. Bahkan dalam tubuh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri, kiranya dibutuhkan dua dekade untuk mengenali adanya diskriminasi gender. Lokakarya ini menampilkan dua sesi diskusi. Pada sesi pertama, terdapat Ratna Susianawati (Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KPPA), Dhahana Putra (Direktur Jenderal HAM, Kementerian Hukum dan HAM), Indah Nuria Savitri (Direktur HAM dan Kemanusiaan, Kementerian Luar Negeri), serta Listyowati (CEDAW Working Group Indonesia). Memastikan regulasi yang ada memiliki perspektif gender adalah salah satu tujuan penting dari CEDAW, ujar Ratna kala membuka diskusi. Dalam konteks kini, kerja-kerja iklim dan ekonomi perawatan menjadi topik yang mengundang perhatian khalayak. Ratna menyatakan, untuk mendukungnya, impelementasi CEDAW harus dikukuhkan lewat berbagai aturan pelaksana yang mengikat, sehingga dapat mendorong regulasi berperspektif gender seperti yang diupayakan dalam CEDAW. Hal yang sama juga dituturkan Indah Nuria Savitri. Direktur HAM Kemenlu itu juga menyinggung implementasi CEDAW di Indonesia yang sangat panjang dan berliku. Untuk sekarang ini, isu perdamaian dan keamanan global menjadi prioritas dunia. CEDAW, dalam butir-butirnya, mendukung penguatan posisi perempuan pada dua sektor strategis ini. Menurutnya, akan sangat baik jika perempuan bisa memperkuat partisipasinya dalam bidang tersebut. Selanjutnya, Dhahana Putra menyampaikan bahwa Indonesia sudah meratifikasi delapan dari sembilan instrumen HAM internasional. Sebagai instrumen HAM internasional pertama yang diratifikasi Indonesia, CEDAW membuka jalan bagi instrumen lainnya untuk dapat diratifikasi. Catatan untuk Indonesia sekarang ini adalah memaksimalkan dampak dan kekuatan hukum dari CEDAW dan instrumen internasional lainnya. Setiap periode, CEDAW Working Group Indonesia (CWGI) membuat laporan kerja CEDAW. Hal ini disampaikan oleh Listyowati. Untuk tahun ini, Indonesia akan mengintegrasikan Rancangan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) ke dalam laporan tersebut. Sebagai pengingat, Listyowati juga menekankan keterwakilan yang bermakna menjadi substansi yang harus dipertahankan dalam sistem hukum Indonesia. Perspektif dan diseminasi CEDAW di Indonesia harus digalakkan agar tujuan besar itu bisa tercapai. “40 tahun CEDAW bukan waktu yang sebentar,” tukasnya, “PR (pekerjaan rumah–red) kita adalah agar ratifikasi bisa dijalankan dengan komitmen.” Sesi kedua dilakukan setelah istirahat singkat. Kali ini, Retty Ratnawati (Komisioner Komnas Perempuan), Luluk Nur Hamidah (Anggota DPR RI 2019-2024), Boby Wahyu Hernawan (Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Kementerian Keuangan), dan Ayu Oktarini (Koordinator Nasional, Ikatan Perempuan Positif Indonesia) menjadi panelis. Retty Ratnawati berkesempatan membuka sesi dengan penjabaran mengenai masih banyaknya aturan diskriminatif terhadap perempuan. Aturan-aturan yang ada dinilai tidak komprehensif. “Melindungi, tapi tidak lengkap,” ujar Komisioner Komnas Perempuan tersebut. Beberapa praktik diskriminatif, seperti tes keperawanan dan sunat perempuan, bahkan masih mendapat pembelaan berdasarkan keyakinan dan norma masyarakat. Praktik di pengadilan pun banyak yang merugikan perempuan. Proses yang panjang dan diskriminasi terhadap upaya penghapusan kekerasan dan diskriminasi perempuan ini sayangnya masih lumrah di Indonesia. Itu jugalah yang membuat pengesahan UU TPKS menjadi sulit dan lambat dilakukan. Namun, bukan berarti tidak bisa diusahakan lewat praktik-praktik baik. “Kerja-kerja kolektif yang baik ini tidak bisa dilakukan sendirian,” kata Luluk Nur Hamidah menanggapi hal ini. Anggota DPR RI itu juga mengingatkan audiens akan pentingnya representasi perempuan. Tidak hanya di DPR RI, tapi juga di ruang publik lainnya. Menyambung komentar Luluk soal representasi, Boby Wahyu Hernawan mengutarakan upaya pemenuhan kuota perempuan di Kementerian Keuangan yang didukung penuh oleh Menteri Keuangan. Meskipun hanya terdapat tiga dari dua belas dirjen perempuan di tubuh Kementerian Keuangan. Namun, upaya representasi ini terus didorong. Dalam paparannya pula, Boby mempresentasikan kebijakan pembiayaan perubahan iklim yang responsif gender. Praktik pembiayaan ini dilakukan termasuk dalam kegiatan pasar karbon dan pemberdayaan perempuan tingkat tapak. Ayu Oktarini sebagai perwakilan dari Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) mengungkapkan pengalamannya sebagai Orang Dengan HIV (ODHIV). “Masih banyak masalah bagi ODHIV,” ujarnya. Masalah tersebut mencakup akses layanan yang tidak merata terutama di desa, stigma oleh tenaga kesehatan berdasarkan nilai-nilai pribadi, usia dan status pernikahan, juga kurikulum yang tidak sinergis dengan pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi. Atas hal ini, ia merekomendasikan pemenuhan layanan kesehatan perempuan yang komprehensif, utamanya pada tahap perencanaan dan persiapan kehamilan, dukungan anak dan remaja, penanganan kekerasan berbasis gender, serta pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah yang tidak bias. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |